"Teman?" Candra menoleh ke arah putrinya. Dari tatapannya saja pria itu meminta arti teman yang sebenarnya. Ia akui bahwa dirinya tidak memperhatikan Arunika dalam beberapa tahun ini. Namun, bukankah dia pernah melarang putri kecilnya agar jangan terlalu dekat dengan laki-laki? "Teman sepertia apa?" Candra hendak memastikan.
"Yah… teman – Kami baru saja kembali dari rumahku, Arunika tertidur di sana." August menyahut lebih dulu.
Sedangkan gadis di tengah kedua pria itu menundukkan pandangan, sembari tangan mengelus pelipisnya. Ternyata pria busana tidak mendengar peringatannya tadi.
"Sayang, benarkah itu?" dengan lembut seorang ayah bertanya pada anaknya. Aru tidak memercayai ini – di luar dugaan – ayahnya menatap dengan mata berbinar.
Perlahan gadis berambut sepunggung mengangguk.
"Boleh saya mengunjungi rumahmu, Ayah?" August menyela.
Candra dikejutkan oleh perkataan pemuda yang baru saja ia lihat. 'Dia berani sekali' pikir Candra. "Kau boleh kembali kerumahmu anak muda." Ucap ayah si gadis.
Dalam diamnya August, ia mengamati wajah Candra cukup lama. Sayangnya ia tidak mengenal wajah Candra. Pria itu bukanlah pria yang sama layaknya Arunika – yang sangat ia kenali melalui mata unik yang cantik. Candra benar-benar manusia yang dipercayai sebagai orangtua untuk menitip dan merawat Alana.
Pria busana tersenyum. "Terimakasih telah menjadi ayah dan menjaga Alana." Kemudian ia pergi, meninggalkan dua manusia kebingungan.
"Aru, dia memanggilmu Alana?" tanya Candra.
"Aku tidak tahu, ayah. Dia selalu memanggilku begitu tiap kali kami bertemu."
"Ayah mengerti, sebaiknya kau pergi ke kamarmu."
"Lalu, ayah akan pergi lagi? Kalau begitu jangan kembali, aku sudah terbiasa sendirian di rumah ini." Putri kecil Candra merajuk.
Candra membenarkan perkataan David, mungkinkah semuanya sebuah kebetulan? Lalu bagaimana pemuda tadi seenaknya memanggil Aru dengan Alana? Ataukah ramalan itu terjadi lebih cepat dari perkiraan? Ia harus meminta David menjelaskan lagi. Di sini ia kurang paham bagaimana hal ini bisa terjadi. Hanya sepenggal informasi yang ia tahu.
Ketika tengah malam, Candra pergi – sepengetahuannya Arunika telah tidur, dan tidak mungkin menyadari ia meninggalkan rumah. Perkiraan Candra salah, Arunika mengendap-endap membuntutinya hingga keluar. Sebelumnya si gadis samar-samar mendengar suara orang menarik ritsleting tas yang dibawa Candra.
Langkah lebar pria itu membuat jarak lumayan jauh bagi Aru. Ia kesulitan mengimbangi, sehingga membuatnya terhenti, selain itu minimnya cahaya bulan menerangi jalan mengurungkan keinginan mengejar sang ayah.
Tidak ada cara lain, selain menunggu ayahnya kembali.
Selama ini, Arunika tidak memedulikan apa yang dilakukan ayahnya, pergi tiba-tiba dan selalu di saat malam, lalu pulang yang ia tidak tahu pastinya. Itu bukanlah pekerjaan seorang manusia, berbeda dengan Paman Juna, pikir Aru.
***
Penthouse milik model terkenal dikunjungi bujang berusia tiga puluh tahunan, malam ini Satya akan memaksa August memberitahunya tentang gadis itu. Bahkan ia sudah tahu kalau pria busana tukang beri kejutan, tetap saja Satya dibuat terkejut berkali-kali.
"Kau berhutang padaku." Satya menodong anak asuhnya.
"Aku tidak merasa." August menyahut.
"Aku tidak peduli. Siapa gadis yang bersamamu?" mereka duduk berhadapan, dan seperti biasa, August bersama wajah malas seolah terpaksa menerima si manajer. "Urusanmu dengan Modest belum selesai. Mereka berulang kali meneleponku. Rasanya ingin kubuang telingaku."
"Buang saja, kan enak kalau tidak bisa mendengar. Kakak tidak akan tahu orang-orang yang mengatai kakak."
"Gust, aku ini sedang kesal dan marah, bisa-bisanya kau berkata seperti itu. Lama-lama aku bisa memberimu pukulan." Satya menggeram sendiri, ia mulai menyising lengan kemeja. Sebatas ancaman.
"Coba saja. Aku tidak akan tanggungjawab kalau mematahi lengan kakak." Pria busana menjawab santai.
"Kau–"
"Kapan pemotretan ulang di Modest? Besok aku bisa bekerja seharian di sana." terang Agust. Ia siap menyusun ulang jadwal-jadwal pekerjaan, menyibukkan diri seperti biasa. Kediaman Alana juga sudah ia ketahui, jika ingin bertemu, datang saja seolah berkunjung.
"Baiklah, aku akan menghubungi Fara nanti. Sekarang kau beritahu siapa gadis yang kau panggil sayang." Si manajer masih saja ingin tahu perihal kejadian di Modest tempo hari.
"Untuk apa kakak menanyakannya? Itu urusanku."
"Hah… sudahlah. Aku menginap di sini saja. Siapa yang tahu kau menyembunyikan gadis kemarin di salah satu ruangan pribadimu." Kata si manajer.
"Dia tidak ada. Karena sudah mendapat jawaban, sekarang kembalilah ke rumahmu." Pria busana bersikeras mengusir Satya. "Aku ingin istirahat dan tanpa pengganggu."
Mereka seperti saudara yang meributkan hak masing-masing. Malam ini August seolah hendak melepaskan keraguan dan ketakutan. Secercah harapan itu memberinya kekuatan, harapan agar Arunika mengingat dan menerima takdirnya.
Bisikan-bisikan yang August rindukan akhir-akhir ini tidak menunjukkan suaranya. Menandakan pria penuh pesona itu sedang tidak menyakiti diri.
Layar ponsel pintar di atas meja mengelipkan cahaya, sebuah peringatan untuk si pemilik, bertuliskan 'jangan lupakan tubuhmu'. Pengingat yang August buat sebagai penanda bahwa hari itu ia harus menenggak darah. Kondisi tubuh August yang normal, cukup konsumsi rutinan sebanyak satu kantong, yang setara dengan segelas.
"Rasanya membosankan." Gumam August. Kantong darah yang disiapkan oleh Zay ialah darah yang ia beli di rumah sakit – penyedia darah terbanyak sejauh ini. "Zay benar-benar buruk soal memilih, ia tidak bisa membaca di kantongnya apa? darah anak muda yang kutunggu – lebih manis dan segar."
Sedangkan Si Manajer telah terlelap di atas sofa bed empuk. Oleh karenanya, August dengan tenang meminum cairan kental hingga tak bersisa.
August menarik hoodie yang menggantung di stand hanger, memakainya, menarik bagian penutup kepala hingga menyisakan lobang seukuran wajahnya. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, August pergi meninggalkan penthouse. Ia berjalan di tengah malam. Lalu-lalang manusia yang sibuk tak menghiraukan siapa pria busana.
Bebas, rasanya bebas, tanpa ada yang mengenali. August memasuki minimarket, mencari beberapa minuman kaleng bersoda.
"Ahhh…." Tenggorokan itu telah terpuaskan.
'Lumayan lama aku tidak menikmati waktuku' pikirnya. Sembari jemari mengetuk-ngetuk meja. August masih duduk di kursi yang tersedia di depan minimarket.
"Kau melamun kenapa, Paman?" seketika anak kecil laki-laki menyapa. Lucu sekali. Segera ia menarik kursi lalu berusaha naik untuk duduk. August menatap heran. Anak siapa tiba-tiba datang dan duduk tanpa diminta? Rambutnya yang menggemaskan tersibak pelan karena angin. Menampakkan dahinya bersama senyum sampai terlihat gigi-giginya.
Ujung alis August menjungat.
"Paman juga menunggu ayah?" tanya si anak kecil.
"Ayah?"
"Ailuz sedang menunggu ayah." Ia memangku wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja. Seiring kaki yang tak sampai menginjak tanah – bergoyang-goyang di udara. "Tadi ayah beli susu." Imbuhnya.
"Kalau benar dia ayahmu, tidak mungkin kau ditinggal di sini."
"Paman juga sendirian bersama Ailuz." Si kecil menyahut.
"Ailuz?" ulang August. Sungguh wajah pria busana seperti orang bodoh, meladeni anak kecil yang tidak ia mengerti.
"Namaku Ailuz." Anak itu mengulurkan tangan. Ia sedang memperkenalkan diri.
'Dia seperti bayi, tapi dia bukan bayi' pikir August.
"Airuz…!" pria rapi berkemeja memanggil-manggil. Sesaat ia melirik ke arah August bersama anaknya. Ia berlari-lari kecil menghampiri. "Terimakasih telah menjaga anak saya." Katanya, lalu menggendong si kecil.
"Namanya Siapa?" August ternyata masih memikirkan hal sepele.