"Alana?" August berseru. Gadis itu sedang berjalan menuju tempat penenang hatinya. Kelas tari balet.
Tanpa pertimbangan, August menghampiri dengan cepat. Perasaannya kembali membuncah, ia hendak mengeluarkan semua kerinduan yang tertahan.
Decitan rem menggesek aspal menganggu jalan gadis tadi, ia mengumpat karena mobil itu hampir saja menabrak tubuhnya.
Arunika menoleh, alisnya menyatu dengan beberapa kerutan di dahi. Aru tidak mengenali mobil hitam tersebut. Ia masih diam berdiri ketika seorang laki-laki membuka pintu.
"A-august?" gumamnya. Ia seperti mimpi. Bagaimana bisa pria itu tiba-tiba ada di depannya. Bahkan sekarang waktu masih pagi. Mungkin benar, saat ini ia masih terbaring di ranjang, memimpikan tentang kedatangannya ke kelas balet kemudian menjumpai August.
Langkah lebar August mengejar gadis yang begitu menyiksanya semalaman ini. Pria busana seketika memeluk erat Arunika. Ia menumpahkan kerinduannya.
"Aku mencarimu." Bisik August. Tubuh gadis ini menegang.
Sungguh Arunika tidak mengerti, alurnya terlalu mengejutkan. Seorang August –orang yang ia gemari– datang ke tempat yang hanya Sarayu dan Zay saja yang tahu, lalu memeluknya seolah telah berpisah lama.
August melepaskan pelukannya, menangkup wajah cantik dengan tangan, wajah kecil itu seukuran dua telapak tangan besar pria busana.
"Kau mau ke mana?" tanya August.
'Suaranya jelas' pikir si gadis berambut sepunggung.
Arunika masih termangu, mungkin ia berhalusinasi. "Kau tidak menjawabku?" pemuda tinggi itu bertanya lagi.
"Kau siapa?" gadis ini benar-benar belum mengerti dan menyangkal.
"Tidak mengenaliku?" August menggenggam jemari gadisnya. "Ayo kita pulang saja." Pria busana memang lupa atau pura-pura lupa bahwasanya Aru bukanlah Alana.
"Maaf, Anda terlalu lancang, tuan! Apa anda sadar anda siapa? Bagaimana kalau ada paparazzi di sini, dan karir anda bisa jatuh kapanpun."
"Kalau begitu kau masuk ke mobilku." August menarik –sedikit menyeret– lengan Arunika.
"Tidak. Aku ada kelas balet."
"Benarkah? Baiklah … aku akan menemanimu."
"Kau ini siapa? Memegang tanganku tanpa permisi." Aru harus meluruskan kesalahpahamannya. Ia harus sadar dari halusinasi di pagi hari. Tetapi percakapan mereka begitu jelas dan terdengar nyata.
"Benar-benar tidak mengenaliku?" raut terkejut August sangat menggemaskan. Arunika terpana seketika. Pemuda di hadapannya begitu memesona.
'Dia bisa menyeretku tadi' Arunika terus berdiskusi dengan pikirannya.
"Kau bukan August. Tidak mungkin dia sepagi ini ada di luar dan tiba-tiba menyeretku." Terang Arunika.
"Kalau ingin membuktikannya, ayo ke rumahku." Pria busana menarik lengan gadisnya untuk kedua kali.
Hasil akhir, Arunika duduk di bangku samping August. Gadis itu kalah, ia menuruti –paksaan– ajakan sang model.
***
Gadis berambut bermodel ekor kuda, belum mengeluarkan perkataannya setelah satu ruangan dengan August, mata uniknya mengikuti setiap gerak August yang sibuk bersiap untuk pemotretan nanti. Ia kembali ke penthouse yang meninggalkan kenangan kemarin. Kenangan yang seharusnya Aru lupakan.
Aru tidak tahu kegunaan dia berada di sana. Layaknya patung yang menemani pemilik rumah, atau apa?
"Kita akan ke mana lagi?" Arunika membuka suara. Entah keberapa kali August menarik tangan gadisnya. Pemuda itu tidak memedulikan gadis yang berbicara.
Mobil hitam mewah pun pergi meninggalkan penthouse, mereka hendak mengunjungi gedung Modest. Tempat yang tidak diketahui Arunika sebelumnya. August si pemberi kejutan–paling tidak gadis itu bermasam muka.
"Kenapa mengajakku ke sini? Bisa-bisa kita akan dicurigai, aku juga akan disantap penggemarmu yang lain." Protes Aru pada laki-laki di balik kemudi. "Apa dia gila?" tambahnya bergumam.
"Aku bisa mendengarmu." Pemuda itu menyela.
Arunika seketika membungkam mulutnya.
"Aku menunggu di mobil saja." Si gadis berkata kemudian.
"Mesinnya sudah padam, dan pintunya akan aku kunci. Kau yakin akan tetap tinggal?"
Arunika tampak berpikir, ia merasa jadi korban penculikan dan pemaksaan. Sulit dimengerti, pria busana yang mereka puji-puji ternyata menyembunyikan sikap pemaksa.
"Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian, Gust. Kau tidak memikirkan itu?"
"Tidak."
Pria busana membuka pintu mobil penumpang, mempersilakan gadisnya untuk turun. Terlihat ragu-ragu Arunika menggeserkan kakinya.
Dan ketika mereka hendak masuk ke lift, Aru celingukan, memantau mata siapa yang akan menangkapnya dari kejauhan, lalu memunculkan kehebohan bagi karir cemerlang August.
"Alana." Panggil sang model.
Aru menoleh, tampak dari rautnya ia terkejut. "Arunika. Namaku Arunika."
Di saat bersamaan, pelipis gadis itu berdenyut, sekejap ia memegangnya.
'Aku bisa menahannya'
Untunglah, laki-laki di samping tidak menyadari. "Ayo kita menunggu di ruanganku saja kalau tidak ingin diganggu pekerja Modest." Kata August, mencuri lirikan kepada lawan bicara.
Arunika tidak ingin membuat pertikaian di saat semua orang akan menatap ke arahnya dengan mata kebencian. Ia tetap mengikuti ajakan sang model.
Mungkin August sedang kehilangan kesadarannya.
Pada bilik bertuliskan August Blanchard, sepasang manusia mengalami perdebatan kecil. Sudah berlalu selama satu jam mereka saling membenarkan perkataan masing-masing.
Sementara itu, para pekerja Modest mulai berdatangan, pemotretan yang tertunda akan segera dilaksanakan.
Suara bercakap-cakap tersampaikan ke telinga dua manusia di dalam bilik sang pria busana. Arunika semakin dibuat tak berkutik. Ia mengkhawatirkan suatu skandal antara gadis biasa dan pemuda terkenal. Tentu saja gadis biasa itu dirinya.
Ritme ketukan pintu yang cepat pada bilik August Blanchard membawa dua manusia itu menoleh secara bersamaan.
"Kukira kau belum tiba." Satya berujar setelah pemilik ruangan membuka pintu.
"Pemotretan sudah dimulai?" August bertanya. Kebiasaan yang belum pernah ia tunjukkan. Tampak si manajer berpikir dengan serius. Berbeda dengan pria busana yang mengira Satya akan memintanya bersiap.
"Kau bertanya?" heran Satya.
Sang model menatap datar laki-laki di hadapannya.
"Ah, ya. Se-sebentar lagi … mungkin sekitar lima menit." Terang si manajer. Seketika ia menjadi gugup. 'Sejak kapan anak ini menanyakan jadwalnya?' pikir Satya sembari melirik August diam-diam.
"Aku akan menyusul." Sahut August lalu menutup pintu.
Satya terheran untuk kedua kalinya, ia merasa pemuda itu melakukan hal di luar kebiasaannya. Sejak kapan August memedulikan waktu di setiap pekerjaannya? Bahkan ia tidak membiarkan Satya melihat ke dalam, sebatas menampakkan wajah pada celah pintu.
"Temani aku selama pemotretan." August tanpa permisi menarik jemari Arunika.
Sayangnya gadis berambut model ekor kuda ini memaksa lepas. Ia sembunyikan jemari-jemari itu ke dalam pangkuan. Ia tidak ingin dicuri lagi.
"Untuk apa? Pasti akan menambah masalah. Aku akan tetap di ruangan." Tolak Arunika.
"Entahlah, aku sangat ingin dilihatmu ketika bekerja."
"Sungguh, kau sungguh aneh. Meskipun aku penggemarmu, tetapi kita orang yang asing, kau tidak mengenalku. Dan seketika kau berkata yang tidak masuk akal." Arunika menjelaskan kegelisahan hatinya. Sesekali ia memegang kepalanya yang berdenyut sedari tadi.
'Kau bodoh berkali-kali, Gust. Dia bukan Alana yang kau bisa berlaku mesra' si model menggerutu sendiri. Terkadang ia melupakan siapa Arunika. August seolah-olah menganggap Alana yang terus bersamanya.
"Maafkan aku…." August menahan pandangan Aru dengan matanya agar tak berpaling. "Aku hanya rindu saudaraku." Senyum samarnya dilihat gadis itu. Laki-laki ini berbohong lagi.
August kemudian pergi, melewati pintu sebelum mendengar sahutan gadisnya.
Dalam menit berikutnya, bunyi pintu terbuka mengejutkan perempuan di dalam ruangan.
''August?'' gumam Arunika. Namun, yang datang bukanlah sesosok pria.
"Kau siapa?" seseorang yang membuka pintu bertanya.