"Kau perlu bantuanku, sobat?" Zay menawarkan. Ia terlihat sibuk menghitung sesuatu menggunakan jemarinya. "Apa kau ingat kapan terakhir kali meminum darah itu?" ia memastikan lagi. Zay hanya berusaha meyakinkan jika ia tidak dibohongi. "Sepertinya ada sedikit masalah pada kepalaku. Aku sungguh lupa." Dia terlahir sebagai pengingat temannya.
"Aku tahu kapan aku membutuhkannya." Teman yang dikhawatirkan terdengar dingin. August tidak ingin membicarakan cairan kental yang sangat tak disukai. Dia pemuda yang terlalu naif. Membenci suatu hal yang menjadi peran utama untuk kehidupannya.
Zay memilih diam. Ia sangat paham bagaimana suasana hati teman masa kecil. Zay menduga hal tersebut ada kaitannya dengan Alana.
"Carikan seorang gadis yang memiliki mata unik." Celetuk August.
"Apa kau mencurigai dia?" Zay menyelidik, mungkinkah gadis yang barusan disebut-sebut oleh si pria busana?
"Ya. Matanya mirip sekali dengan mata Alana." Perempuan yang ia rindukan.
"Bagaimana bisa aku mengenali orang hanya dari matanya?" gerutu Zay. Dirinya selalu diberikan tugas yang terkesan aneh. Bahkan ia tidak terlalu mengenal mata cantik Alana. Namun, Zay tidak akan memprotes, bisa-bisa ia digigit laki-laki di sana.
"Matanya berbeda dari mata manusia," jelas August. "Kau bisa melihatnya dengan jelas kalau sudah bertemu." Tetap saja Zay tidak bisa semudah itu menemukan seorang gadis – apa yang bisa dibedakan dari mata yang terlihat serupa? Bagaimana cara membedakannya? Zay juga tidak tahu.
"Ada ciri khas lainnya yang bisa kujadikan patokan?"
"Tidak ada." Sahut August. "Aku cuma ingat matanya." Ia seperti orang tak bersalah, menugaskan suatu hal sulit – dengan sebatas mata yang unik.
Si pemuda berambut sedikit pirang menghela napas. 'Dia laki-laki satu-satunya yang hanya mengenali orang dari sudut pandang berbeda, saking berbedanya aku sama sekali tidak tahu.'
"Baiklah. Di mana kau melihatnya?" tanya Zay. Ia menjelma sosok laki-laki penyabar.
"Gedung Modest. Kupikir dia pekerja di sana."
"Aku akan mencari data orang-orang yang bekerja di Modest. Kalau kuperlihatkan fotonya, apa kau bisa mengenalinya?" Zay merasa sedikit khawatir karena pria itu hanya ingat dengan mata saja.
"Kau kira aku ini buta wajah apa?" August tak terima. Seolah ia sedang diejek. "Tentu saja aku kenal."
"Bukan begitu. Aku hanya memastikan, kalau-kalau kau lupa." Zay benar-benar pemuda penyabar dengan senyum kecutnya.
***
Lengan gadis itu terluka, karena tergores ranting ketika ia berlari-larian. Cahaya bulan malam yang melewati celah-celah rerantingan membantunya melihat.
Ia tersesat. Ia sendirian menyusuri jalan berkerikil. Sesekali angin berembus menyayat kulit putihnya. Larinya terhenti saat sepasang cahaya kuning keemasan muncul – bersembunyi di balik daun-daun pohon. Entah apa itu, tetapi ada rasa yang mendorong untuk mengikuti cahaya tersebut. Gerakannya gesit sekali, membuat gadis itu kebingungan.
Ia pun mendekat perlahan. 'Se-seperti mata manusia' pikirnya.
Tidak mungkin mata manusia sebercahaya itu, bisa jadi hewan malam yang memiliki cahaya di bagian buntutnya. Ia bahkan belum pernah melihat benda seperti itu.
Terasa ada yang mengintainya dari belakang, lalu terdengar pula langkah kaki yang tegas dan besar. Dengan cepat ia menoleh. Hening. Tak ada sesiapa di sana.
Si gadis melanjutkan langkahnya, ia masih memburu tempat agar bisa keluar dari hutan yang kelam. Seakan mengikuti – suara langkah tegas tadi mempercepat, mengejarnya tanpa ampun. Tubuh gadis itu melemah, ia sudah tak mampu untuk berlari lebih dari ini.
Seorang laki-laki aneh mendekat begitu saja, tubuhnya yang gagah dan tinggi, matanya serupa dengan cahaya tadi. Laki-laki ini kapan saja bisa mencengkeram gadis itu.
Ia merasakan kakinya terluka dan perih akibat kerikil-kerikil jalan. Napasnya mulai tersengal, keringatnya bercucuran. Rasa takut selalu menggelayuti jiwanya. Dan benar saja, laki-laki tadi berhasil membekap tubuh si gadis. Tatapan laki-laki itu seolah siap membunuh hewan buruan.
"To-tolong, jangan sakiti saya." Si gadis memohon. Ia berusaha meronta agar bisa terlepas dari genggaman kuat yang menyakitkan.
***
"Hah… hah…" napasnya memburu. Tubuh telentangnya sedikit bergetar, dahinya berkeringat, dan tatapannya yang kosong.
Arunika baru terjaga dari mimpi aneh dan menakutkan, itu terasa benar-benar nyata. Hutan yang sama, serta prianya selalu seperti pemburu andal.
"Aku sangat takut." Ia bersuara pelan.
Aru menyambar telepon genggam ketika benda pipih itu berbunyi. "Sar, aku sangat takut." Aru seperti berbisik. "Tolong aku, a-ada pria yang ingin menyakitiku."
Seketika sambungan mereka terputus, Sarayu menjadi tergesa-gesa, ia hendak menemui seorang teman. Tak lama kemudian, Sarayu berhasil memeluk tubuh gemetar Arunika. Raut cemas Aru terlihat menyedihkan.
"Apa yang terjadi?" Sarayu bertanya dengan lembut. Sapuan jarinya mengusir air mata di pipi Arunika.
Aru mengalihkan pandangan. "Hanya mimpi buruk." Jawabnya.
"Yah… baiklah. Kau selalu saja membuatku khawatir, bahkan aku belum mandi. Dan untungnya tak lama aku bisa tiba di sini." Sarayu melepaskan pelukannya. "Kita ada jadwal pagi bukan?"
"Iya… dan maaf aku membuatmu khawatir." Aru melirih.
"Aku juga sudah di sini. Tidak apa-apa. Sekarang bersiaplah, kita pergi bersama, aku akan menemani urusanmu hari ini sampai selesai."
Arunika mengangguk lalu beringsut dan menghilang di balik pintu kamar mandi. Teman yang menunggu membaringkan diri ke ranjang, menggeliat, mengelus-elus kain alas tempat tidur.
'Kau memimpikan apa, Ar?' pikir Sarayu. Kali ini ia tak bisa tenang. Kalaupun sebatas mimpi, tidak mungkin Aru begitu ketakutan. Pertanyaan yang selalu membuatnya ingin tahu. Untung saja dia menelepon hanya sekedar memastikan jadwal.
'Atau mungkin dia memiliki masa lalu yang buruk? Dan ia memiliki trauma? Aru anak yang sangat tertutup. Apa kau kurang percaya padaku, Ar?' si teman masih bergelut dengan pikirannya.
Sementara seorang teman sibuk sendiri di ranjang, Arunika telah selesai lalu keluar diiringi raut wajah bertanya. Ia memperhatikan Sarayu yang begitu serius.
"Apa yang kaupikirkan?" kata Aru sambil melempar bantal ke wajah temannya. "Memangnya Sarayu bisa melamun juga?" ucapnya disusul kekehan.
"Aku sedang memikirkan pernikahanku dengan seorang pria bangsawan dan bertekuk lutut di hadapanku." Ia tertawa. "Kau mau tidak? Biar nanti aku carikan teman suamiku untukmu." Imbuh Sarayu.
"Kedengarannya ide yang bagus. Nanti aku memakai gaun ala-ala bangsawan Eropa. Supaya ratunya tersaingi." Aru menanggapi dengan candaan pula. Mereka tertawa bersama.
Setidaknya Arunika bisa melupakan mimpi gila itu. Mimpi yang datang tak tahu waktu. Mimpi yang serupa. Dan kenapa pria di mimpi itu selalu ingin membunuhnya? Lupakan! Hari ini mereka akan mengisi dengan kesenangan saja. Cukup untuk dua perempuan dan membuat hal-hal yang menarik.
"Ar, kau masih tidak mau tinggal di rumahku? Untuk sementara saja, sampai paman pulang. Aku cemas sekali saat kau sendirian dan seperti…" Sarayu tidak ingin menyebutkan mimpi itu.
"Tidak bisa," Arunika menunduk lemah. "Kepulangan ayah tidak bisa dipastikan. Sesaat ia di rumah, sesaat lagi dia pergi."
"Ayahmu sesibuk apa sampai-sampai tidak memedulikan anaknya? Ayahku juga bekerja, Ar. Tetapi tidak seperti itu." Sarayu tidak sengaja bicara terus terang.
'Sebenarnya aku memiliki tubuh yang mempunyai kesalahan, Sar.' Benaknya mengakui.