Pria berkemeja memutuskan untuk menjawab ucapan August, setidaknya duduk sebentar akan mengurangi lelah dari kekhawatiran mencari si kecil. Ia mencium bayi kesayangannya lalu menyediakan kursi lain bagi si kecil –Airuz.
"Ayah, susu." Anak itu menagih janji sang ayah.
"Dasar bayi." August menyela dengan suara kecil.
"Ayah, umurku berapa?" ia menoleh pada pria di sebelahnya. "Aku bukan bayi, aku sudah sekolah." Ia tidak menerima cibiran Paman yang baru ditemui ini.
"Paman sudah lulus sekolah." August masih menjaili anak lucu di hadapannya. "Kamu masih kelas satu, berarti kamu masih bayi." Ia menerka.
Ayah si bayi terkekeh, mereka mudah sekali akrab, raut lucu Airuz yang bersungut-sungut membuat tawa ayahnya lebih keras.
"Namanya Airuz." Ayah si bayi menyahut setelah meredam tawa yang menggelitik perut. Bayinya tidak mau dianggap bayi, padahal selama ini ia melihat si kecil layaknya bayi. Bayi yang telah pintar mengoceh dan bermain.
"Ayah, susu." Ternyata si kecil belum mendapatkan keinginannya.
Dengan penuh perhatian pria berkemeja memberikan sekotak kecil susu yang dijanjikan.
"Saya terlalu khawatir, mengira Airuz hilang. Ketika sedang membayar di kasir, anak ini pergi entah ke mana." Terang laki-laki berkemeja.
"Saya juga terkejut, tiba-tiba bayi ini muncul lalu duduk, mengajak saya mengobrol." August menjawab.
"Dia sepertinya menyukaimu." Pria berkemeja mengelus kepala sang anak. "Tidak biasanya Airuz mengajak orang lain mengobrol, yang saya tahu dia sering ketus sama orang lain."
"Paman juga menunggu ayahnya, tapi ayahnya belum datang, eh ayah Ailuz yang duluan ke sini." Di sela meminum susu si kecil berucap.
"Ayah Paman lagi marah-marah di rumah, Paman kabur saja." Sebenarnya ayah yang di maksud August ialah si manajer. Tak apalah, Satya juga orang dewasa, dia lebih cocok dipanggil ayah.
"Sedari tadi kita bersama, tetapi belum mengetahui nama masing-masing." Kata lelaki berkemeja. "Saya Evan."
"August."
"Sudah menikah?" tanya Evan.
"Apa tampang saya lebih cocok sebagai laki-laki beristri?"
"Bukan begitu, dari cara perlakuanmu kepada anak kecil, saya rasa cukup mempunyai pengalaman."
"Dulu … ya. Sekarang tidak." Dari cara Evan memandang, sepertinya ia tidak mengerti. Kemudian August tertawa kecil. "Saya masih bujang. Belum menikah apalagi memiliki anak." Lalu ia mendekat dan berbisik. "Sedang memperjuangkan seorang gadis."
"Dia ragu-ragu terhadapmu? Wah, kisah kita hampir sama. Istri saya dahulu sangat sulit didekati, dia pendiam, terlalu menutup diri. Tapi entah mengapa anaknya malah banyak bicara." Jelas Evan diiringi senyuman.
"Benar sekali! Dia pendiam dan lugu namun pandai menyiksa hati tanpa menyentuh." August melanjutkan meminum sodanya.
Obrolan mereka terdengar menyenangkan, melupakan anak kecil yang telah menyelesaikan santapan susunya. Airuz merebahkan kepala berbantalkan tangan di atas meja. Ia berusaha membuat matanya terbuka, karena kantuk yang menyergap.
"Ayah…." rengek si kecil.
"Iya, sayang. ayo kita pulang." Evan beralih menggendong si kecil. "Saya duluan, semoga kita bertemu lagi."
August mengakhiri pertemuan dengan sedikit lambaian lalu tersenyum tipis. Tak lebih dari satu menit, ia kembali sendiri, lebih tepatnya kesepian.
Kemudian August meremas kaleng soda yang kosong, membuang dengan cara melempar, dan sampah itu berada dalam tempatnya. Ia mengencangkan tali bagian topi hoodie, menenggelamkan kedua tangan ke kantong, kemudian berjalan menuju penthouse.
Sedikit menyenangkan mengobrol dengan orang baru yang tidak mengenalinya, ia pikir semua manusia di kota ini kenal August Blanchard, nyatanya tidak. Ada banyak orang yang belum ia ketahui tentang ketidakpedulian terhadap dunia artis dan modelling.
***
Pagi-pagi sekali Zay mengetuk pintu penthouse pria busana, ia lupa telah diberikan access card. Mungkin tertinggal atau terselip di suatu tempat. Ketukannya menganggu laki-laki tertidur di sofa bed. Benar saja, Satya masih di sana sejak berselisih paham dengan August tadi malam.
"Bisa tidak bertamu jangan sepagi ini?" Satya menggaruk-garuk kepala, setelah membuka pintu untuk si pengganggu.
"Kau siapa?" celetuk Zay.
"Hei, anak muda. Kau itu seumuran August, panggil aku dengan lebih sopan. Kakak atau apalah."
"Kak, aku ingin bertemu August, apa dia di dalam?" Zay memaksa masuk, menuju kamar si pemilik penthouse. Satya tertegun di ambang pintu melihat kelakuan pemuda itu.
"Kalian berdua sama saja. Selalu memperlakukanku seolah lebih muda dari kalian. Menjengkelkan." Satya menguap sembari melirik arloji tangannya. "Ya tuhan, aku harus segera pulang." Ia bergegas menyambar jaket, memasukkan ponsel ke dalam saku. Lalu pergi meninggalkan penthouse tanpa memberitahu pemiliknya.
"Aku khawatir kau tidak sadarkan diri lagi, Gust. Aku lupa hari keberapa ini setelah kau tidak meminum darah."
August terkaget pintu kamarnya terbuka. "Sejak kapan kau di situ? Untung saja aku selesai berpakaian. Aku bukan Ailuz yang selalu diingatkan orangtua."
"Ailuz?"
"Jangan dibahas. Ada apa kau ke sini?"
"Terlepas dari mencari Alana, apa kau tidak berniat membuka kesempatan pada gadis lain? maksudku sangat sulit menemukannya, aku belum berhasil mendapatkannya." Terang Zay. "Kesibukanku di beberapa universitas akhir-akhir ini bertambah. Jadi, waktu untuk mencari Alana tidak ada."
"Tidak. Alana pasti akan kembali padaku. Kau tahukan berapa lama aku menunggu waktu itu datang? Apapun caranya, Alana harus menjadi milikku seutuhnya." August pergi begitu saja. "Aku akan ke Modest untuk pemotretan." Pintu kamarnya ia tutup.
'Aku salah bicara lagi' keluh Zay memperhatikan pintu tersebut. "Dia keras kepala sekali. Aku takut kau kecewa lagi, Gust." Ia menyusul pria busana keluar.
Datangnya Zay di pagi ini ialah waktu yang bisa ia pakai sebelum hari padat memenuhi dirinya, ia mengira dengan cara ia bicara bisa mengurangi – paling tidak – sedikit dari ambisi August mencari perempuannya. Salah besar. August tidak bisa menerima begitu saja masukan orang lain.
Getar ponsel dalam saku celana menarik perhatian Zay, dahinya mengerut setelah membaca nama Sarayu.
"Ada apa?" tanya Zay melalui telepon.
"Kau bisa ke rumah Arunika sekarang? Aku khawatir, ia tidak mengangkat teleponku, aku mau ke sana tapi tidak bisa, aku sedang ikut Papa ke luar kota hari ini."
"Berikan alamatnya." Dada Zay bergemuruh, hatinya gelisah. Dengan cepat ia meninggalkan penthouse tanpa bicara.
"Ada apa dengan anak itu?" kata August yang bersiap mengambil kunci mobil. Ia tidak ingin diantar manajer lagi. Ia berencana menemui Arunika sebentar sebelum bekerja, ingin menambah daya energy tubuh saja, tidak lebih.
Motor yang dikendarai Zay melesat cepat, beruntung jalanan pagi hari belum terlalu ramai, tas selempang yang ia bawa terletak sempurna di belakang punggung.
Kemeja yang ia pakai terkibas kuat, menandakan kecepatan motor itu. pikiran campur aduk selalu memenuhi kepala, Sarayu si saudara sepupu membuat pemuda ini tak karuan.
'Kau melakukan apa, Zay?' di tengah perjalanan ia berpikir. 'Mengapa kau sekhawatir ini? bisa saja Sarayu menipumu, atau ia berlebihan. Bukannya Sarayu hanya memberitahu kalau Aru tidak mengangkat telepon. Hanya itu'. Zay berulang kali berpikir.
"Ar. Arunika!" panggil Zay. Ia berhasil menemukan alamat si gadis malaikat. "Tidak dikunci?" dengan lancang ia membuka pintu. "Ar, kau di mana?" ia semakin dibuat khawatir.
Lalu, Zay mendapati gadis malaikat sedang berkemas, dan melihat wajah sembab kemerahan.
"Zay?" Arunika menatap heran.