Chereads / Stylish Man / Chapter 9 - Menginginkan Gadisnya

Chapter 9 - Menginginkan Gadisnya

"Aru. Aru. Ada apa, nak?" tanya Juna. Pria ini memeluk erat.

"Ke-kepalaku sakit, Paman." Lirih si gadis. "Pe-peluk aku s-saja." ia terbata.

Juna mendekap gadis lemah yang biasa ceria ini, gadis yang mengoceh perihal artis pemuda penuh pesona. Meskipun Juna tidak mengerti akan hal itu. Ia bersikap sok tahu saja.

Namun, sekarang gadis yang ceria sedang mengaduh kesakitan. Juna kebingungan, Sarayu tidak pernah memberitahunya tentang bagian ini.

***

Arunika melonggarkan pelukannya. "Sudah baik sekarang?" tanya Juna. Ia sedikit terkejut melihat bola mata Aru yang seperti berubah.

"Sudah tidak apa-apa, Paman." Arunika menyahut, menyadarkan Juna dari pandangannya terhadap mata yang belum pernah ia lihat.

"I-iya…." Paman Juna juga melepas pelukannya.

'Paman menyadarinya? Apa Paman melihat mataku tadi?' pikir Aru "Ada apa, Paman?" katanya. Ia masih mendapati pria itu terdiam, melihatnya seolah sedang terkejut akan sesuatu.

"Ti-tidak. Kalau begitu Paman mau menyiram tanaman lagi." Ia beringsut lalu menjauh.

Terdengar deru mobil dari arah depan, lalu pemiliknya menunjukkan diri sembari menyisir rambut dengan jari tangan. Pemuda tersebut berlari-lari kecil menghampiri gadis yang sedang melamun namun pandangannya memperhatikan Paman Juna.

"Kau. Sedang apa di sini?" Zay menyapa sekaligus terkejut. Aru sedikit terhenyak. Ia juga tidak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki menyebalkan itu ada di rumah Sarayu.

"Aku sedang menunggu temanku. Harusnya aku yang bertanya ada urusan apa kau di sini?"

"Kau lupa. Aku keponakannya." Zay menunjuk Juna dengan matanya. "Halo, Paman." Tambahnya ketika laki-laki paruh baya di sana melirik.

Zay tidak menyadari mata unik Aru, beruntungnya netra itu kembali seperti semula – layaknya netra manusia-manusia yang lain.

"Ayo, Ar." Sarayu menyela – baru melewati pintu – sontak berhenti. "Kenapa, Zay?" ia berucap sedikit ketus. Sarayu masih kesal terhadap kejadian beberapa hari lalu. Meminta kegadisan? Yang benar saja, mulut Zay tak patut disebut mulut. Terlalu kotor. Mulut itu tidak bisa mengeluarkan kata kebajikan kepada seorang teman.

"Kalian mau ke mana?" Zay bertanya. Ia mengabaikan perkataan saudara sepupu. "Aku boleh ikut, ya?"

"Tidak-tidak. Ini urusan perempuan. Kalau kau mau ikut harus jadi perempuan dulu." Balas Sarayu.

"Kita bisa memakai mobilku. Bagaimana? Aku juga lagi semangat menyetir nih." Pemuda berambut sedikit pirang itu sambil memainkan alisnya ke atas ke bawah.

"Setuju." Sarayu menjawab cepat.

Menyogok gadis yang tinggi sebatas bahunya ini memang mudah, tawarkan saja sesuatu yang membuatnya bisa berhemat.

Arunika dan Sarayu duduk di kursi penumpang bagian belakang, membiarkan Zay menyetir sendirian. Mereka mengobrol seru seolah tak ada orang lain.

Tidak apa, Zay memaklumi, selagi ia bisa mengikuti dua gadis rusuh di belakang. Ia ada urusan dengan saudara sepupu. Mungkin bisa menemaninya ke suatu tempat, atau bahkan bisa membantunya.

"Nyonya-nyonya. Kita hendak ke mana?" si sopir angkat bicara. Tersirat bahasa sindiran di sana. "Nyonya sekalian tidak menganggapku sedari tadi." Begitu ramah Zay berkata.

"Ah, sahabatku ini akan menemui dosennya. Berarti kita ke kampus saja." Bagian Sarayu yang membalas.

Zay si sopir sementara saudara sepupunya – diminta menunggu. Sedangkan dua gadis tadi berlalu dengan santai. Mereka tidak ingin orang-orang bertanya tentang Zay. Kemungkinan laki-laki ini bisa dikenali oleh anak-anak muda karena kepopulerannya di suatu bidang pendidikan. Dan Sarayu enggan menjawab perihal itu.

Kecerdasan Zay juga diakui, wajahnya sering muncul dalam pertelevisian ketika mereka membahas topik ilmu pengetahuan.

"Aku rasa… aku mengenalinya." Bisik seseorang pada temannya – tak jauh dari Zay.

"Memangnya dia siapa?" temannya seperti tak mengenal siapa Zay.

Yang dibicarakan pun menoleh, tatapan datarnya mengusir orang-orang tersebut. Ia tidak suka dibicarakan.

Zay bersandar pada tubuh mobil sembari membuka ponsel. Wajahnya sangat serius membaca dokumen yang baru saja masuk ke email. Pemuda ini selalu menguraikan dan menelaah suatu hal yang membuatnya tertarik. Termasuk ilmu-ilmu yang berkembang dan berkaitan dengan kemajuan pendidikan anak-anak usia remaja.

'Dia sepopuler itu?' Sarayu melihat teman-temannya membahas laki-laki di sana.

Ketika dua gadis itu menghampiri Zay, semua orang seolah membicarakan mereka.

"Bukankah itu Sarayu dan Arunika? Mereka dekat sekali dengan Zay." Salah seorang berkata.

"Mungkin mereka teman." Yang lainnya buka suara.

"Zay, kalau mau populer, cukup di tempatmu saja. Jangan di sini." Sarayu sedikit kesal, entah mengapa ia ingin menyangkal hal tersebut. Sebelumnya, dari kejauhan ia telah memperhatikan pemuda – yang berprofesi sebagai sopir hari ini.

"Memangnya salahku jika mereka mengenaliku? Kekuatan orang terkenal sangat berbeda, Sar." Terselip nada sombong dalam ucapannya. "Sebagai gantinya, ayo temani aku ke gedung Modest." Imbuh Zay. "Aku sudah mengantar kalian."

"Wah… sepertinya aku sibuk. Kalian saja yang ke sana." Sarayu menyela.

***

Gedung Modest yang menjulang tepat di hadapan dua anak muda – mereka baru saja tiba setelah perdebatan kecil bersama saudara sepupu. Sarayu memenangkan argumennya. Mungkin ia lagi bersantai sambil tersenyum bahagia.

"Kau perlu apa di sini?" tanya Arunika. Ia sedikit bergidik namun senang kalau-kalau bertemu pria yang diidamkan. August membuatnya berdebar seketika.

Pertemuan mereka di gedung ini sungguh tak baik. Bagaimana bisa ia pergi begitu saja setelah berhadapan langsung dengan sang pria busana? Sebab perhatian Aru kala itu hanya pada kepalanya yang sakit.

"Ada suatu hal yang harus kucari tahu." Sahut Zay.

"Sesuatu?"

"Aku mencari sesuatu untuk temanku." Tugas dari August cukup menyulitkan.

Aru mengikuti Zay kemanapun ia melangkah. Laki-laki dengan tas selempangnya memperhatikan setiap mata para pekerja Modest. Ia harus menemukan mata unik seperti yang diucapkan August.

'Mata unik yang bagaimana, Gust?' pemuda berambut sedikit pirang ini menggerutu. Ia juga tidak bisa meminta bantuan kepada Aru. Itu tidak mungkin.

Arunika setia menemani Zay. Gadis ini hanya menemani tanpa tahu apa yang diperbuat temannya. Ia juga memperhatikan pria itu tengah menatap satu per satu wajah orang-orang di sini. Entahlah, ia tidak mengerti, bukankah Zay meminta ditemani saja? cukup diam dan ikuti.

"Zay berapa lama lagi?" Aru sedang menahan sesuatu.

"Tidak tahu," Zay menoleh. "Memangnya kenapa?" ia melihat kerutan di kening gadis itu.

"Aku ingin ke toilet."

"Baiklah. Aku tunggu di sini." Kata Zay.

"Kau tidak menemaniku? Aku tidak berani sendirian, gedungnya sangat luas." Aru berbisik.

Pemuda itu menghela napas, bukan apa-apa, ia hanya kesulitan menyelesaikan tugas dari August. Kalaupun gadis yang mereka cari adalah karyawan Modest, akan sangat mudah ia dapati. Sayangnya, sedari tadi belum ada pemilik mata unik tersebut.

Laki-laki yang jatuh cinta sangat sulit diterangkan tentang arti dari kata logika.

'Apa dia salah satu pemegang jabatan tinggi?' pikiran Zay mengembara.

"Ayo." Zay mengiyakan permintaan Aru.

Setelah beberapa saat, Zay menunjukkan tempat yang dibutuhkan Arunika. Sementara itu ada perempuan lain menegur. "Saudara Zay?" tanyanya. Dengan raut heran, Zay mengangguk. "Bisa kita mengobrol sebentar?"

Zay diajak ke tempat yang lebih nyaman untuk berbincang, lumayan jauh dari tempat ia menunggu Arunika. Pikirnya, Aru akan segera menyusul setelah menyelesaikan keperluan. Gadis itu bukan anak kecil. Atau cara lainnya – menelepon.

Dalam sepersekian menit, Aru sudah selesai. Ia keluar dengan santai. Kemudian ia terhenti. Bukan Zay yang ia temui, melainkan pria lain – pria yang juga sedang terkejut.

Sekejap saja pria itu menarik lengannya. "Ikutlah denganku." Kata August. Pria busana menginginkan gadisnya.