"Kau siapa?" Fara terkaget mendapati gadis cantik di ruangan modelnya. "Mengapa bisa masuk … ke sini?" tanyanya lagi.
Arunika langsung berdiri. "Sa-saya saudara dari August." Ia menjawab asal, yang terlintas dalam kepalanya hanya itu. Untuk sementara ini tidak masalah bukan?
"Saudara?" Fara terlihat berpikir. "Kukira dia pria yang selalu sendiri."
"Ya?"
"Bukan apa-apa. Aku hanya sebatas pengurus model ketika mereka menjadi pemeran utama dalam majalah kami." Fara bersedekap memperhatikan perempuan yang mengaku sebagai saudara August. Dari tatapannya, Fara belum mempercayai hal itu.
Fara melihat gerik aneh dari tubuh Arunika, seperti orang yang menahan sesuatu.
"Baiklah. Aku tidak menemukan yang aku cari, dia sudah pergi sendiri." Perempuan berambut bob sebahu pun melambai tangan. "Silakan minta kepada pekerja di sini kalau membutuhkan hal lain." Fara melangkah menuju pintu keluar.
Dalam sekian detik suara ambruk mengagetkan perempuan yang hendak pergi tadi, Arunika terduduk, penglihatannya semakin samar, kepalanya memberikan gambaran kunang-kunang dan dua anak kecil. Kemudian gelap. Aru menutup mata dengan sempurna.
Dengan cepat Fara mendekat lalu berlutut, memangku gadis itu.
"Bangunlah. Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?" Fara menjadi tidak karuan. "Kau dan August sama saja, pingsan tidak tahu tempat." Ocehnya bercampur gelisah.
Fara menelusupkan tangannya ke saku, mengambil ponsel, orang pertama yang di pikirannya adalah Satya.
Di tempat berbeda, langkah tergesa-gesa si manajer tak sengaja diketahui August yang tengah berpose di bawah lampu. Membuat pria busana menaruh curiga, bagaimana seseorang bisa memberikan raut khawatir jika tidak ada pemicunya.
"Kak, ada apa?" raung August. Sayangnya, Satya tidak bisa menyahut lagi. Ia terlalu memikirkan siapa gadis yang berada di ruangan anak asuhnya.
"Gust, kau juga mau ke mana?" tukang foto memutar tubuhnya, bersamaan pandangan yang mengikuti arah August berlari.
Semua kekacauan terjadi begitu saja, para pekerja Modest hanya memilih pasrah. Pemeran utama majalah musim ini sangat berbeda dengan model musim lalu.
Banyak sekali kejutan.
***
August menerobos masuk, mengambil tubuh gadisnya dari pangkuan Fara. "Sayang, apa ada yang membuatmu sakit?" ucapnya.
Semua yang berada di sana terdiam, sebatas memperhatikan. Dengan langkah cepat, August membawa Arunika keluar dari ruangan. Ia tidak memedulikan pemotretan yang telah ia tunda beberapa kali. Tidak memdulikan mata yang menatap dan membisu.
August mengira, ini ada hubungannya dengan takdir yang mengikat mereka. Sesuai ramalan seratus tahun lalu.
Tidak ada keberanian dari Satya ataupun Fara, mereka tidak bisa mencampuri urusan pemuda kesepian itu.
Mobil hitam meluncur cepat memasuki halaman parkir penthouse. August tahu, terpejamnya Arunika karena tubuh manusia itu belum mampu menerima potongan-potongan dari bagian masa lalu.
Kembali pada ranjang berseprai abu-abu, tempat August membaringkan kekasihnya pertama kali dulu. Tak menyangka ia akan melakukan hal serupa.
Dengan lancang, pria busana mencuri kecupan di dahi gadis yang terpejam, cukup lama ia menempelkan bibirnya.
''Kapan semua ini akan berakhir?" August berkata pelan. Suasana hening dan napas teratur milik Arunika menemani diamnya pemilik penthouse. "Baru saja aku menemukanmu, Alana. Kau sudah membuatku tersiksa. Lebih baik disiksa kerinduan terhadapmu daripada menyaksikan kesakitanmu."
Pukul tujuh malam gadis di atas ranjang membuka matanya, ia mendapati August yang tertidur sambil bersedekap–pria ini tidur dalam keadaan duduk. Posisi yang kaku.
Arunika beranjak, ia bergegas hendak pergi, ia merasa ketakutan. Perasaannya yang tidak karuan terus saja menginginkannya meninggalkan tempat mewah ini.
Hingga pemilik penthouse mendengar suara-suara kecil yang menyebabkannya terbangun.
"Alana!" August telah melihat gadisnya di dekat pintu.
Langkah besar pemuda itu menghampiri dengan wajah lelah yang menghiasi.
"Kau sebenarnya siapa?" kata Arunika menunduk. "Kau sebenarnya siapa?" ulangnya menekan. "Apa keperluanmu denganku?" kali ini ia berkata tegas.
"Apa maksudmu?"
"K-kau selalu mendatangi mimpiku. Mimpi yang seakan-akan nyata bagiku. Dan mengapa kepalaku selalu sakit ketika bersama denganmu? Kau itu menakutkan." dada si gadis narik turun.
Tak sengaja August melihat mata Arunika yang mulai berkaca. "Apa kau tahu yang kau katakan?" tanya August.
Arunika menggeleng, tentu ia tidak tahu, bagaimana ia bisa tahu kalau mimpi itu datang terus-menerus tanpa keinginannya? Lalu mimpi yang membuatnya ketakutan, seolah terjebak pada suatu tempat yang tidak memperbolehkannya pergi.
August mulai bimbang, ia gusar, haruskah ia beritahu ramalan tersebut? Mungkinkah Arunika percaya pada cerita yang terkesan dongeng bagi orang-orang?
Pria busana kebingungan. 'Tidak. Jangan bicarakan dulu pada Aru tentang masalalu itu' pikir August.
Arunika melihat August tak membuka suara, laki-laki itu menunduk sebab kepalanya tak bisa memberikan solusi, alasan apalagi agar Arunika mengerti dan mempercayainya?
"Aku mau pulang." Pinta si gadis. Ia melirih.
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak perlu."
"Kau tidak tahu kalau sekarang sudah malam?"
Selagi mobil hitam milik sang model terkenal menyusuri jalan, keheningan menjadi teman masing-masing, mereka berdua tak ada yang memberikan suara.
Hanya August yang sesekali menatap gadis di sampingnya. Tapi untunglah Arunika memilih menikmati lampu kota dari jendela. Sehingga pria di balik kemudi bisa lumayan puas menatap wajah cantik gadisnya. Meskipun raut sendu yang paling jelas digambarkan.
"Kau tidak berminat memberitahuku alamat rumahmu?" August memecah kesunyian di antara mereka setelah sekian lama.
"Masih jauh dari sini."
"Apa ada yang mengusik pikiranmu?"
"Tidak ada."
"Lalu, kenapa kau tidak berbicara sejak tadi?" August sedang berusaha menjadi pria keren yang memulai obrolan, mengenyahkan suasana hening yang tak berujung.
"Aku merindukan ayahku." Arunika beralasan.
Lalu mereka kembali diam, tampak ada kesedihan ketika gadis di sebelah menyebut nama pria yang lebih hebat darinya. Dan tetap saja, kesunyian di antara mereka terulang lagi.
***
"Aku sudah sampai, pergilah." Aru mengusir tamu yang selama ini ia impikan datang kerumahnya. Namun, itu dahulu. Karena keadaan mereka telah berubah. Rasa penggemarnya kepada August entah sejak kapan luntur.
"Aku ingin melihatmu masuk pintu, baru pulang setelahnya."
"Kau akan dimarahi ayahku, dia sangat tidak memperbolehkan laki-laki berkunjung." Alasan yang kedua. Cara termudah agar August pergi dengan cepat.
"Tidak masalah, dia kan juga ayahku." Pria di dalam mobil menyahut.
Arunika tertegun, mulut pemuda itu sepertinya perlu diajarkan tata krama.
Dengan enggan Arunika melangkah menuju pintu rumahnya, sembari meraba-raba isi tas. Ia hendak mengambil kunci yang biasa ia bawa kemana-mana. Gadis itu terbiasa pulang dan menemui rumah kosong yang sepi, tanpa seorang ayah.
Belum lama gadis berambut panjang sepunggung menenggelamkan tangannya dalam tas, pintu terbuka, menunjukkan pria paruh baya bersama raut wajah yang datar.
"A-ayah ada di rumah?" sang putri terkejut. Lagipula sekarang belum selarut itu kalau ayahnya pulang secara diam-diam.
"Dari mana?" Candra seketika menjadi pria ketus. Sebelumnya ia dijuluki ayah yang lembut.
Kendaraan mewah dengan mesin menyala, seketika derunya lenyap. Pemilik mobil hitam itu keluar lalu menghampiri ayah dan putrinya di depan rumah. Begitu percaya diri.
"Ayah," sapa August.
Wajah yang sudah tidak muda di hadapan Arunika memiringkan kepala, siapa pemuda ini? tiba-tiba memanggilnya 'Ayah'?
"Saya August, temannya Alana." Pria busana mengulurkan tangan.