Aku menurunkan Na Mi di depan gerbang sekolahnya. Cerita tentang ibunya terpaksa kutunda kemarin malam mengingat hari ini jadwalnya sekolah. Aku tidak mau ia bangun kesiangan dan terburu-buru untuk sarapan.
Demi apa pun di dunia, menjadi orang tua tunggal tidak pernah menjadi rencana dalam hidupku. Awal-awal kepulangan Na Mi dari rumah sakit setelah hari kelahirannya, bala bantuan datang dari segala arah. Eomma dan nuna memaksaku untuk secepatnya beradaptasi mengurus Na Mi seperti memandikan, mengganti popok, membuat susu dan mengatur suhu yang pas agar Na Mi dapat meminum susunya dengan nyaman, memahami bahasa bayi melalui tangisan yang sering membuatku kesal setengah mati, dan menidurkan Na Mi. Untuk kegiatan satu ini aku sangat menyukainya, melihat Na Mi tertidur pulas di dalam gendonganku, sungguh wajah tenangnya kembali mengingatkanku pada wajah Hana saat tertidur.
Kalau keluargaku sukarela membantu mengurus Na Mi di masa berkabungku, lain cerita dengan keluarga Hana. Seorang Joong Gi hyeong yang biasanya selalu berbicara padaku, merangkul dan menyemangatiku agar selalu bersemangat dalam setiap keadaan, saat itu ia mendiamkanku. Tidak ada lagi keramahan yang biasa ia berikan, hanya pandangan tajam dengan ekspresi datar. Jangan ditanya bagaimana dengan kedua kakak Hana yang lain, bagi mereka aku tidak kasatmata sekalipun mereka berbicara dengan keluargaku.
Nuna adalah orang pertama yang menyadari perubahan sikap keluarga Hana padaku. Ia selalu berada di sampingku ketika ketiga kakak Hana datang ke apartemen. Tepukan dan senyuman nuna menjadi sedikit penyemangatku. Aku memilih menghindar entah berada di balkon atau di kamar, keluar hanya ketika Na Mi menangis dan menanyakan ada yang perlu aku bantu atau tidak. Namun, tidak pernah ada jawaban dari ketiga kakak Hana. Mereka langsung mengurus Na Mi seolah itu adalah anak mereka.
Pernah sekali waktu mereka datang ketika keluargaku sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku ingat sudah menidurkan Na Mi di baby box disertai dua guling berukuran sedang kuletakkan di sisi kanan dan kiri Na Mi. Keluar dari kamar mandi aku menemukan tiga kakak Hana di ruang tamu dengan wajah yang siap menerkamku. Teriakan tangis Na Mi di gendongan kakak ipar Hana menjadi jawaban kenapa wajah tiga laki-laki itu mengeras dan bersiap mengeluarkan sumpah serampahnya padaku.
"Apa yang kau pikirkan sampai meninggalkan Na Mi menangis kencang di tempat tidurmu, hah?" bentak Seoga hyeong kala itu.
Aku tercengang, di tempat tidurku? Terakhir aku meletakkan Na Mi jelas di baby box-nya bukan di tempat tidurku.
"Ck setelah membunuh istrimu, sekarang kau berniat membunuh anakmu sendiri?" cibiran Dong Kook hyeong membuat desiran darahku melonjak naik. Apa aku terlihat seperti seorang psikopat di mata mereka? Gila, aku tidak mengerti jalan pikiran mereka. Aku tidak berniat meninggalkan anakku, aku hanya membersihkan diri selama dua menit. Tapi dalam diam aku sadar, butuh hitungan detik untuk membuat Hana merenggangkan nyawa dua bulan lalu.
"Mianhae," ucapan itu yang pada akhirnya hanya mampu ku ucapkan.
"Kau habis melakukan apa?" Aku beralih melihat sumber suara yang bertanya itu. Joong Gi hyeong bersuara dengan suara datar tanpa ada nada marah dan mengintimidasi.
"Na Mi tersedak, memuntahkan kembali susunya. Aku lupa memakai baby cloth, muntahannya mengenai baju, leher, dan lenganku. Setelah membersihkan Na Mi dan menidurkannya…" Aku terdiam saat itu. Ingatanku meletakkan Na Mi di baby box-nya adalah sejam sebelum Na Mi muntah. Setelah membersihkan Na Mi dan diri sendiri, aku yang pada saat itu takut Na Mi sendiri di kamarnya, menaruhnya di tempat tidurku lalu kubentengi dengan empat bantal di setiap sisi. Walaupun aku tau, bayi berumur satu bulan tidak mungkin akan berguling kesana kemari. Tetap saja rasa khawatir itu ada.
"Lalu?"
"Aku mandi."
Joong Gi hyeong mengusap wajahnya kasar, aku mendengar dengusan napas berat darinya. Itu tanda dia kecewa. "Kau tidak berniat untuk menyewa pengasuh?"
"Aku bisa mengasuh Na Mi sendiri. Aku membawa Na Mi ke kantor, di sana aku siapkan portable…"
"Michiseo? Aish, saekkiya!" Umpatan Seoga hyeong memotong penjelasanku. Manusia ini sangat jarang mengumpat berbeda dengan Dong Kook hyeong. Kalau sampai seorang Seoga hyeong mengumpat itu berarti amarahnya sudah berada di ubun-ubun kepala. "Apa sih yang ada di otakmu membawa bayi ke area rentan sumber penyakit? Kau tidak cukup uang untuk menyewa pengasuh? Berikan Na Mi pada kami, biar kami yang mengurusnya. Kau tidak becus Lee Junwoo."
Aku terkejut mendengar perkataan kakak Hana yang paling buas ini. Membawa Na Mi? Memisahkanku dengan anakku sendiri? Aku baru ingin menyahut sampai tangisan Na Mi terdengar lagi. Aku buru-buru pergi ke dapur untuk membuatkannya susu. Entah karena aku panik karena jeritan Na Mi atau ketakutan karena anakku akan dibawa secara paksa. Saat aku menyerahkan susu pada istri Joong Gi hyeong. Perempuan itu mengeluh setelah meneteskan beberapa tetes susu ke telapak tangannya. Terlalu panas katanya.
Aku refleks meminta Na Mi dari gendongan Yea Jin nuna secara paksa dan tidak sadar itu membuat suaminya berdiri lalu mendorong tubuhku kencang.
"Aku tidak pernah sekalipun melarangmu mendekati, menghamili, dan menikahi Hana. Aku selalu mempercayakan Hana padamu. Ketika Hana merintih kesakitan dan hanya namamu yang ia sebut, aku rela bertengkar dengan dua saudaraku hanya untuk menyeretmu kembali ke Hana. Namun, kau merusak kepercayaanku Lee Junwoo saat menerobos lampu merah dua bulan yang lalu. Biar aku dan Yea Jin yang mengurus Na Mi, anak ini bisa mati di tanganmu." Joong Gi hyeong menggendong Na Mi dan meminta istrinya membereskan barang-barang Na Mi.
"Hyeong sumpah demi Tuhan aku sedang belajar menjadi ayah yang baik untuk Na Mi. Aku punya keterbatasan tapi bukan begini caranya. Aku berusaha semampuku, kembalikan Na Mi padaku, Hyeong." Intonasi nada suaraku sudah meninggi meminta anakku kembali. Aku tidak mau ada adegan perebutan, tarik menarik yang akan mencelakai Na Mi.
Seolah-olah tidak mendengar suara rintihan disertai memohonku. Empat manusia di depanku bangkit, berjalan mendekati pintu apartemen. Aku setengah berlari berusaha menghalangi mereka keluar dari unit apartemen. Tidak peduli saat itu tangan Dong Kook hyeong menarikku agar menjauh dari pintu, tamparan kencang mendarat di pipiku ketika Seoga hyeong geram melihatku tetap menahan pintu agar tidak terbuka. Senjata terakhir yang mereka gunakan adalah Na Mi.
Joong Gi hyeong berdiri di dekat pintu yang mulai terbuka, "Kau mau anakmu celaka dengan menghalangi kami keluar?"
Jeritan tangisan Na Mi membuatku mengalah. Aku menyingkir, membiarkan mereka keluar. Aku masih mengekori mereka berjalan menuju lift. Memohon sekali lagi agar tidak membawa anakku pergi. Cukup Hana yang pergi dari hidupku. Mereka masih bersikeras untuk membawa Na Mi tanpa memedulikanku.
Entah karena tangisan Na Mi atau suara gaduh yang kami ciptakan. Pintu unit seberang terbuka, menampilkan empat orang yang sudah lama tidak kusapa karena kesibukanku di kantor dan mengurus Na Mi.
Hari itu aku teringat kembali ucapan appa, "Kelana dan Shin Hae, dua sahabat Hana adalah kunci agar ketiga kakak pacarmu memberi kartu hijau mereka. Kau butuh dukungan dari dua perempuan itu." Beruntung dulu semasa Hana hidup, aku selalu melakukan pendekatan pada dua sahabat Hana. Keajaiban apa yang Tuhan turunkan, dua perempuan itu menghentikan keributan lalu bertanya kepada tiga kakak Hana, apa yang sedang terjadi?
Wooshik dan Taekwon menatapku nanar. Membantu pun akan sia-sia sekalipun Taekwon adalah sahabat Seoga hyeong. Kunci untuk menyelesaikan masalah ini adalah istri-istri mereka.
"Oppa geumanhae, kau tidak tau apa yang dilalui adik iparmu setelah kepergiaan Hana. Dia saja tidak pernah sadar kalau kami suka berkunjung ke apartemen dan memperhatikannya saat terburu-buru ke kantor sambil menggendong Na Mi." Lana dan Shin Hae sering ke apartemen? Bagaimana aku bisa tidak menyadarinya? Sungguh aku akan dikutuk Hana kalau sampai menyia-nyiakan perhatian dari para sahabatnya.
"Dia bukan adik ipar kami. Hubungan kami sudah selesai sejak ia menghilangkan nyawa Hana." Dong Kook hyeong memencet tombol lift penuh ketidaksabaran. Setelah ucapan Dong Kook hyeong menggema, aku diam memperhatikan setiap wajah di depanku. Bukan hanya diriku yang kehilangan Hana, mereka semua yang lebih lama mengenal Hana pasti jauh lebih merasakan sakit dibandingkan aku. Entah kekuataan darimana yang menghinggapiku saat itu, mulut ini bersuara memanggil Seoga hyeong. Menyuruhnya kembali masuk ke dalam apartemen.
Awalnya ia sangsi tapi aku memaksa agar keributan ini cepat berakhir, bahkan aku memberikan jaminan kalau mereka boleh membawa Na Mi menginap selama seminggu. Semua mata tertuju padaku dengan berbagai macam ekspresi. Aku tau mereka pasti sedang bertanya-tanya, keributan terjadi bukankah karena aku tidak mau Na Mi dibawa pergi, kenapa sekarang aku memberi izin?
"Hyeong aku minta tolong," ucapku sembari menarik laci teratas di samping baby box Na Mi. Mengeluarkan sebuah album berwarna coklat keemasan berukuran 10x10. "Igeo uri hago Hananeun sajinisseo(1)."
Seoga hyeong menerima album itu membalikkan setiap lembaran berisi foto Hana, aku, USG Na Mi tapi yang paling penting bagiku saat menyusun foto-foto itu adalah perkembangan Na Mi di dalam perut Hana.
"Sebelum tidur dan ketika aku sedang ada waktu bermain dengan Na Mi. Aku selalu membuka album itu dan menceritakan padanya tentang Hana." Aku mengambil sebuah kotak kayu, terukir nama Na Mi di sisi atas. "Aku melanjutkan apa yang sering Hana lakukan saat sedang hamil Na Mi." Kubuka kotak itu dan menampilkan banyak boneka jari di dalamnya, "Hana memesan boneka-boneka jari ini, mendongengkan tentang keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan pertemuan kami sejak Na Mi masih dalam kandungan."
Aku melihat sorot mata sendu Seoga hyeong, "Bisakah untuk selalu bercerita pada Na Mi selama aku tidak ada?" Dia bergeming, aku tidak tau harus melakukan apalagi selain menyerahkan itu semua pada Seoga hyeong dan menyuruhnya segera kembali ke rumah. Aku memikirkan Na Mi agar bisa segera beristirahat.
"Wae?"
Aku hanya berdeham sembari mengangkat satu carseat cadangan.
"Wae?"
Tanganku diam di pegangan pintu. Tanpa perlu menoleh, bibir ini bergerak meluncurkan sebuah keinginan yang belum pernah aku lakukan sejak pemakaman Hana. "Aku lupa Na Mi mempunyai banyak orang yang mencintainya. Aku egois membiarkan Na Mi hidup bersamaku yang belum sembuh betul dari masa kehilangan." Mataku berkabut dengan cairan bening yang mulai mengambang, "Aku belum memiliki waktu untuk masa berkabungku sendiri, tidak ada waktu untuk memaafkan diriku sendiri. Untuk satu minggu ini aku ingin membenahi diri."
Seoga hyeong mengambil carseat dari tanganku, ia membuka pintu unit apartemen. Sebelum pergi ia menyempatkan diri berbalik dan tersenyum tipis, "Ambil waktu sebanyak mungkin yang kau perlukan. Datanglah ke rumah saat kau sudah siap dan.." Seoga hyeong menghela napas panjang, seperti sulit untuk dikatakan atau terlalu terluka egonya kalau sampai mengatakan hal itu. "Gomawo."
Aku mengangguk dan sesegera mungkin menutup pintu unit apartemen diikuti tatapan heran dari semua orang di depan pintu lift. Waktu, aku hanya membutuhkan waktu untuk menyembuhkan luka menganga di dalam diriku.
"Keun abeoji(2)!!!!" Na Mi langsung berlari ke arah Joong Gi hyeong sesaat setelah turun dari mobil. Tadi selepas aku menjemputnya dari sekolah, aku mengidekan untuk membawanya pergi ke rumah Seoga hyeong dan secara kebetulan ketiga kakak Hana sedang berkumpul lalu menyuruhku membawa Na Mi, setelah aku menghubungi pemilik rumah.
Aku membawa tas punggung Na Mi berisi baju serta mainnya. Tidak mungkin Na Mi ingin pulang kalau sudah bertemu dengan paman, bibi, dan sepupu-sepupunya. Aku hanya berniat untuk memberikan tas Na Mi pada asisten rumah tangga lalu pergi kembali ke apartemen. Sudah lima tahun berlalu tetapi aku masih menjaga jarak dengan ketiga kakak Hana. Bukan mereka tidak menerimaku seperti dulu tetapi ada bagian dari diriku yang masih merasa kalau keluarga ini kehilangan seseorang karena kelakuanku.
"Ya Lee Junwoo," teriak Seoga hyeong dari arah taman depan. Aku melambaikan tangan untuk pamit tapi tangannya menyuruhku untuk mendekatinya. "Tata krama pada kakak ipar sudah hilang, huh?" Aku tersenyum kecut mendengar kata 'ipar', Hana sudah lama tidak ada bukankah kami di sini hanya karena sebatas adanya Na Mi sebagai penghubung jembatan yang sudah lama aku rusak. "Menginaplah, hari ini istriku ulang tahun. Kami mengadakan makan malam untuk merayakannya."
"Aku tidak membawa baju, tidak apa-apa biarkan Na Mi saja yang menginap. Lusa aku jemput kembali."
"Waa apa kau tidak tau Hana pernah menyimpan baju-bajumu di kamarnya?"
Aku menggeleng dan untuk apa Hana menyimpan baju-bajuku di kamarnya? Dan rumah ini masih memiliki kamar Hana?
"Aku pikir sudah tidak ada kamar Hana, untuk apa Hana menyimpan baju-bajuku?"
Seoga hyeong menggeleng tidak percaya, "Kau pikir Na Mi tidur di mana selama ini kalau sedang menginap? Aku tidak pernah menghilangkan kamar Hana. Masih sama seperti dulu. Temasuk baju-baju milikmu karena ia pernah mengatakan padaku kalau suatu saat seorang Lee Junwoo pasti membutuhkannya." Seoga hyeong tertawa kecil, "Bukan hanya baju-bajumu tapi punya Na Mi pun ada. Dengan perut yang semakin besar, ia menyeret satu koper berukuran sedang dan tertawa jumawa kalau setelah melahirkan ia akan sering kesini untuk merepotkanku."
Aku ikut mengekeh, memang kelakuan Hana sulit diprediksi. Selalu sesuka hatinya, bertindak berlebihan dari apa yang belum tentu terjadi.
"Maafkan dirimu Junwoo-ya," Sekilas aku melihat Seoga hyeong menatap tangan kiriku, refleks aku menyembunyikan tanganku ke saku celana. "Hana tidak akan marah kalau kau melanjutkan hidupmu dengan orang lain. Sudah lima tahun, Na Mi membutuhkan keluarga lengkapnya sendiri."
Cincin pernikahanku dengan Hana mungkin hanya sebatas simbol, tapi bagiku cincin ini bermakna lebih. Bulatan perak di jariku adalah sebuah pengingat bahwa enam tahun yang lalu aku pernah menikahi seorang perempuan yang luar biasa menyebalkan tapi memberikan seluruh hidupnya untukku. Hana segalanya, sampai detik ini belum ada yang bisa menggantikan perempuan itu.
_________________________________________________________
1. Ini foto kami dan Hana.
2. Panggilan paman untuk kakak dari pihak ibu/bapak yang sudah menikah.