Chereads / Stylish Man / Chapter 16 - Tidak Bisa Dikendalikan

Chapter 16 - Tidak Bisa Dikendalikan

"Apa kau juga mempercayaiku?" Zay sedang bersusah payah menahan gejolak dalam dadanya. Ia mengunci tatapan mata Arunika. Apa yang dia harapkan? Ia seperti dituntut sesuatu untuk membekap bibir kemerahan milik teman saudara sepupu.

"Z-Zay?"

Laki-laki itu terkesiap. "Y-ya, pipimu terkena noda, a-aku bermaksud mengelapnya." Hampir saja Zay melakukan hal terlarang. Ia benar-benar akan dicabik Sarayu kalau saja ia menuruti keegoisan.

"Aku bisa mengelap sendiri." Aru melepas genggaman, mengusap kedua pipinya meskipun tak ada secoreng noda. Ia telah tertipu.

Mereka dilanda kecanggungan dua kali.

"Ka-kalau begitu aku melihat yang di sana saja." Zay berlalu entah ke mana. Yang jelas ia ingin menjauh dari gadis itu.

Sembari meredam keinginannya untuk memeluk Aru tanpa izin, Zay mencari sesuatu yang bahkan tak akan ia temukan. Hanya mengikuti langkah tanpa arah.

"Kau gila, Zay." Pemuda itu bergumam, menyesalkan dirinya.

***

Cukup lama Arunika menunggu laki-laki yang mengajaknya tadi, setelah terjadinya kecanggungan di antara mereka. Ia berjongkok –tak jauh dari akuarium utama– sambil melirik-lirik mencari, apakah Zay akan menemuinya.

Rambutnya yang sedikit ikal di bagian bawah sudah tak serapi tadi. Tapi untunglah, dari kejauhan terlihat Zay berlari kecil menghampiri Arunika.

"Mau es krim?" tawar Zay. Ia berusaha menghilangkan rasa gugup bersamaan mengulurkan tangannya. Ia harus bersikap biasa saja, biarkan Aru bertanya-tanya sendiri dalam diam, setidaknya Zay tidak mendengar. "Kenapa tidak menungguku di tempat tadi?"

"Aku sudah selesai melihat ikannya." Sahut Aru. Lalu berdiri setelah menerima sambutan pemuda bertas selempang ini.

"Kau memang menjawab seperlunya, ya?" tanya Zay. "Bagaimana kalau aku tidak puas dengan ucapanmu? Atau kau meminta paksa aku untuk segera menyelesaikan kerjasama kita. Itu lebih baik daripada aku menjadi laki-laki kikuk ketika berbicara denganmu." Ia ingin tahu rahasia di balik diamnya teman saudara sepupu.

Dan ada apa dengan dirinya? Zay seakan ingin meledakkan rasa yang tertanam. Sulit sekali menyesuaikan diri kepada gadis malaikat. Mencoba memahami karakter Aru yang begitu sukar diketahui. Meski ia melakukan hal terlarang, apa Aru akan tetap diam? Diamnya sama saja seperti kejahatan.

"Untuk apa? Aku tidak selayak itu untuk memaksamu." Aru menunduk, enggan menatap lawan bicara. "Kau menyetujui permintaan tolongku saja sudah sangat beruntung."

"Apa kau bisa mengekspresikannya lebih dari ini?" kata Zay. "Aku penasaran ketika kau banyak bicara. Yah … contohnya Sarayu."

Gadis malaikat tersenyum samar. "Ayo, kau mau membelikanku es krim kan?"

"Kau menerima tawaranku?" Zay kembali berbinar. Arunika pun mengangguk. "Baiklah, ayo kita ke kedai es krim." Tanpa ragu laki-laki ini menarik jemari teman saudara sepupu. 'Seperti biasa, kau pandai mengalihkan obrolan.' Ungkap benak Zay.

***

"Kak, kau boleh pergi." Pinta August.

"Gust, kau tidak usah merasa hebat. Kau baru saja sembuh, jangan menambah kekhawatiranku."

Perdebatan model dan sang manajer di depan pintu masuk penthouse. August dengan sikap keras kepalanya membuat Satya menggeram. Tangannya mengepal.

"Kak, aku bukan anak kecil, aku bisa meneleponmu jika memang terjadi sesuatu. Aku mohon … aku ingin sendiri dulu." Mata August membuat Satya luluh.

Si manajer menghela napas. "Masuklah." Ia memerintah.

Kembali pada penthouse luas dengan ruang temaramnya, August menikmati tiap embusan angin yang menyentuh kulit. Jendela kaca terasnya selalu terbuka.

Ia masih disiksa kerinduan. Alana yang ia tunggu selama ratusan tahun menolak sentuhannya. Benar, memang ia bisa menyikapi dengan biasa, tetapi sesuatu di dadanya terasa menusuk. Ia sakit.

"Apa kau bisa menemuiku?" August memanfaatkan kesakitannya demi memanggil suara itu. "Aku sekarang sangat tersiksa." Ia tersungging, memandang pemandangan kota yang telah di telan malam. "Kau suka sekali menikamku, Alana."

Lama August menunggu suara yang ia harapkan, hingga pikirannya melayang kembali ke masa ketika melihat dua anak kecil seumuran tertawa lepas. Ia mengamati anak-anak itu sambil menempatkan kepala di pangkuan perempuan cantiknya.

"Anak kita yang perempuan mirip sekali denganmu." August yang dalam pangkuan dan terpejam mengatakan itu. "Aku harus lebih ekstra untuk menjaga kalian."

"Tapi dia pantang menyerah sepertimu." Perempuan cantik August mengukir senyum simpul. Rambut kuning keemasannya menyentuh dahi si pria.

"Karena itulah semua laki-laki akan tertarik pada putriku, hanya ibunya yang bisa menyaingi kecantikannya."

Kenangan ratusan tahun seakan terasa nyata, seolah percakapan itu baru saja terjadi. Dan ketika para prajurit terkutuk mengambil paksa Alana, rasa sakit kembali menyiksa.

August berlutut, masih menunggu suara lembut Alana. Sayangnya, suara tersebut tidak kunjung datang.

Rindunya kali ini benar-benar tidak bisa dikendalikan. Ia harus menemui gadis kemarin, apapun caranya.

Dengan langkah tergesa, pemilik penthouse menyambar kunci mobil, dan memakai topi hitam. Gemuruh mesin bercampur decitan ban ketika ia membelokkan stir terdengar di lantai parkir.

Mobil August melesat cepat.

Seketika ia berpikir, bagaimana cara menemukan Arunika? Pertemuan kemarin ia tidak bertanya sedikitpun tentang gadisnya. August menjadi resah, bagaimana ia bisa mendapatkan penawar sakitnya?

"Sayang, kau di mana?" August memelas. Ia layaknya pria tersesat dengan semua kebodohannya. "Maaf, di kehidupan ini aku tidak bisa menemuimu. Aku bahkan tidak menepati janjiku." Ucapnya.

Kendaraan berwarna hitam itu berhenti di pinggir jalan, laki-laki di belakang kemudi sudah tidak tahu akan membawa ke mana. Semalaman ia menyusuri jalanan kota, ketika semua orang tenang dalam tidurnya, August mencari seorang gadis yang entah di mana.

Hingga langit perlahan berubah warna, matahari yang memasukkan cahayanya ke awan dan langit memberi warna jingga di selingi warna sedikit gelap.

Bunyi denyit dari jam tangan August terus-menerus memenuhi ruang mobil. Menandakan jadwal pemotretan tertunda majalah Modest akan dilanjutkan hari ini.

Pagi-pagi sekali ia akan terbangun dan meminum cairan yang menjadi kebutuhan tubuhnya, kalau saja ia berada di penthouse. Dan ternyata, August masih diselimuti keinginan dan harapan di sini –di pinggir jalan.

Dering ponsel merusak suasana hati sang model, Satya menghubunginya. "Gust, kau di mana?" tanya si manajer melalui sambungan telepon. Ia menaruh curiga pada pria busana ketika August meminta ingin sendiri. Satya khawatir akan disuguhkan kejutan lagi.

"Aku tidak di rumah."

"Kau baik-baik saja, kan?" Satya menangkap hal-hal aneh akhir-akhir ini terhadap anak asuhnya. "Kau tidak ingin kabur kan?"

"Aku sudah tahu jadwalku. Kakak pergilah sendiri ke Modest, nanti aku menyusul." Tanpa sahutan dari sang manajer, August memutuskan sambungan teleponnya.

Mobil hitam mewah yang jarang diketahui para penggemarnya –kecuali Satya– melesat menuju gedung Modest. Bahkan matahari belum bersinar sempurna. August akan tiba lebih cepat dari para pekerja Modest.

Tetapi sebelum itu August harus kembali ke penthouse, ia akan membawa beberapa kantong darah untuk jaga-jaga.

Ketika matahari terbaik hari ini memberikan cahaya terangnya, tak sengaja mata uniknya menangkap seorang gadis yang ia cari. Benarkah takdir begitu baik untuknya hari ini?

"Alana?"