August berlari-lari kecil, menyusuri gedung Modest, mencari sesuatu yang memunculkan rasa ketertarikan. Di mana ia akan menemukan gadis tadi? Sementara tempat yang ia injak ini memiliki puluhan lantai serta luasnya tidak mudah dijangkau dalam waktu singkat.
'Sebaiknya aku tanya saja orang-orang di sini' pikir August. Ia masih mengira gadis tadi memang salah satu pekerja Modest.
Karyawan yang lalu-lalang menjadi saling berbisik, membicarakan pria terkenal itu. Mereka sangat mengenali August yang menjadi pemeran utama pada edisi terbaru Modest.
Petinggi dari Modest memiliki cara tersendiri untuk menarik pasar penjualan mereka. August adalah model satu-satunya pilihan dan pemilik voting terbanyak. Hal tersebut bukan tanpa sebab.
Bahkan sebagian dari pekerja Modest adalah penggemar August. Beberapa bukti yang memperkuatnya – tak jarang mereka menyanyikan potongan lirik lagu terbaru dari sang pria busana ketika sedang bekerja.
"Bagaimana, Pak Satya?" pejabat Modest menanyakan kesesuaian kontrak. "Apa perlu kita menunggu saudara August kembali?" mereka melihat ada gerik ragu-ragu si manajer. Seperti ada yang mengganggu pikirannya.
"Sa-saya rasa tidak perlu. Dia telah terbiasa melimpahkan keputusan kepada saya, cukup saya yang tanda tangan dulu. Pengesahan dari August silakan di pertemuan selanjutnya." Satya tetap mengulas senyum. Ia harus mendapatkan kontrak kerja ini.
'Kau akan kuberi pelajaran, Gust! Awas saja!' geram Satya.
Pada akhirnya Satya yang menyelesaikan kesepakatan dalam rapat tersebut. Ia berulang kali meminta maaf dan beralasan untuk anak asuhnya. Si manajer juga terus menggerutu selama pertemuan itu selesai, dirinya benar-benar merasa hilang muka.
"Maaf, saya tidak tahu."
"Maaf, saya tidak kenal."
Jawaban-jawaban yang diterima selama August bertanya tentang seseorang yang ia cari. Para karyawan itu bahkan menjawab asal, karena gambaran yang diberikan si model tidak mudah dimengerti, dan sulit memahami penjelasan August.
Belum. Ia masih belum menyerah. Tidak mungkin gadis itu pergi dengan cepat. August menyusuri lantai terbawah gedung, tempat memakirkan kendaraan. Kemungkinan si gadis sedang mencari-cari tumpangannya. Semoga saja.
Ternyata dugaan itu salah. Sama sekali tidak ada seorang perempuan pun di sana. Hanya barisan mobil-mobil yang memenuhi lantai bawah gedung Modest.
'Selain bukan manusia, aku juga tidak beruntung' August mengeluh.
Sang model pada akhirnya memutuskan untuk kembali, pencarian hari ini selesai meskipun sia-sia. Seiring berjalannya jarum waktu, ia merasa seperti dikejar wajah Satya yang sedang mengomel. Dia akan melihat hasilnya nanti. Bisa saja bujang tiga puluh delapan tahun itu mencerca dengan jelas.
Satya menunggu di depan pintu lift sambil memperhatikan lampu pemberitahuan ke mana arah gerak benda tersebut. Tangannya yang bersedekap bersamaan hentakan pelan ujung sepatunya – entahlah, suasana hati si manajer sedang terusik. Ia seperti ingin menjahit mulut seseorang. Lalu memberinya peringatan – atau mungkin sebuah ancaman.
Angkutan transportasi vertikal tengah menunjukkan sedang naik ke atas. Seketika benda itu membuka pintu, Satya mendapati laki-laki pembuat onar. Mereka pun sama-sama menampilkan raut muka terkejut.
"Kau!" seru si manajer. Di dalam lift ada pemuda tak tahu diri.
Dengan cepat August menekan tombol penutup pintu lift. Diiringi rasa cemas sekaligus panik. Sangat jelas ia melihat Satya yang akan meledakkan amarahnya.
Sayangnya si bujang tiga puluh delapan tahun berhasil, ia melesat lebih cepat dari gerakan pintu lift yang akan tertutup – dan siap menerkam mangsa.
Mereka telah berdiri berdampingan. Tikaman mata manajer membuat sang artis menunduk.
"Untunglah mereka tetap mau menjadikanmu model majalahnya. Sial. Rupanya aku masih berbaik hati – menganggapmu ke toilet." Manajer mengusap rambutnya, menjeda ucapan di sela kemarahan. Sedangkan tangan yang lain memegang tas. "Kau sengaja meninggalkan ponsel, agar aku tak meneleponmu? Kau mau kabur?" oceh Satya geram.
"Mana kutahu rapatnya selesai lebih cepat." August menyahut dengan suara pelan. Sialnya laki-laki di sebelah mendengar.
"Apa! Apa kau bilang? Katakan sekali lagi!"
"Tidak. Tidak ada." Pria busana menjawab cepat.
Satya ingin sekali menendang pemuda ini bahkan ia siap bergelut meskipun mereka di dalam ruangan segi empat yang sempit.
Kemudian angkutan vertikal yang mengantarnya membuka pintu, mereka tiba di ruang terbawah. Tiga pekerja Modest yang selesai memarkirkan kendaraan – tak sengaja melihat dua pria asing sedang bertengkar.
Satu tangan Satya mencengkeram kerah baju August, sementara si artis berusaha mendorong tubuh manajernya. Mengelak. Mereka seperti kakak adik yang berkelahi memperebutkan minuman kaleng.
Semua terdiam beberapa saat ketika pandangan mereka saling bertemu.
"Ehem." Satya memulai dengan itu, lalu merapikan pakaiannya, ia hendak menghilangkan rasa canggung.
Manajer dan artisnya dilanda rasa malu, bersamaan kemarahan Satya yang tak kunjung meredam.
***
"Kau tadi dari mana?" di dalam mobil Satya bertanya lagi sebelum August masuk ke penthouse. Kali ini emosi Satya sudah lebih baik, tidak dirundung kekesalan lagi.
"Parkiran." Pria busana menjawab.
"Ada barang yang lupa kau ambil?" Manajer mencoba bertanya dengan lembut. August menggeleng. "Terus apa?" imbuhnya.
"Apanya?" Lalu August menoleh ke kanan.
Satya menghela napas, ia sedang diuji, ia harus menjadi lebih sabar lagi. "Kenapa kau ke area parkir jika tidak ada barang yang akan kauambil. Di sana cuma ada mobil yang sama sekali tidak bergerak."
"Aku tidak ingin membahasnya, kak. Sampai ketemu besok." August membuka pintu kendaraan.
Baru tiga langkah pria busana meninggalkan manajernya. "Kau menemui seorang gadis?" Satya yang berucap jelas seketika menghentikan tubuh gagah itu.
Manajer juga cukup terkejut melihat reaksi tubuh pria yang ditunjukkan di sana. Apakah tebakannya benar?
"Aku cuma bercanda." Seruan Satya di balik kemudi, lalu kendaran tersebut melesat sebelum August berbalik.
Di hadapannya, pemuda lain dan tas selempangnya tengah berdiri – bersandar sambil menyungging senyuman. Kedua tangannya yang bersedekap seolah mengatakan ia ingin dihampiri.
Siapa yang akan menghiraukan hal tersebut? August memilih untuk mengabaikan laki-laki berambut sedikit pirang itu. Bukan karena tubuhnya yang lelah atau letih. Benar-benar bukan. Tubuhnya berbeda dari manusia. Hanya saja August tidak ingin diganggu.
August melirik sekilas dan melewati pemuda tadi. Ia tidak memedulikannya.
"Gust. Kau terlihat suram. Apa harimu tidak ada pelanginya?" Zay berceloteh. Dan tetap saja ucapannya tak bersambut. Ia terus mengikuti August hingga ke depan pintu penthouse. "Kau sudah meminum darah laknat itu?"
"Belum." Akhirnya pemilik penthouse menyahut.
August merebahkan tubuh uniknya ke sofa, pikirannya berkelana, memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang entah bisa terjawab atau tidak.
"Ada yang mengganggumu?" Zay menyadari temannya tampak melamun.
"Menurutmu, kelahiran yang seharusnya telah diramal bisa terjadi lebih cepat atau bahkan lebih lambat, Zay?"
Pemuda berambut sedikit pirang diam sesaat. "Kurasa bisa saja. Lagipula ramalan bisa meleset bukan?" Jelas Zay.
"Kau benar. Aku juga menduganya seperti itu." 'Tapi aku harus memastikannya lagi' pikir August.
"Apa ini ada kaitannya dengan Alana?" Zay terlihat ragu-ragu menanyakannya.
"Aku tidak tahu pasti. Baru dugaan saja. Aku juga bisa salah, karena waktu yang ditentukan ramalan berbeda."
"Kau perlu bantuanku, sobat?" Zay menawarkan.