Chereads / Stylish Man / Chapter 8 - Terpejam Nyaman

Chapter 8 - Terpejam Nyaman

'Sebenarnya aku memiliki tubuh yang mempunyai kesalahan, Sar.' Benaknya mengakui. "Sama seperti para ayah di luaran sana, bekerja dan mencari uang untuk kebutuhan kami. Sayangnya, ayahku berbeda dari ayah kalian." Arunika memberi penjelasan biasa.

"Baiklah. Aku tidak akan memedulikannya lagi. Sekarang ayo." Sarayu menggandeng lengan temannya.

Ketika Arunika hendak membuka pintu mobil, kepalanya kembali berdenyut, denyut yang lain, denyut yang seperti merangkap seluruh kepala. Ia sempat terhuyung.

Melihat gadis itu tak kunjung masuk, Sarayu menegur. "Kau baik-baik saja? Kuperhatikan kau agak… yah sedikit aneh."

"Tentu saja aku baik." Aru tersenyum.

Sementara mobil yang mereka kendarai melaju cukup cepat, Arunika menopang pipi kirinya dengan tangan, ia menjadi diam lebih dari apapun. Sarayu si gadis banyak bicara juga tampak senyap. Tak jarang ia melirik dan bertanya dalam diam, terkadang Sarayu menebak-nebak penyebab Aru yang tak berminat untuk bicara.

"Kau ada menghubungi Zay, Ar?" tanya Sarayu di sela ia mengemudi. Rambutnya juga acak-acakan dan diikat asal-asalan.

"Belum."

"Dia bisa sangat membantumu. Kurasa kau perlu menemuinya. Jika dipertemuan pertama kalian kau tidak suka, beritahu saja aku. Dan kupikir dia pria yang lumayan." Gadis di balik kemudi merasa perlu menyampaikannya.

"Maksudmu?" Aru menoleh.

"Maksudku, bukannya kau memerlukan bantuan dari orang semacam Zay? Dia pintar di akademis. Tugas akhirmu juga harus segera diselesaikan bukan? Kau juga ingin mengurangi beban ayahmu." Terang Sarayu.

Kendaraan mereka berbelok memasuki arah rumah Sarayu.

Arunika tak menyahut, ingatannya kembali ke masa di mana ia berusia sembilan tahun. Ibunya meninggal ketika sang ayah belum kembali, ia sendirian di rumah yang temaram, menangis di samping perempuan yang terpejam nyaman.

''Ayah, ibu tidak menjawabku. Ibu tidur tidak bangun-bangun. Aku ingin minum.'' Arunika kecil menggoyangkan tubuh ibunya beberapa kali sambil mengadu pada ayahnya yang entah di mana.

Anak kecil yang tidak tahu ketika jiwa manusia telah keluar dari raganya. Ia hanya bisa menunduk dan menangis. Ia meyakini sang ibu hanya sebatas tidur pulas.

''Ibu. Apa aku harus menelepon ayah saja?'' Arunika kecil bertanya di sela ia menangis. Tak ada jawaban. Namun, ia tetap berdiri mengambil benda yang diperlukan.

Belum tersambung telepon yang dibuat oleh Arunika – serta di saat yang sama ada ketukan pintu cukup keras. Dengan tangan menggenggam ponsel, Arunika kecil beranjak lalu menyambut orang di luar. Tamu perempuan bersama anak laki-lakinya.

"Nak, kami mendengar kau menangis? Apa ada sesuatu? Ibumu mana?" pemilik rumah sebelah terlihat cemas, rautnya sulit dipahami oleh anak kecil.

"I-ibu tidur tapi tidak mau bangun." Arunika kecil masih terisak.

Bergegas perempuan paruh baya – tetangga – menuju kamar. Ia menyentuh tangan ibu Arunika yang terasa dingin. Wajah cantik tetapi pucat. Tak ada lagi napas yang teratur dari hidungnya.

"Halo." Sambutan panggilan telepon dari ayah Arunika pada akhirnya. Mereka pun terkaget. "Halo. Ada apa sayang?" pria itu mendengar samar-samar isakan putri kecilnya.

Tetangga pun meminta ponsel dari genggaman Aru, ia harus memberitahu Candra perihal ini.

"Halo, pak Candra? Maaf, bisa bapak pulang sekarang juga? Sudah terjadi sesuatu. Arunika menangis sedari tadi dan istri bapak…." Perempuan paruh baya ini tak bisa lagi bersuara. "Tolong segera pulang."

Candra sudah mengerti, pasti telah terjadi suatu hal yang buruk, pikirnya. Tidak mungkin perempuan paruh baya itu berbicara dengan suara bergetar kalau tidak ada sesuatu yang menyesakkan.

Tak lama, Candra tiba bersama wajah penuh kekhawatiran. Malam yang begitu menyedihkan, malam ketika istrinya pergi tanpa bicara.

"Kenapa dengan istriku?" Candra menghambur ke sebelah istrinya, dan mulai terisak. Ia paham apa yang terjadi. Namun, ia menolak untuk mngakui. Ia berharap ini tidak nyata. "A-apa aku melewatkan sesuatu? Atau aku melakukan kesalahan?" Candra mengira ia tak bisa menjaga perempuan cantiknya – istrinya.

"Saya juga tidak tahu. Saya hanya mendengar Arunika menangis kencang." Jawab tetangga perempuan.

"Ayah." panggil Arunika pelan. Gadis kecil belum mengerti apa yang terjadi. Apa penyebab ayahnya menangis.

Candra memeluk istrinya diiringi perasaan campur aduk, ia runtuh dan hancur. Secepat itu? Candra tidak bisa menyangkanya. Ia terisak sambil memeluk istrinya yang kaku.

"Sayang, apa aku melakukan kesalahan?" suara tercekat Candra yang memilukan.

Semenjak malam itu, Candra mulai jarang kembali ke rumah, ia sibuk dengan dunia kerja, tanpa memedulikan anaknya. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi Candra menyembunyikan sesuatu yang seharusnya tak diketahui manusia.

Setelah Arunika berumur lima belas tahun, gadis ini tak ingin lagi dititipkan pada bibi tetangga. Ia merasa sudah besar, ia bisa mengurus diri sendiri, di malam hari ayahnya akan pulang. Bukan waktu lama jika hanya menunggu matahari tenggelam. Ia bisa menyibukkan diri dengan apapun.

Ketika Candra pulang sesekali, sekedar melihat putri kecilnya, apakah sudah tidur? Ataukah tumbuh dengan baik? Pria itu selalu mengecup puncak kepala Arunika di malam hari.

Baru setelahnya Aru menangis tak bisa mengungkapkan kasih sayang. Tak bisa bercerita layaknya anak dan ayah seperti sebelumnya.

***

"Pagi, pa." Sarayu menyapa ayahnya. Pria hampir seumuran Candra tengah sibuk menyiram tanaman hijau, koleksinya cukup banyak.

"Pagi sayang." ia tersenyum sesaat, kemudian pandangannya beralih pada gadis rambut sebahu yang tergerai. "Pagi Aru. Apa kamu baik-baik saja, nak?"

"Pagi, paman. Saya masih baik-baik saja." Aru dijadikan saudara oleh keluarga Sarayu. Tak jarang ayahnya memberikan perhatian sama seperti anaknya.

"Kalian mau pergi ke mana?" ayah Sarayu bertanya pada Aru. "Tidak biasanya pagi-pagi begini?" sementara Sarayu sudah menghilang dari balik pintu rumah. Ia bergegas untuk bersiap.

Aru mendekat, ia mengajak paman agar memiringkan kepala, gadis itu hendak membisikkan sesuatu. "Menemui pria aneh yang kami sebut dosen, paman." Diiringi oleh cekikikan.

"Benarkah? Apa dia sudah beruban? Awas saja, semakin beruban akan semakin aneh." Paman juga berbisik sembari menahan tawa.

Juna – ayah Sarayu melanjutkan kegiatannya, menyirami tumbuhan hijau yang belum terbasuh air.

"Paman. Dia masih muda, belum beruban tetapi sudah aneh," Aru duduk di belakang Juna yang sibuk. "Berbulan-bulan aku tidak diluluskannya." Si gadis pengeluh. "Apalagi kalau dia beruban nanti, bisa-bisa bertahun-tahun kami menyelesaikan studi."

Juna menjadi kelakar mendengar pengaduan salah satu gadis kecilnya. Teman Sarayu memang orang yang cocok dijahili.

"Paman. Apa yang lucu?" si gadis heran. Ia tak sadar bahwa dirinya penyebab kelucuan tersebut. Wajah polosnya yang mengeluh – padahal masih pagi hari dan seharusnya energy masih di atas rata-rata – membuat Juna tergelitik.

"Paman hanya membayangkan dosenmu yang beruban. Sebentar lagi dia akan botak. Tunggu saja." Juna kembali terpingkal. "Kalau dia masih menyulitkan putriku yang satu ini, beritahu paman. Paman akan memberinya cat rambut, biar tampak lebih muda."

"Paman." Tegur Aru. "Dia belum beruban." Ia sedikit kesal. Paman Juna terus bercanda di saat yang tidak tepat.

"Ya sudahlah kalau belum." Juna tak acuh. Ia sedikit menjauh dari Arunika. Tanaman hijau di sana seperti meminta di siram. Daunnya juga tampak cukup layu.

Sayang sekali, Juna bermaksud menghibur teman putrinya, ia tahu ada sesuatu yang tak ingin Aru bagi pada orang lain. Suatu pikulan besar bernama kesedihan.

Senyuman gadis itu sangat menipu, Juna tahu apa yang terjadi, Sarayu bercerita kesulitan dalam kehidupan temannya. Bagaimana kesehariannya, dan ketika Aru ketakutan karena mimpi yang menghantui.

Setidaknya Arunika bisa bercanda dengannya tadi.

"Aduh." Kata gadis di dekat Juna begitu pelan. Bergegas pria itu menghambur, membuang Gembor dari genggamannya. Ia mendapati Aru menahan sakit.

"Aru. Aru. Ada apa, nak?" tanya Juna.