Perasaan tak karuan itu memicu debaran jantung yang semakin menguat. "A-apa yang kau lakukan?" suara kecil Arunika bertanya.
August segera melepas rengkuhannya setelah mendengar bisikan kecil di telinga. Ia lupa siapa gadis ini. August tidak bisa mengendalikan rindu yang menggebu. Sudah terlalu lama ia mencari sang istri, hingga ia sampai pada masa ini. Semua telah berubah. Hanya luka hatinya yang tidak berubah. Penawar yang ia butuhkan belum ditemukan.
"Ma-maaf. Kau mengingatkanku pada orang lain."
"Apa dia saudaramu?"
"Iya. Aku kehilangan saudaraku … sudah lama sekali." August tersenyum getir. Ia mengingat Alana. "Dia sangat kurindukan. Dia bahkan meninggalkanku sendirian, dan aku menderita sebab rindu suara hangatnya." Pandangan mereka bertemu, August seolah sengaja mengunci tatapannya. "Lalu aku bertemu denganmu." Ucap August terakhir kali.
Arunika terdiam, pria di hadapannya ternyata kesepian, lalu bagaimana dia bisa memberi harapan dan semangat kepada para penggemar selama ini? August selalu mengatakan hal-hal yang mengesankan tentang kebersamaan.
Tetapi raut wajah itu seperti wadah kosong – sedang menunggu kemudian terisi. Meskipun wadah tersebut berusaha mencari isinya, tetap saja sia-sia. Ia hanya sebuah wadah. Wadah yang mengada ke atas meminta belas kasih hujan untuk memenuhinya.
"Aku mau pulang." Seketika Aru mengatakan hal yang mengejutkan pria busana.
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak. Aku tidak ingin orang melihatku keluar dari sini. Aku bukan sepertimu, yang kuat kalau ada sesuatu menyudutkanmu. Aku juga tidak mau esoknya media heboh karena aku keluar dari rumahmu." Aru beranjak mundur.
Gadis itu segera memungut tasnya di meja. Ada sedikit rasa takut menghantui benak Aru. August sangat berbeda, dan ia melihat itu. Ia harus bergegas pergi dari sini, anggap saja kejadian tadi sebatas mimpi. Pergi lalu lupakan. Jalani kehidupan normal seperti biasanya.
August termangu sambil memperhatikan gadisnya melangkah keluar pintu. Untuk sekarang ia tidak berhak melakukan sesuatu yang terlarang. Ia tidak bisa melarang gadis itu pergi. Namun, August tahu nama Alana di kehidupan ini. Ia akan menemui Aru di lain waktu.
***
Di gedung Modest, Zay sudah kebingungan dan resah mencari-cari temannya. Ia kehilangan Arunika. Beberapa kali ia mengunjungi tempat yang sama, kemudian bertanya kepada pekerja di sana.
"Sial." Ia mengumpat. "Kau kemana, Ar?"
Sementara kota sudah ditelan malam, pemuda berambut sedikit pirang ini ke sana kemari sembari menunggu teleponnya diangkat. Apa yang akan ia katakan pada Sarayu?
Dengan menyesal–pada akhirnya–Zay menelepon Sarayu, menanyakan Arunika bersamanya atau tidak. Amukan saudara sepupu siap ia terima, dan itu sangat mungkin terjadi, karena kelalaiannya meninggalkan Aru sendirian. Zay berharap gadis pendiam itu pergi menemui temannya, sungguh.
'Aku khawatir terjadi sesuatu padamu, Ar.'
Ketika Sarayu menjawab panggilan, ia mengatakan bahwa nomor kontak Arunika sedang tidak bisa dihubungi. Sarayu kemudian menaruh curiga, pikirannya mengatakan kalau Zay kehilangan Aru. Ia harus menghajar saudara sepupu yang tak becus.
"Ah, sudah ketemu. Ternyata dia dari membeli makanan." Akhir percakapan Zay dan Sarayu. Zay berbohong. Dengan cepat ia memutuskan sambungan telepon.
Selama Sarayu tidak menyusul, nasib Zay akan baik-baik saja. Kebohongan tadi hanya berlaku sementara, setidaknya bisa mencegah Sarayu mengamuk. Dia harus menemui Arunika bagaimanapun caranya.
Hingga keputusasaan pemuda itu mucul, Zay menyerah. Berjam-jam ia menghabiskan waktu dalam gedung Modest.
Dan ketika langkah pertama dari pintu keluar utama, Zay mendapati Arunika, rambutnya sudah tak terikat – mengurai cantik sampai punggung. Ikalnya terayun bila terkena angin. Zay terpesona dalam beberapa saat.
Zay seperti melihat malaikat. "Malaikat bisa menekuk wajah begitu ya?" celetuknya heran. Mungkin malaikat yang ia temui sedikit berbeda.
"Apa yang kau bicarakan, Zay?" Aru mengibas lima jari tangannya di depan wajah pemuda itu. Tidak biasanya Zay termenung dan seolah terlena akan sesuatu.
"Oh-eh. Bu-bukan apa-apa." Wajah sumringah Zay hilang seketika. Ia benar-benar merasa malu. "Kenapa kau ada di sini? Aku sudah tak tentu arah mencarimu. Aku juga sudah membayangkan akibat menelantarkan teman Sarayu. Dia itu agak gila."
"Ayo pulang." Si gadis berbalik, berjalan memunggungi Zay.
"Tunggu! Kau dari mana tadi?" tanya Zay. Ia masih dalam keterkejutan.
"Aku mampir sebentar di rumah seseorang."
***
Di dapur, Arunika melihat punggung laki-laki yang ia nanti sedang menyiapkan sesuatu. Lalu gadis itu membuat suara yang mengundang laki-laki tadi untuk menoleh.
"Sayang, sudah pulang?" tanyanya. Arunika langsung menghambur memeluk pria yang dicintainya.
"Ayah. Jangan pergi lagi. Aku tidak mau sendirian, aku kesepian." Aru berkata di sela kesedihan. Ia memeluk erat, menenggelamkan wajahnya cukup lama.
"Wah, ada apa ini? Siapa yang mengatakan kalau dia sudah dewasa? Bisa mengurus diri sendiri." Timpal Candra.
"Ayah. Itu dulu. Sekarang aku membutuhkan ayah. Ayah tidak usah bekerja lagi, biar aku saja yang bekerja."
"Sayang. Pekerjaan ayah bukan masalah pada uang, tetapi pekerjaan ini terletak pada sesuatu yang mengharuskan ayah bertanggungjawab penuh." Terang Candra.
"Kalau begitu, ayah boleh bekerja tapi pulangnya tiap hari, seperti ayah temanku. Dan hari ini aku beruntung bertemu dan memeluk. Bukankah selama ini ayah pulang dan pergi tanpa sepengetahuanku? Aku selalu melihat ayah masuk ke kamarku dan berlalu begitu saja."
Candra menyadari ada yang berbeda dari putri kecilnya–mengabaikan keluh kesah dan aduan Arunika–apa kemunculannya sudah beberapa kali? Bagaimana cara ia menunjukkan diri?
"Aru. Matamu berbeda." Pria itu langsung menangkap wajah cantik Arunika. "Apa yang terjadi? Sejak kapan matamu begini? Ada orang yang tahu perubahan matamu?" Candra seketika menjadi serius.
Perlahan gadis berambut panjang ini melepas pelukan. "Jelasnya aku tidak tahu kapan. Kurasa tidak ada yang tahu."
"Ka-kalau begitu kita makan malam dulu." Candra mengalihkan pembicaraan, sedangkan kepalanya di isi teka-teki terhadap mata unik itu. 'Ternyata kau benar, Dianti. Anak kita memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain'.
***
'Tidak. Tempat ini lagi'.
Alam bawah sadar Arunika kembali menguasai, yang ia lakukan hanya mencari jalan keluar. Setiap ia ditarik ke tempat aneh ini, tujuan utama adalah pergi.
Di lain sisi, Aru mendengar samar-samar suara anak kecil yang lagi meributkan suatu hal. Cukup penasaran, ia mencari asal bunyian tersebut–terdapat rerumput halus di tepi sungai dan dua anak kecil sama tinggi.
Kedua anak kecil yang terlihat mirip sedang melompat dengan kedua kaki bersama-sama. Mereka memperebutkan kunang-kunang bercahaya. Dua anak kecil di sana memperebutkan hewan-hewan itu, mereka ingin menangkapnya.
"Mereka kembar?" Aru tertarik memperhatikan sosok mungil dari kejauhan. "Aku pernah melihat mereka, tapi di mana?" ia merasa kedua anak kecil itu mirip seorang yang ia kenal.
"Aku mendapatkannya." Salah satu anak–yang perempuan–berseru dengan senangnya. Ia berhasil mengurung satu kunang-kunang ke dalam genggaman. Di sela-sela jemari mungilnya tampak cahaya yang berasal dari hewan itu.
"Aku ingin lihat." Anak laki-laki juga antusias.
"Tidak mau. Ini milikku." Si gadis kecil membelakangi.
Kedua anak itu bertengkar kecil, keributan yang dibuat terlihat sangat lucu. Tak ayal anak laki-laki di sana terus menjahili. Aru pun ikut tertawa kecil menyaksikannya. Tingkah lucu mereka begitu menyenangkan.
"Anak-anak, ayo kita pulang." Orang lebih dewasa menghampiri kedua anak tadi.
Aru terkejut melihat siapa seorang yang baru tiba menggendong anak-anak lucu di sana.