August tiba bersama Satya si manajer di gedung Modest lima belas menit sebelum waktu pemotretan. Mereka tergesa-gesa dengan langkah lebarnya. Peran utama edisi majalah untuk musim ini terlihat dingin, raut datarnya mengatakan kalau ia tidak ingin di sapa, siapapun.
Sangat cekatan para pekerja stylist memoles dan mendandani ketika August memasuki ruang pemotretan. Mereka didesak oleh waktu, serta atasan menuntut beberapa hal, semua harus diselesaikan dengan cepat. Orang-orang yang telah menjadi tim hari ini sibuk akan pekerjaan masing-masing. Mereka berlarian dan saling meneriaki nama.
"August, tolong menunduk sedikit." Perias bagian wajah berbicara. Tubuhnya memang lebih pendek dari si model–sedikit di atas dada dan di bawah bahu.
August menurutinya, pria itu berlaku ramah, bersamaan penata rambutnya menyisir perlahan, ada beberapa helai rambut yang tidak patuh.
"Gantilah bajumu." Dia si stylist busana, perempuan dewasa yang anggun, rambut bob sebahunya begitu mengagumkan.
August akan menggantikan hoodie hitamnya dengan pakaian sedikit maskulin. Sesuai tema edisi ini, ia akan tampak menjadi pria berkelas dengan gambaran wajah yang mengintimidasi.
Kemeja putih berkerah pendek–sengaja dibuka bagian kancing paling atas. Tidak, mungkin dua atau tiga kancing, itu biarlah urusan tukang foto. August keluar dari kamar ganti sesuai arahan stylist busana.
"Wow," perempuan itu terkagum. "Sangat sempurna. Pemikiranku tidak salah tentang pakaian ini untuk kau kenakan." Terangnya.
August membalas dengan senyuman belaka, ia cukup berkata terimakasih lalu pergi, berpose sedikit kemudian pulang. Tidak sulit jika dikerjakan satu per satu, hanya saja waktu yang dibutuhkan lebih dari jatah hidupnya dalam sehari. Bukan khawatir ia akan lelah atau sejenisnya, tetapi hari ini August benar-benar kurang berminat melakukan pekerjaannya.
Tidak diomeli si manajer saja ia sudah bersyukur, Satya selalu meledak-ledak semangat di saat melakukan pekerjaan. Urusan tidak berminat sang model itu biarlah disimpan tanpa diketahui orang.
"Tolong ganti sepatu August, bukan yang itu." perempuan berambut bob sebahu berseru kepada asistennya. Fara juga berkali-kali mengagumi karyanya. Tidak salah pihak Modest mengabulkan usulannya.
Fara ialah orang pertama yang menyuarakan August sebagai model utama majalah fashion mereka. Selain ia selalu berada di atas nama yang diperbincangkan, Fara juga menginginkan pemuda itu sejak lama sebagai model utama untuk proyeknya kali ini.
"Apa yang ini, Mbak?" asisten tadi memastikan.
"Iya. Berikan padanya, saya menerima telepon dulu." Fara menjauh, mencari tempat yang hening. Kaki jenjangnya begitu menarik dalam bungkusan celana panjang longgar. "Astaga. Aku lupa. Antarkan ke Modest sekarang, Fan. Mbak tidak punya waktu." Ia membalas perkataan orang yang menghubunginya.
Sekembalinya Fara ke ruangan pemotretan, August telah melakukan pose-pose yang membuat seluruh pekerja terpukau, wajah dingin dan tak acuhnya harus diabadikan. Mungkin bukan hanya penikmat produk Modest yang membeli edisi ini. Dipastikan para pekerja mereka akan ikut serta mengoleksi.
"Gust, buka dua kancing lagi kemejamu dan satu kerahnya diusahakan menempel ke dada." Arahan dari juru potret.
Sang model sudah biasa akan hal itu, bahkan sangat mudah ia menuruti kehendak pria yang menggenggam kamera.
"Siapapun, gulung kedua belah lengan kemejanya. Itu kurang ke atas." Juru potret meminta lagi. Fara sebagai penanggungjawab segera melakukan tugasnya. Jemarinya tampak lihai, menghasilkan lipatan yang rapi.
Kebetulan suasana hati pria busana tidak secerah sebelumnya, suatu hal yang tepat, ia cukup menyunggingkan bibir ke atas, serta cukup juga mengundang penggemar menjadi hilang akal akan pesona yang ditunjukkan.
Tidak sedikit juru potret mengucapkan kata memukau, sejauh ini ia memasukkan August ke daftar model terbaik yang pernah ia tangani.
"Terimakasih semuanya telah bekerja keras." Kata tukang foto, mengawali.
"Terimakasih semuanya." Mereka bersahutan, semua yang ikut serta dalam tim saling memberikan pujian dan kebaikan. Senyum merekah mereka menyatakan kepuasan, masing-masing mereka telah melakukannya sebaik mungkin.
August beranjak dari kursi–temannya berfoto–menghampiri Satya yang sedang berbincang dengan penanggungjawab kerja hari ini. Pria busana menggerakkan pandangannya hanya pada Satya, kapan pekerjaan itu akan selesai. Ia mengabaikan orang lain yang memperhatikannya dengan penuh pemujaan.
Lima belas menit sebelum pemotretan disudahi, Fany telah bergabung di sana. Ia menjadi diam seketika, termangu terhadap objek di bawah lampu. Fany tahu siapa pemeran utama edisi Modest kali ini, dan tak asing mendengar nama August dari berbagai pihak. Namun, ia sungguh tidak tahu jikalau model itu sangat memukau dan rupawan.
"Fan, apa yang kau lihat?" Fara menegur sekaligus menepuk bahu adiknya. "Kenapa tidak langsung menemuiku?"
"Aku tidak ingin mengganggu, Mbak. Tadi lagi bersama seseorang." Timpalnya.
"Berikan barangnya, August harus segera berganti busana, juga sudah hampir jam makan siang." Fara mengulurkan tangan meminta.
"Mbak, bisa mengatur pertemuanku dengan August tidak?" Fany berbisik.
"Untuk keperluan apa?"
"Hanya sebatas dekat lalu berteman." Fany tersenyum simpul, ia malu-malu mengakui ketertarikannya pada pria busana.
"Mbak usahakan. Kalau August tidak menerima, apa boleh buat. Mbak tidak bisa melakukan lebih dari itu."
"Yes," Fany kegirangan. "Tidak masalah. Satu foto bersama sudah cukup."
Ketika semua yang terlibat penasaran dengan hasil yang dibanggakan tukang foto, pemeran utama memilih bersembunyi di kamar gantinya. August mulai merasakan gejala itu datang.
'Kapan aku meminum darah terkahir kali?' August mengingat-ingat lagi.
Tubuhnya melemah, kepalanya mulai pusing. Dengan cepat August menyambar tas, mengacaknya, mencari kantong darah khusus yang selalu ia siapkan. Sia-sia. Ia tidak menemukan barang yang dicari.
"Sebentar lagi selesai. Tahan sebentar." August bergumam sendiri.
Ponsel. Pemuda ini mengingat ponselnya, ia bisa menyuruh Zay mengantarkan cairan itu. August meraba-raba saku celana dan hoodie yang ia gunakan tadi.
"Sial. Ponselku ada di kak Satya." Geramnya.
August terduduk, tak berdaya. Dan tetap saja ia melawan sakit itu agar orang-orang tidak mencurigainya. Ia tidak boleh pingsan tiba-tiba, semua orang akan bertanya.
"Gust, sudah selesai?" ia mengenali suara Fara, di selingi ketukan pintu.
Dengan susah payah pria busana berdiri, langkahnya begitu berat sehingga kakinya berjalan terseret-seret. Ia sempoyongan. Kepalanya semakin menyakitkan. Ia benar-benar membutuhkan obatnya, sekujur tubuh terasa terbakar.
"Panggilkan manajerku ke sini." August masih menutupi siksaannya.
Fara mengangguk ragu, ia menangkap sesuatu yang kacau dari model itu. Fara tetap melakukan tugasnya, ia bergegas mencari pria yang dibutuhkan.
"Argh…!" August berteriak di dalam sana. "Aku bisa menanganinya."
Ia memegang dada yang berdebar tak karuan, August kembali tersiksa oleh kelalaiannya. Akibat ia tidak menghiraukan perkataan Zay. Pemuda banyak bicara itu selalu mengingatinya sebuah kebaikan. Sialnya, teman tak tahu diri menolak perhatian yang ia berikan.
Sementara itu, Fany menunggu kakaknya dan membawa kabar menyenangkan.
"Mbak ke mana?" Fany baru menyadari Fara tak kunjung menemuinya. Ia juga ingin tahu, apakah August bersedia bertemu dengannya?
Fany sungguh tidak sabar hendak bertemu sang model, ia ingin segera menyapa August. Fany memilih untuk menemui pria busana sendirian, entah kapan jika menunggu Fara. Ia tak bisa membuang-buang waktu.
Dengan perasaan gembira, Fany menemukan pintu bertulis August Blanchard. Kemudian ia mengetuk beberapa kali, memastikan pemiliknya ada di dalam.
Tak kunjung disambut, Fany semakin dibuat penasaran. 'Bolehkah aku masuk?' pikirnya. Ia menjadi gadis penyusup. Tidak apa, ia hanya memastikan sesuatu.
Setelah itu Fany mendengar geraman yang mengundang. "Dia sedang melakukan apa?" suara pelan Fany.
Tanpa sadar, Fany menekan knop pintu, membukanya diiringi wajah terkejut. Tubuh pria itu ambruk tepat di saat Fany melebarkan pintunya.
"A-apa yang terjadi?"