Tidak bisa dibohongi–raut wajah seorang laki-laki ketika gadis yang ia senangi meminta bertemu. Langkah tergesa seolah menunjukkan betapa tidak sabarnya dia.
Malaikat. Sosok Arunika berbeda sekali, tariannya yang gemulai tampak cantik kala itu. Zay benar-benar terpana, semalaman ia mengingat dan menggambar wajah si gadis dalam kepalanya.
Dari kejauhan Zay tersenyum melihat Arunika yang menunduk dan menunggu. Ia yakin kalau gadis di sana sedang menunggunya. Zay sedikit menyisir rambutnya dengan tangan, juga merapikan pakaian yang lumayan kusut. Seketika ia gugup.
'Yah… si pendek juga ada' Zay mengeluh. Kecewa karena Sarayu di sebelah Arunika. Tidak menyangka saudara sepupu akan menjadi orang ketiga dalam rancangan pikirannya.
Zay sejujurnya hanya ingin berdua saja dengan gadis malaikat. Ia akan memandangi kecantikan Arunika tanpa ada yang menyadari. Bisa kacau jika Sarayu si perempuan banyak tingkah bergabung bersamanya.
"Kenapa kau tampak lesu?" tanya Sarayu. Dan benar saja, Sarayu lebih dulu berkomentar.
"Aku kelelahan." Cukup enggan ia menyahut, sembari menarik kursi untuk duduk.
"Kalau kau merasa kurang sehat, bisa di tunda dulu pertemuan kita." Aru menyela. Ia menyadari kalau ia bertanggungjawab atas laki-laki bertas selempang itu. Bagaimana tidak, ia membutuhkan jasa Zay yang cerdas.
"Tidak-tidak, aku juga tidak ada masalah. Kenapa harus di tunda?" pemuda itu tertawa canggung. ''Seharusnya si pendek tidak usah diajak.'' Zay bergumam. Harapannya adalah mengobrol berdua bersama Aru saja, mungkin diselipkan sedikit candaan. Menyenangkan sekali.
"Apa?" Suara nyaring Sarayu membuat saudara sepupu bergidik. "Kau mengatakan sesuatu, Zay?"
'Syukurlah dia tidak mendengar'. Benak si pemuda menjadi lega. "Aku tidak mengatakan apa-apa, Sar. Kau salah dengar." Jawabnya.
Pemuda berambut sedikit pirang menyadari teman saudara sepupu terlihat lebih pendiam. Memang Aru gadis yang tak banyak bicara, tetapi kali ini berbeda, ia tampak murung. Di balik senyuman manis itu seperti ada sesuatu yang rapuh, yang tidak dapat di lihat orang lain.
"Kalau kalian memanggilku untuk jadi sopir lagi, dengan tegas aku menolak." Zay lebih dulu memprotes.
"Bukan. Kali ini Aru memang perlu bantuanmu." Sarayu mendekati Zay, menghalangi mulutnya agar Arunika tidak begitu mendengar. "Dia agak canggung denganmu, makanya aku temani. Kau jangan mengganggu dia. Aru sangat berbeda denganku." Gadis ini setengah berbisik.
"Kalau begitu kau pergilah." Ucapan Zay seperti mengusir.
"Kau benar-benar tidak menyukaiku ya?" Sarayu bermasam muka. "Kau itukan laki-laki yang tidak …." Pandangannya menyusuri seluruh tubuh saudara sepupu.
"Apa?" Pemuda itu segera menyangkal.
"Tidak. Bukan apa-apa." Sarayu si gadis pendek –julukan dari Zay– membereskan tasnya.
Sarayu tidak sependek yang dikira, ia hampir sama tinggi jika bersebelahan bersama Arunika. Jika Aru sebahu Zay, maka Sarayu di bawah itu sedikit. Hanya saja Zay pemuda yang suka menggoda, ia selalu membuat saudara sepupu merengut karena ejekannya.
"Ar, kau keberatan tidak kalau aku pergi lebih dulu? Aku ada keperluan lain." Sarayu memelas. Ia mengerti satu hal di sini, Zay memintanya pergi dan ingin berdua bersama temannya.
Di samping itu, menurut Sarayu, Zay adalah laki-laki baik. Pria ini penuh perhatian kepada orang yang ia anggap istimewa. Sarayu teringat kala ia menangis sendirian dikucilkan teman-teman masa sekolah, Zay yang lebih senior selalu membela dan memberinya kesenangan, membujuk sambil menggoda. Tak lama kesedihan Sarayu berangsur hilang, yang perlahan menumbuhkan senyuman.
Sarayu tampak ragu, bisakah ia percaya pada pemuda itu? 'Ah, tidak mungkin'. Pikirnya, 'Zay bukan pria seperti yang kubayangkan kan?' Ia belum pernah mendengar kejelekan dari saudara sepupu selain kejailannya.
Arunika gadis yang murah hati, tanpa pertimbangan ia mengangguk.
Laki-laki di hadapan Aru tersenyum menang, ia mengakui Sarayu adalah saudara sepupu terbaik di hari ini. Bisa ia tambahkan julukan dalam beberapa hari ke depan, atau mungkin beberapa minggu ke depan.
"Kau … menginginkan temanmu?" tanya Zay. Pemuda ini memperhatikan Aru yang selalu mencuri lirikan ke tempat terakhir Sarayu berada.
Gadis malaikat menggeleng cepat, "Tidak, Zay." katanya lembut.
"Baiklah, apa yang bisa kubantu?" pemuda berambut sedikit pirang memulai percakapan dengan suara paling ramah. Tatapannya tak lepas dari gadis malaikat.
"Zay, kau terlalu dekat." Aru begitu canggung ketika berbicara, hampir tidak bisa membuka mulut. Wajah elok si pria tidak sejauh tadi.
"Sarayu benar. Kau berbeda." Zay bermaksud menggoda teman saudara sepupu. Sayangnya Arunika tidak mengerti candaan dari pemuda berambut sedikit pirang ini.
'Kalau Sarayu pasti dia akan berteriak dan menamparku karena kaget' ungkap benak Zay.
"Kalau begitu, ayo ikut aku." Zay menarik tangan Arunika.
"Tapi kau belum melihat karya ilmiah yang kutulis."
"Itu urusan nanti. Sekarang ikut saja, aku sedari tadi melihatmu murung." Kata Zay.
***
Arunika melihat-lihat dunia air dengan akuarium terbesar di kota yang belum pernah ia kunjungi. Aru diam sejenak dengan perasaan takjub. Kesedihan yang menguasai hatinya berubah menjadi senyuman simpul.
"Aku sudah lama ingin ke sini. Kalau diingat-ingat, aku tidak mempunyai teman, jadi kupikir aku tidak akan mendatangi tempat ini untuk kedua kali. Kenyataannya pikiranku berubah." Zay mengajak Aru masuk sambil menarik lengan si gadis malaikat.
Pemuda itu penasaran, mengapa teman-temannya suka sekali menceritakan dunia air buatan manusia. Hanya sebatas memandang keindahannya dari balik kaca. Tidak lebih.
Ikan-ikan di sana juga berenang tanpa menghiraukan manusia yang menonton.
"Kau sering ke tempat seperti ini?" tanya Arunika.
"Baru pertama kali."
Mereka sibuk dengan pandangan masing-masing ke arah akuarium besar. Suara percikan air dan hiasan di sana sangat menarik perhatian.
"Kau … juga pertama kali melihatnya." Zay menyela di saat Aru diam melihat sesuatu yang mengagumkan.
"Bagaimana kau tahu?" Aru menyahut tanpa menoleh.
"Aku bisa melihatmu yang seperti anak kecil, gerikmu juga seperti orang terpukau begitu." Ia menirukan raut muka Aru, menganga dan membolakan mata sempurna.
Gadis malaikat terkekeh, "Kau mengejekku, Zay?"
"Tidak. Mana berani aku mengejek teman Sarayu. Aku pun telah diancamnya. Mulutnya yang tidak pernah terkunci. Ada saja yang membuatnya marah-marah dan mengomel."
"Hei. Yang kau bicarakan itu temanku." Bantah Aru sembari tertawa ringan.
"Yah, baiklah. Maafkan aku." Pemuda yang selalu memakai tas selempang ini mendekat, menggenggam jemari Arunika. Sontak gadis itu melirik. "Kenapa?" tanya Zay. "Aku takut kau hilang seperti di Modest kemarin, kalau ini aku bisa dibunuh Sarayu." Lelaki itu selalu memiliki alasan.
Arunika tidak menyahut, ia membiarkan Zay melakukan apa yang diinginkan. Setidaknya ia berterimakasih. Setelah tiba di tempat menakjubkan ini, perasaannya akan keadaan sang ayah cukup terabai.
"Kau … dekat sekali ya dengan Sarayu?" seketika Aru berani membuka keheningan.
"Lumayan."
"Sepertinya kau berbohong."
"Maksudmu?" Zay menjadi heran.
"Sarayu memberitahuku kalau kau orang terpercaya baginya, kupikir kalau terpercaya rasanya bisa dibilang sangat dekat." Terang gadis malaikat.
"Kau mempercayai ucapan temanmu itu?"
"Tentu saja. Sarayu yang selalu ada buatku."
Zay menghadap kepada Aru, menatap lembut wajahnya, satu tangan mengelus pipi yang merona. "Apa kau juga mempercayaiku?"