Aku menyeka saus tomat di sudut bibir Na Mi menggunakan serbet. Menarik beberapa helai rambut panjangnya ke belakang telinga agar tidak mengganggu pergerakan makannya.
Akhirnya aku memutuskan untuk menginap setelah habis disindir oleh Dong Kook hyeong karena mulai lupa cara beradaptasi dengan keluarga Hana.
"Massiseo?" tanyaku pada Na Mi karena melihatnya sangat lahap menyantap hasil masakan Min Hwa nuna, istri Seoga hyeong.
"Eo."
"Sudah mengucapkan terima kasih?"
Na Mi menyengir, menunjukkan rentetan gigi susu rapinya. "Keun eommoni, neomu kamsahaeyo.(1)"
Min Hwa nuna yang duduk berhadapan langsung dengan Na Mi tersenyum. Dokter anak itu memberikan lagi satu sendok besar mashed potato di atas piring Na Mi. "Makan yang banyak. Sekolahmu bagaimana? Masih suka sakit perut?"
Na Mi menggeleng cepat, "Ani, appa sekarang selalu memaksaku sarapan, mengecek bekal makan siangku habis atau tidak. Memastikan aku tidak terlalu sering makan permen dan es krim. Satu jar es krim besar dari Taekwon samcheon belum kumakan karena selalu dipelototi appa."
Setelah mengetahui Na Mi ternyata memiliki penyakit maag. Aku jelas jadi memperhatikan asupan makanannya. Aku terpaksa harus belajar memasak agar Na Mi mendapatkan nutrisi yang cukup. Sekalinya aku sedang malas menyentuh area dapur, katering sehat rekomendasi dari eomma menjadi alternatif.
Setelah mendengar penjelasan Min Hwa nuna saat aku membawa Na Mi yang kesakitan ke rumah sakit tempat ia bekerja, ternyata aku harus memperhatikan tekstur makanan Na Mi. Tidak boleh terlalu keras. Potongan makanan pun harus sesuai, tidak boleh terlalu besar.
Repot? Jelas! Setelah lima tahun menjadi ayah tunggal untuk putriku, masih banyak yang harus kupelajari. Mati-matian aku harus mengatur waktu antara urusan kantor dan apartemen, menekan rasa egoku agar tidak cepat emosi saat menghadapi tumbuh kembang Na Mi. Sejujurnya kalau boleh egois, aku senang saat Na Mi menginap di rumah keluarga Hana atau menginap di rumah orang tuaku. Aku memiliki waktuku sendiri, beristirahat dari rutinitas melelahkan.
"Memang appa-mu tau darimana kau tidak membohonginya? Dia sibuk di kantor saat kau bersekolah." Aku berdecak pelan, bagaimana Lana bisa tahan bekerja dengan manusia seperti Dong Kook hyeong? Hana saja sudah menyerah dengan kakaknya yang satu ini.
"Kalau aku berbohong sama saja merusak kepercayaan appa. Aku pernah membohonginya kalau makan malam buatannya sudah habis kumakan karena saat itu appa sedang berada di ruang kerja."
"Kau buang?" Na Mi mengangguki pertanyaan Dong Kook hyeong. "Lalu?"
"Besoknya appa menegurku karena menemukan makan malamku di tempat sampah. Appa hanya meminta padaku untuk berkata jujur. Kalau masakannya tidak enak atau aku tidak suka, bilang padanya." Aku tersenyum mendengar mulutnya bercerita, tatapan kami bertemu. Ya Tuhan Park Hana, kita menghasilkan anak super menggemaskan. Rambut panjang kecoklatan dengan poni yang menutupi dahi, mata almond, pipi tembam diikuti kulit putih langsat. Ok tidak ada satu pun yang menurun dariku kecuali bibirnya.
"Appa memarahimu?" Seoga hyeong bertanya sembari menyeka mulutnya.
Na Mi menggeleng, "Appa tidak pernah memarahiku. Ia hanya mengatakan kalau…Appa?" Na Mi semakin mendekat padaku, meminta petunjuk atas ucapanku untuk melanjutkan ceritanya.
"Kepercayaan itu dipupuk dengan baik oleh sebuah kejujuran, jangan sampai satu kebohongan merusak jutaan kejujuran lainnya." Lihat bagaimana aku menjadi sangat bijaksana semenjak Na Mi hadir? Kau pasti menyesal Park Hana karena pergi sebelum melihat aku menjadi seorang laki-laki dewasa penuh wibawa ini.
Kalau Joong Gi hyeong sudah terbiasa mendengar celotehan sok bijaksanaku saat dulu sering menginap di rumahnya karena Hana meminta, Seoga hyeong menutupi rasa kagumnya dengan segelas air. Sementara ekspresi Dong Kook hyeong sangat di luar kendali. Dia membuka mulutnya lebar, terkejut mungkin karena perkataanku di luar ekspektasinya.
"Ah, itu. Lalu appa mengatakan kalau aku berani berbohong lagi, aku harus membayangkan wajah ketiga keun abeoji saat marah." Aku tersedak air minum yang aku telan. Ketika para istri dan pacar Dong Kook menahan tawa, ketiga kakak Hana langsung melihatku dengan mata menusuk persis ketika…
"Memang kenapa?" Seoga hyeong meminta penjelasan pada Na Mi tapi tatapannya tetap tajam mengarah padaku.
"Karena itu persis seperti eomma saat sedang marah. Mata membulat seperti ini.." Na Mi mempraktekkan gerakan mata yang aku contohkan, "Lalu menyipit melihat orang yang sedang membuat eomma marah seperti ini." Astaga dengan mata almond menurun dari Hana anak ini benar-benar mirip ibunya saat sedang mengamuk. Dan, ya tentu saja mirip dengan ketiga laki-laki yang sedang menahan diri untuk tidak mengamuk di depan istri, pacar, dan anak-anak mereka.
Aku terbatuk memukul dadaku berkali-kali berusaha menghilangkan kegugupan. Andai bisa menyublim menjadi partikel-partikel kecil, sudah aku lakukan saat ini juga. Gelak tawa dari para istri, tidak menyurutkan tatapan tajam menusuk dari ketiga kakak Hana.
"Na Mi-ya palli meokgo." Aku menyuapkan satu sosis ke dalam mulut Na Mi. Meredakan situasi tegang antara aku dengan ketiga kakak Hana.
"Appa…" Na Mi menelan sosis di dalam mulutnya. "Lanjutkan cerita tentang eomma. Appa bertemu dengan keun abeoji kapan?"
"Setelah makan, ok?"
"Sekarang saja, kami ingin dengar bagaimana kau bercerita." Memang aku tidak bisa mengatakan tidak pada manusia-manusia buas ini. Walaupun Joong Gi hyeong yang berbicara, mereka selalu punya cara untuk mengintimidasiku.
"Ara, sebelum pada tiga keun aboeji. Aku ceritakan bagaimana aku bertemu dengan bulik Lana dan Shin Hae imo." Aku membongkar ingatanku pertama kali bertemu dengan dua sahabat gila istriku.
***
Hana menarik, ralat, menyeret Junwoo masuk ke dalam sebuah kafe yang sedang ramai diperbincangkan oleh banyak orang. Kafe di daerah Hwayang dong ini menjadi trending karena kenikmatan pastry-nya.
"Gals kenalin makhluk astral yang gue dapet dari aplikasi kencan. Laki-laki yang akhirnya betah sama gue setelah di ghosting." Hana tertawa sembari memperkenalkan Junwoo pada Shin Hae dan Lana.
Junwoo diam, lebih tepatnya bingung. Kenapa tiga perempuan di hadapannya ini tertawa.
"Aniyaa, kenalkan dua sahabat yang selalu aku ceritakan padamu. Kelana dan Myeong Shin Hae," ujar Hana setelah melihat raut wajah kebingungan Junwoo.
"Annyeonghaseyo." Junwoo tersenyum menyapa dua perempuan yang sedang melihat dirinya dari atas sampai bawah berulang kali.
"Annyeonghaseyo.." Lana dan Shin Hae menyapa bersamaan.
"Ah jadi kau, makhluk yang mampu membuat Hana menjadi gila?" Shin Hae menatap Junwoo.
"Pelet apa yang kau gunakan sampai Hana terus meracau membicarakanmu?" Lana menyambung.
Junwoo melongo mendengar pertanyaan dua sahabat Hana. 11 12 seperti perempuan di sampingnya yang sedang mengikik. "Pelet? Itu benda? Ya Park Hana kau membicarakan apa saja tentangku?"
Hana menarik kursi, segera duduk tanpa perlu menunggu Junwoo menarikkan kursi untuknya. "Pelet itu…" Hana menoleh ke Lana, "Pelet apaan sih bahasa Korea-nya?"
"Duh, ape ye?" Lana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bilang aje jimat lah. Repot."
"Benda pemikat, anjir. Beda sama jimat! Jimat mah biar ga digoda setan! Ini mah masuk perangkap setan namanya." Shin Hae mencibir.
"Kok lu paham begituan sih, Shin? Ihh anjir jangan bilang di kamar lu nyimpen begituan?" Hana lebih tertarik berbicara mengenai hal tidak penting dibandingkan memedulikan laki-laki yang duduk di sampingnya. Berusaha menyimak, meskipun akhirnya kehilangan arah.
"Ehem, kalian mau makan atau minum sesuatu? Biar aku pesankan." Junwoo berdiri, bersiap menerima tampungan pesanan.
"Hmm.. aku ice cappucino." Lana berpikir sebentar sebelum menjawab.
"Pilihkan aku apa pun selama bukan kopi, dan tidak mengandung susu, juga jangan soda." Shin Hae menunjukkan cengiran.
"Ribet idup lu! Pesen sendiri!" Lana memukul kepala Shin Hae pelan.
"Hummm aku ingin ice caramel latte dan beef quiche. Gomawo!!!" Hana tersenyum lebar sampai akhirnya memutar tubuhnya ke arah Lana dan Shin Hae. "Jadi gimana menurut kalean? Ganteng? Baik? Prospek bagus jadi calon suami?" Hana sampai melipat kedua tangannya di atas meja. Tidak sabar mendengar pendapat kedua sahabatnya.
Lana dan Shin Hae bertatapan dan saling mengedikkan bahu.
"Lumayan sih, untungnya bukan tipe gue." Lana mengibaskan rambutnya.
"Gue juga nggak mau punya suami kek gitu, gak cocok prospekannya sama gue." Shin Hae menambahkan sambil mengangguk.
"Eh gantengnya gue sama kalian beda ya." Hana mengibaskan tangan tidak ingin berdebat urusan tipe lelaki di antara mereka, karena sudah jelas berbeda. "Ini lumayan kenape ya, Lan? Terus napa lu gak mau punya modelan suami kek Junwoo, Shin? Ini napa jadi prospek sih, kan dia bukan calon nasabah bank."
"Lah, elu duluan yg nanya 'prospek bagus jadi calon suami' apa bukan!" Shin Hae menoyor kepala Hana. "Ya kalo gue mau punya suami modelan dia, kita udah sparing dari awal. Masa iya mau gue lepas kalo cocok sama gue?" Shin Hae mengetuk ujung jari telunjuknya ke sisi kening sebelah kanan. Menyuruh Hana berpikir.
"Yaaaa lumayan, tapi masih gantengan Tiway." Lana mengikik.
"Eh kesel ya Shin itu tangan merusak poni gue." Hana menyentil tangan yang dipergunakan Shin Hae untuk menonyor kepalanya. "Iyalah selera kita beda. Di hati kalean cuma Ujang dan Taek. Buat gue dia ganteng. Cocok keknya jadi bapak anak-anak gue."
Tak berapa lama Junwoo kembali membawa satu nampan berisi pesanan mereka semua. "Shin Hae-ya aku tidak tau pasti apa maumu tapi meneliti menu, ice honey lemon tea ini mungkin cocok untukmu. Tanpa kafein, susu, dan soda." Junwoo meletakkan pesanan Shin Hae seperti seorang pelayan berikut dengan penjabarannya.
"Jagiya, beef quiche habis. Kuganti dengan yang cheese ya." Junwoo menurunkan pesanan Hana dari nampan bersamaan dengan pesanan Lana. "Gula terpisah untukmu dengan banyak es batu."
Hana tertawa pelan melihat tingkah Junwoo. "Dan cocok jadi pembantu pribadi gue kayaknya genks."
"Mantaappp! Coba suruh beresin apateu sekalian." Shin Hae tersenyum licik.
"Haaahhh iya deh iya, yang bucin." Lana mengaduk minumannya dengan cepat.
Junwoo masih tetap kehilangan arah dengan pembicaraan ketiga perempuan yang tertawa tanpa melibatkan dirinya. Sampai Hana menepuk bahu Junwoo, "Kenapa tidak menyuruh Wooshik kesini? Bilang tunangannya sedang menggoda laki-laki lain." Hana tersenyum jail ke arah Shin Hae. "Ahh kau sudah berkenalan dengan Taekwon, kan? Ini istri menyebalkannya." Hana menunjuk Lana dengan dagunya. Kedua tangannya mulai sibuk memotong quiche.
"Eo, aku Nyonya Ok. Perkenalkan." Lana mengulurkan tangan. "Jadi, seberapa serius hubunganmu dengan Hana? Berapa banyak yang kau ketahui soal Hana?"
"Bajing ya sombong banget nyebut 'nyonya Ok' nya kampret." Hana melempar sedotan ke wajah Lana.
Junwoo tersenyum, "Coba jelaskan padaku. Menunggu tiga tahun untuk berani berbicara dengan Hana lalu akhirnya diberikan kesempatan berkencan dengannya karena sebuah aplikasi. Itu sudah termasuk serius?" Junwoo melirik Hana, wajah melongo itu membuat Junwoo tertawa pelan. Dia belum pernah menceritakan tentang kisah tiga tahun yang lalu. "Aku hanya tau Hana sebagai perempuan cerewet, berbicara sesukanya, manja, ambisius, dan sama gilanya seperti kalian. Aku benar, Nyonya Ok?"
"Ckck. Belum seperempatnya." Lana menggoyangkan telunjuknya. "Apa kau tau tiga kakaknya lebih buas dari singa gunung? Selain itu salah satu kakaknya lebih sayang padaku dibandingkan dengannya. Hohoho." Lana sengaja tertawa berlebihan. Hana memutar bolanya kesal, fakta memang tapi tetap saja menyebalkan.
"Apa kau tau kakak Hana ada affair dengan Lana?" Shin Hae berbicara lebih cepat daripada petir menyambar.
"Bangsyat lu!" Lana langsung memukul kepala Shin Hae yang tertawa puas.
"Lagipula, tiga tahun? Yang benar saja." Shin Hae memutar bola matanya. "Kau tak penasaran, apa yang dipersiapkannya selama tiga tahun di ruangan merah penuh gairah di apartemen kami?"
"YA!!!!!" Hana langsung menutup mulut Shin Hae walaupun terlambat dan mencubit lengan Lana. Bisa-bisanya dua perempuan ini membocorkan rahasia gelap tentang dirinya.
"Jamkkan, kenapa tiga kakak Hana? Lana punya hubungan khusus dengan kakak yang mana?" Junwoo menarik napas, melihat tiga perempuan di hadapannya bergantian. "Apa maksud ruangan merah penuh gairah?"
"Junwoo-ya, jangan dengarkan dua perempuan ini." Hana menjambak dua rambut Shin Hae dan Lana bersamaan.
"Hahahaha.. ya, abaikan soal hubunganku dengan kakak Hana! Kami hanya rekan kerja." Lana balik menjambak rambut Hana. "Tapi ruangan merah itu... kau sebaiknya cek sendiri." Lana mengedipkan satu matanya ke arah Hana.
***
Aku terdiam setelah bercerita mengenai pertemuan pertamaku dengan kedua sahabat Hana. Kalau sekarang ketiga kakak Hana mendelik tajam, para perempuan menutup mulut mereka karena aku secara gamblang menceritakan tentang kamar Na Mi yang dulunya adalah proyek kamar kamasutra Hana.
Aku gelagapan saat Na Mi akhirnya bertanya, "Kamar penuh gairah itu apa, Appa?" Aish, aku bahkan tidak bisa mengontrol mulut ini.
"Itu kamar fantasi eomma. Indah untuk orang dewasa, nanti kalau kau sudah cukup umur Appa jelaskan lagi, aratchi?" Hanya kalimat ini yang bisa aku katakan sebelum garpu melayang ke arahku.
Na Mi mengangguk, ah syukurlah setidaknya satu masalah selesai. Sekarang aku hanya perlu berpura-pura membereskan piring bekasku dan Na Mi membiarkan anakku kembali bermain dengan para sepupunya.
"Jadi begitu caramu bercerita pada anak kecil?" cibir Dong Kook hyeong, "Lengkap sekali sampai urusan ranjang dibawa-bawa."
"Hyeongggg." Tidak, aku tidak bisa membalas ucapan manusia satu ini.
____________________________________________________________________
1. Bibi terima kasih banyak.