"Aku ingin kegadisanmu." Kata Zay.
Seketika mata dua perempuan itu membola sempurna, bahkan kepalan tinju Sarayu mengendur, mereka kehabisan kata-kata. Mungkin Sarayu salah dengar, Zay tak mungkin kehilangan kewarasan, pikirnya.
Lalu Zay memecahkan tawanya yang tak bisa dibendung lagi, tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Bagaimana bisa dia berhasil membuat dua gadis ini kebingungan bercampur rasa takut.
"K-kau kenapa?" Sarayu seperti orang tidak tahu apa-apa.
"Wajah kalian sangat lucu," ucap Zay di sela tawanya. "Mudah sekali ditipu." Ia berusaha mengontrol dan menenangkan gelaknya. Meskipun sulit. Bagaimana bisa dua perempuan itu langsung percaya ucapan laki-laki sepertinya.
Bug!
Pukulan keras mengenai pipi Zay. Kepalanya seketika menoleh dan terdiam sesaat. Kepalan tinju Sarayu berhasil digunakan. Sontak laki-laki berkemeja memegang pipinya, berdenyut, dan sakit.
"Sudah kukatakan, jangan macam-macam!" Sarayu mengulangi peringatannya.
"Ma-mana mungkin aku sebejat itu." Zay membalas. 'Aduh. Sakit sekali pukulan si pendek itu' imbuhnya dalam diam. "Bisa rusak reputasiku. Ditambah aku di kenal sebagai orang yang jenius." Ia sambil mengelus-elus bekas pukulan.
"Bercandamu tidak lucu, tahu!" kesal saudara sepupu. Lalu ia melirik ke sebelah, sahabatnya masih belum bicara. "Ar, sudah kupukul dia. Jangan dipikirkan omongan si gila ini."
"Baiklah-baiklah… aku akan membantumu. Tidak perlu bayaran seperti ucapanku tadi. Aku hanya bercanda. Cukup traktir aku saja. Tapi kapanpun aku telepon, kau harus siap mengirimkannya ke rumahku." Terang si pembuat onar.
Arunika belum menyahut.
"Satu lagi," tambah Zay. "Aku tidak bisa siap kapan pun kau butuh, jadi telepon aku terlebih dulu sebelum kau meminta bertemu." Lalu ia mengadah tangan meminta sesuatu. "Berikan ponselmu, aku akan menambahkan nomorku, nanti kau telepon saja."
***
Bunyi telepon yang entah dari mana asalnya membuat pemilik penthouse terjaga.
"Pasti manajer tua itu." kesal August. Ia sangat malas menjawab panggilan dari Satya.
Berkali-kali deringan telepon mengusik lelaki terbaring di ranjang. Jangankan bergerak, membuka mata saja sangat sulit ia lakukan.
Bukan Satya kalau tidak membuat artisnya mengumpat dan marah. August sungguh terusik. Namun, pada akhirnya lelaki tak mengenakan baju sejak malam, beranjak. Terpaksa menyambut panggilan dari si pengganggu.
"Cepat buka pintu!" teriak Satya dari telepon. August tidak menyahut apapun, lalu si artis membuang ponselnya dengan santai – pasrah.
Ia berjalan menuju arah pintu.
Melihat August menampilkan muka bantal, manajer melirik kesal. "Aku sudah bilang kan, istirahat lebih awal. Pagi ini kita ada rapat."
Satya dengan mode ibu-ibu kembali membuat pria busana menutup telinga. Ia harus menyelamatkan aset berharga. Sang artis tidak mau diberi gelar August tuli. Bisa-bisa dunia yang dibangunnya hancur dalam sekejap.
Santai sekali August meninggalkan si manajer ke kamar mandi, membiarkannya mengomel sendiri tanpa ada yang mendengar. Karena dirinya harus bersiap-siap.
Sembari menunggu, Satya memilih duduk pada sofa, tempat biasa yang ia gunakan. Tak sengaja Satya menatap heran ke arah teras tak beratap August, sorot matanya tertuju pada kain terjurai lembut berwarna abu-abu. Kenapa tirai di sana bisa basah. Satya pun melangkah mendekat, memperhatikan dengan saksama.
'Apa iya, dia tidak sempat menutup jendela?' pikirnya.
Kemudian pandangannya beralih ke lantai, tepatnya pada kain yang tak sengaja ia injak. Baju August yang ia kenakan tadi malam. Satya menggeleng- geleng saja.
"Anak aneh. Bisa-bisanya baju mahal dibuang seperti ini." Memegang sayang baju kaus warna putih milik August, dengan harga jual jutaan rupiah. Kemudian dipindahkannya ke atas sofa terdekat.
Sembari menunggu si pemilik penthouse selesai membersihkan tubuh sempurnanya. Satya alias manajer memainkan senjata berupa ponsel pintar. Mengecek jadwal dan membaca berita sekilas untuk hari ini.
Media online di penuhi dengan kemenangan pemuda alumni kampus ternama dan kebanggaan negara.
Si manajer hanya membaca sekilas dari judul saja, tidak mungkin ia membaca hingga garis terbawah. Sebab orang- orang terpilih yang bisa membaca berita sampai selesai. Berbeda dengan membaca kontrak untuk anak asuhnya, justru sangat menggugah selera.
"Kak. Biar aku yang menyetir." Sela August dari samping Satya. Pria busana sudah berpakaian rapi. Siap melakukan tugas hariannya sebagai model sekaligus penyanyi.
Manajer mengangkat satu alis, heran. Apa ucapan August barusan benar adanya? Sejak kapan anak itu menawarkan diri lebih dulu? Pikirnya.
"Mimpi apa kau semalam?" tanya Satya.
"Cepat mana kuncinya?" August meminta dengan tangan yang menggantung di udara.
"Hei bocah, tunggu!" raung Satya. Ia ditinggal August yang mendapatkan kunci mobil darinya.
Modest. Gedung tinggi yang sering diberitakan, tempat paling banyak yang ingin dikunjungi para penggemar majalah mereka. Tercatat artis dalam kontrak kerja bukan sembarangan. Mereka sangat tahu kebutuhan pasar, bagaimana cara meningkatkan penjualan.
Penggemar Majalah Modest, bukan hanya dari kalangan sosialita, dan ibu-ibu muda saja. Tetapi juga memiliki langganan dari anak- anak remaja.
Satya dan August telah tiba.
Pria busana berhasil menjadi pusat perhatian para pekerja gedung ini. Gayanya yang begitu manly membiarkan earphone wireless menyangkut pada sisi telinga dan topi hitam sedikit menutupi dahi. Semua orang tahu itu dia – meski si model berusaha menutupi tampangnya.
"Maaf!" kata seorang gadis cantik yang lebih dulu membuka pintu, ketika August dan manajer tiba di ruangan yang dituju. Hampir saja mereka bertabrakan.
Si gadis pergi dengan canggung. Atau lebih tepatnya gugup. Arunika merintih, kepalanya berdenyut tanpa sebab. Ia harus menyembunyikan diri dari laki-laki penuh pesona.
August memperhatikan punggung mungil yang semakin menjauh. "Sepertinya aku pernah melihat dia." Pikirnya.
Ia juga memperhatikan kalau gadis itu tampak menahan sakit di bagian kepala. Pria ini terhanyut, masih menatap arah perempuan tadi yang sudah menghilang.
Satya sebagai manajer menyentuh bahu August, memberi kode untuk segera memasuki ruangan. Para tim pekerja pasti menunggu-nunggu modelnya tiba.
"Ada yang menganggumu?" tanya Satya. Dijawab dengan gelengan.
Pada meja rapat mereka menerangkan kapan proses pemotretan dijadwalkan. Satya selaku pengurus artisnya, membaca dengan saksama apa saja yang diajukan pihak majalah. Hal paling disukai si manajer. Surat kontrak lebih berharga dari apa pun.
"Bagaimana?" manajer memerlukan persetujuan anak asuhnya. "Gust." Panggilnya lagi. Sedikit keras.
"Ha? Apa, kak?" August terkejut dari lamunan.
"Kontraknya," manajer menawarkan dokumen tersebut pada laki-laki di sebelah. "Kau juga perlu membacanya."
"Tidak. Kalo menurut kakak baik, berarti aku juga baik." Jawab August. Manajer pun menghela napas.
Seperti biasa, August tidak pernah membaca bahkan sekali – setiap kontrak yang dibuat ketika dirinya didapuk sebagai model dan lainnya.
'Aku merasa pernah melihatnya' August masih memikirkan perempuan tadi. Sampai-sampai tidak bisa mendengarkan hasil rapat. Tetapi ia menduga bahwa Arunika salah satu karyawan dari Modest.
"Saya permisi sebentar." Ia menyela di tengah perbincangan rapat. Bergegas meninggalkan ruang rapat.
'Anak sialan. Kenapa harus sekarang sih?' gerutu Satya tak bersuara.