"Aw!" Seru Arunika ketika ia diajak August.
Dengan cepat pria busana berbalik. Aru memegang kepalanya – yang terus berdenyut, buku jarinya menekan dengan kuat. Objek yang terlihat mulai bergoyang-goyang.
"Ada apa?" August memegang kepala gadis yang ia bawa. "Beritahu aku mana yang sakit." Raut kekhawatirannya sudah tak karuan. Ia kalut. Apa penyebab kesakitan gadisnya?
"Sa-sakit." si gadis melirih. Samar-samar terdengar isakan. Aru tidak sanggup menahan sakit yang hebat. Ia kemudian terduduk di lantai sambil menangis.
Denyutannya semakin menguat, hingga gadis mungil itu tidak kuat menahan. Ia melemah lalu memejamkan mata. Aru pingsan.
Dengan cekatan August menangkap lalu mendekap Aru. Ia sungguh kebingungan.
"Alana! Jangan membuatku khawatir. Bangunlah kumohon." Gurat wajah penuh kecemasan – August segera mengangkat tubuh mungil gadis yang ia panggil dengan nama berbeda. Membawanya dengan perasaan campur aduk.
Tak lama, kendaraan mewah sang pria busana melesat cepat, ia melajukan mobil itu menuju penthouse. Sangat bergegas, bahkan August berlari kecil ketika masuk ke dalam lift.
August meninggalkan pekerjaannya – hari ini rencana Modest dan sang model akan menentukan tema yang diusung ke majalah musim ini.
Ketika pintu tempat tinggal mewah terbuka, August membaringkan Aru dengan perlahan dan lembut.
Ia kebingungan, apa yang harus ia lakukan? Bagaimana caranya menyadarkan gadis itu? Ia lupa cara menangani perkara ini, semenjak pertemuan terdahulu – August bahkan tidak pernah melihat Alana kehilangan kesadarannya.
***
Tak sedetikpun August memalingkan pandangannya dari gadis lemah di atas ranjang. Ia menelusuri tiap lekuk tubuh itu. Pertanyaan-pertanyaan akan ramalan ratusan tahun lalu selalu mengusik. Namun, ini terlalu cepat. Seharusnya kemunculan Alana dua tahun lagi. Ada keraguan dalam hatinya.
August beranjak dari duduknya ketika mata terpejam – berbulu lentik – bergerak pelan. August mendekat, memperhatikan mata tadi membuka. Mata unik yang ia cari menampakkan diri, mirip sekali dengan mata Alana. Kekasihnya.
"Kau… tidak apa-apa?" layaknya lelaki biasa menanyakan pada orang lain. Ia belum ingin menunjukkan yang sebenarnya. Tidak semudah itu membuat orang percaya akan ceritanya yang terdengar seperti dongeng. Mustahil.
Mungkin August memulainya dengan perlahan. Mereka harus seperti orang asing terlebih dahulu.
Tak disangka, Arunika beringsut menjauh, ia terlalu terkejut melihat betapa dekatnya dia dan sang pria busana.
'Aku bermimpi?' pikir Aru.
"Aku tanya. Apa kepalamu masih sakit?" August menyela. Gadis itu melirik, lalu menggeleng.
"I-ini istana?" tanya Aru kemudian. Ia mengira benar-benar sedang bermimpi. Rumah ini sangat mewah. Tidak ada kemungkinan dirinya bisa berada di sini ketika di dunia nyata.
"Bukan. Ini rumahku." August mengambil gelas di atas nakas. "Mau minum?"
"Kau August, ya?" Aru mengabaikan tawaran itu. "Kau model terkenal itu kan? Kau seperti nyata sekali, padahal ini dunia mimpi. Boleh aku…." Aru mengulurkan tangan, ia hendak memegang wajah pria tampan itu.
August tak menjawab, ia membiarkan jemari gadisnya menyentuh wajah yang tidak semua orang berhak. Gelas air di genggaman pun menggantung.
Tatapan August terpusat pada gadisnya, menikmati wajah cantik yang dirindukan. Bukan tak senang kedatangan Alana lebih cepat dari ramalan, tetapi ada sesuatu yang mengganjal, apakah ada konsekuensi setelah mereka bersatu kembali kelak?
Lupakan. Itu biarlah menjadi urusan nanti.
"Luar biasa. Aku bisa menyentuh pipimu. Sungguh mimpi yang sulit dimengerti. Benar-benar langka." Aru tersenyum simpul. Ia terlihat malu-malu. "Aku penggemar beratmu." 'Meskipun mimpi setidaknya aku menyampaikan yang ingin sekali kusampaikan'. Ungkap benaknya.
Pria penuh pesona berdehem, dengan gugup Aru menarik tangannya. Deheman August juga terdengar nyata. Arunika sulit membedakan apakah ini mimpi atau bukan.
"Kau seratus persen sadar. Tidak ada yang namanya mimpi." Terang pria busana. Ia meletakkan kembali gelas berisi air tadi.
"Apa?" Aru terkaget. Ia melepaskan selimut, berdiri tegang di samping ranjang. "Ja-jadi… maaf saya lancang. Maafkan saya." Ia menangkup kedua telapak tangan, memohon sambil sedikit menunduk.
'Bahkan kau memegang wajahnya, Ar. Bisa-bisa kau dilaporkan lalu mendapat hukuman berat'. Pikirannya telah berkelana.
"Lupakan." Kata August. "Sekarang duduklah," ia tidak nyaman melihat Aru berdiri dan cukup jauh darinya. "Beritahu aku mengapa kau merasa sakit ketika bertemu denganku. Pertemuan pertama sebelumnya kau juga seperti menahan sakit."
"A-aku juga tidak tahu." Aru masih menunduk, ia merasa bersalah.
"Sekarang kau baik-baik saja?" August menyadari perbuatan gadis di hadapannya barusan.
"Y-ya." Aru sangat gugup. 'Sebenarnya aku melihatmu dimimpiku. Tapi kuanggap itu kebetulan karena aku sedang memikirkanmu'. Ia senang bukan berarti hilang kecemasan.
August masih setia menatap Arunika yang tak berani mengangkat pandangannya. Ia ingin gadis itu tinggal di sini – bersamanya, lalu merawat kedua anak mereka sama seperti dulu. August membuka kembali ingatan masa lalu, ingatan yang tidak pernah ia hilangkan. Dan pencariannya sudah mendapatkan hasil.
Bisakah ia memberitahu siapa jati diri gadis itu sekarang? Hanya memulai dari nama saja. Alana pasti mengingatnya bukan?
"Alana." August berujar. Sayangnya, Aru hanya diam. August melihat gadis itu kebingungan atas panggilannya. Ia pun tersungging, mana mungkin Aru tahu nama tersebut. "Angkatlah wajahmu." Imbuhnya.
Ragu-ragu Arunika menegakkan wajah dan netra yang tak berani menatap lawan bicara.
"Siapa namamu?" tanya August. Ia beranjak, mendekati Arunika yang gugup. Pria busana selalu memicu degup jantung penggemarnya.
"A-arunika."
"Umurmu?"
"U-umur?" Aru tidak mengerti. Untuk apa seorang pria menanyakan umur. "Du-dua puluh dua." Ia memilih menjawabnya.
"Kau tidak ingin duduk?" August menatap heran. "Ayo ceritakan kehidupanmu selama ini."
Arunika terkejut untuk kesekian kali. Mereka baru saja bertemu, dan pertemuan itu bisa dikatakan bukan pertemuan yang wajar. Ia merutuki sakit kepalanya yang kumat tidak mengenal tempat.
Menceritakan kehidupannya? Apa kaitannya dengan seorang artis? Itu sama sekali tidak berhubungan. Mereka menjalani hidup masing-masing lalu tiba-tiba berada di dalam kamar artis tersebut.
Aru tak kunjung berpindah, ia masih berdiri di depan August. Ia merasa tidak terlalu dekat jika pria busana memintanya seperti teman yang kenal lama.
Gadis itu kemudian memilih duduk di sofa, sehingga jarak mereka terpaut jauh. Aru hanya ingin mengurangi kegugupannya. Selama berdiri di depan August – hampir-hampir ia lupa menarik napas. Wajah tampannya terlalu dekat. Justru mengakibatkan sesuatu yang buruk.
"Alana. Ma-maksudku Arunika. Duduklah di sebelahku." August meminta lagi.
"Aku di sini saja."
August menunduk, raut kecewanya tak bisa disembunyikan. Ia ditolak, padahal Alana dulu suka sekali jika di sampingnya, menebar senyum manis yang tak akan ia lupa.
"Ah baiklah, aku ke sana." Aru merasa tak enak hati setelah melihat August murung.
Seketika wajah tampan pria busana gembira.
Aru duduk di ranjang, di mana August berada. Ia tepat di samping kiri pria itu. Kalaupun ada seseorang yang mencuri kesempatan tentang kedekatan mereka, Aru akan jadi yang pertama diincar penggemar yang mengamuk.
"Aku merindukanmu." Seketika August memeluk gadisnya. Tubuh Aru menegang dengan perasaan yang tak karuan.