Decitan kecil dari ban mobil ketika rem diinjak sang pengemudi – Satya si manajer artis. Mereka telah tiba di kediaman August, penthouse mewah yang baru- baru ini di beli sebagai rumah pribadi.
Tubuh sempurna August tampak keluar dari mobilnya. Tanpa memberi salam atau pamit kepada Satya.
'Dasar keras kepala' umpat pria di balik kemudi tanpa suara.
"Langsung istirahat. Besok pagi ada rapat di kantor Modest." Raung manajer dari dalam mobil. Benar saja, pria busana tidak menghiraukan itu.
Memiliki penthouse besar bukan berarti penuh kemewahan, bahkan dirinya memiliki sesuatu yang tak pantas orang lain tahu. Cukup orang tertentu dan dipercayakan. August menekan sakelar lampu setelah melepaskan sepatunya. Lelaki berwajah rupawan ini menganggap, inilah rumahnya dan satu- satunya tempat yang mengetahui kelemahan seorang August Blanchard.
August melempar baju kausnya ke lantai, sangat tenang ia melakukan itu. Sepertinya ia tidak memperdulikan baju tersebut. sama hal nya dengan ocehan bujang tiga puluh delapan tahun.
"Soda memang lebih nikmat." Ucapnya. Bersandar pada kulkas. Ia telah menghabiskan setengah kaleng soda rasa lemon menyegarkan.
Terdengar sayup-sayup suara hujan seolah berjalan. Suara itu semakin mendekat. Menemani pria kesepian.
'Kurasa jendela teras masih terbuka' pemilik penthouse menyadari. Ia bergegas.
Saat kediaman August dijatuhi hujan yang begitu deras, tirai abu-abu yang menutupi sinar lampu dari luar – lampu kota – terkibas angin, cukup kencang angin membawa hujan membasahi lantai terasnya.
Ia pun melangkah sedikit keluar membiarkan tubuhnya dibasahi air hujan. August tidak merasa kedinginan atau nantinya dia akan masuk angin. Ia bukan manusia yang bisa merasakan hal semacam itu. Bahkan tubuh sempurnanya sangat menikmati sentuhan-sentuhan air hujan.
"Aku hanya bisa menunjukkan mata asliku di sini." Mata kuning keemasannya terlihat lebih terang ketika malam hari. Begitu cantik.
Laki-laki ini merentangkan kedua tangannya, menutup rapat mata indah itu. August bisa menjadi dirinya sendiri ketika tidak ada seorangpun bersamanya.
'Kau pasti kesepian, suamiku. Maafkan aku tidak bisa menjagamu dan mereka…'
Dengan cepat laki-laki itu membuka mata. Bisikan yang seakan nyata. Masih menghantui di saat August mulai menyakiti dirinya sendiri. Ia merindukan suara itu, meski perkataan yang diucapkan membuat August merasa bersalah. Mengingatkannya pada tragedi yang seharusnya ia lupakan.
Suara perempuan tadi hilang begitu saja.
Ia sudah mengira suara yang sangat ingin ia dengar akan kembali kalau dirinya merasa sakit.
"Alana! Alana!" Ia berteriak. "Aku merindukanmu. Kumohon berbicaralah sekali lagi." Ia mencari bisikan tadi. Walaupun ia tahu itu tak mungkin, tetap saja ke sana kemari dengan raut kebingungan. Dia sudah seperti orang gila.
"Aku mohon bicaralah sekali lagi." Pintanya sambil menahan isakan.
Hujan semakin deras, angin pun tak tinggal diam, bahkan bertiup lebih kencang dari sebelumnya. Seorang pria terkenal, berlutut dan frustrasi. Suara itu benar-benar membuatnya terguncang.
August masih pada posisi berlutut, menunggu kembalinya suara yang dirindukan. Hingga hujan berhenti tanpa disadari. Pria ini menyerah. Tak peduli tubuhnya yang basah.
Dini hari, di saat semua manusia lain tertidur pulas melupakan masalah. Ia baru akan merebahkan tubuh basah ke atas ranjang tidur, membiarkan seprai menerima akibat yang menghasilkan kata kotor dan tidak layak pakai. Tinggal menyuruh pekerja saja untuk membersihkan.
***
"Ada urusan apa dengan otak jeniusku?" Zay telah memenuhi permintaan saudara sepupunya bernama Sarayu.
"Bukan aku tapi temanku."
"Kulihat kau sendirian. Mana temanmu?"
Sarayu menggunakan dagunya sebagai penunjuk ke dalam ruangan khusus. Seorang gadis lain sedang berputar dan menari gemulai. Ikat rambut pita terus mengikuti gerakannya.
"Dia sedang apa?" tanya Zay. "Mana malam lagi. Memangnya tidak ada waktu lain." gumamnya.
"Kau tidak lihat! Dia berlatih balet." Sarayu sedikit kesal. Tidak mungkin pemuda itu tidak tahu.
"Ya, aku tahu. Tapi kenapa dia sendirian? Dia les sendirian?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya menemaninya."
"Jangan bilang temanmu memintaku untuk ikut les balet juga?" tebak Zay mengada-ngada. "Oh ya tuhan." Tampang terkejutnya membuat wajah saudara sepupu semakin datar.
"Ternyata kau bisa bodoh juga ya, Zay." Sarayu sudah malas menanggapi.
"Setidaknya aku tidak sebodoh kau." Balas pria itu mengejek. Saudara sepupu kena telak.
Sarayu geram, ia ingin mencekik leher tak tau diri itu, biar mulut Zay tidak bisa berbicara lagi.
"Hai." Sapa Arunika. Gadis yang menari balet tadi.
Tangan Sarayu tidak jadi menggenggam leher saudara sepupunya, karena sapaan sang teman menyela tiba-tiba.
"Zay." Ucap pria berkemeja lebih dulu. Sebab ia menangkap tatapan yang bertanya.
"Halo, Zay. Aku Arunika, temannya Sarayu." Mereka berjabat tangan.
"Aru. Dia sepupuku yang kemarin kita bicarakan. Ayo kita mengobrol di tempat lain." ajaknya.
Gadis berambut pendek – Sarayu, memilih kedai terdekat, pertemuan mereka bertiga untuk pertama kalinya. Rundingan ini terjadi karena Aru meminta tolong, mencarikan orang jenius siapa pun itu yang bisa membantunya menyelesaikan tugas akhir dengan cepat.
"Mari dengarkan omongan kalian lebih dulu." Kata laki-laki berambut sedikit pirang, tanpa basa-basi.
"Aku membutuhkan pertolonganmu. Tolong bantu aku menyelesaikan tugas akhir agar aku cepat lulus." Aru membalas. Benar, ia yang membutuhkan jasa Zay.
Pria itu mengerutkan dahi, bersedekap lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Biarkan aku lihat usahamu terakhir kali."
"Sayangnya dokumen itu tidak kubawa."
"Lalu… apa gunanya aku ke sini?" sikap Zay membuat Sarayu kesal. Dia sombong sekali.
"Kupikir kita cukup kesepakatan saja di pertemuan pertama. Juga karena ada jadwal baletku." Arunika mengecilkan suara. "Kuharap kau bisa membantu." Tatapannya berubah, ia menunduk.
Zay tampak berpikir, sedang menimbang dan memilih keputusan, rautnya seolah tak mau menerima. Terlihat sekali keangkuhannya. Tak sengaja Zay melirik Sarayu yang juga menatapnya tajam. Untung saja mata itu tak keluar.
'Dia memang mengerikan' pikir si laki-laki. Ia sedikit bergidik.
"Baiklah, aku menerima tawaranmu. Berapa kau akan membayarku?" laki-laki angkuh bertanya tanpa sungkan. "Bisa kau kecilkan matamu itu, Sar?" Zay beralih ke saudara sepupu. Dari tadi Sarayu masih mengancam.
"Berapa yang kau minta?" tanya Arunika.
"Zay, awas kau kalau meminta yang macam-macam!" Sarayu lagi-lagi mengancam. Ia tahu betul apa isi otak sepupunya. Meski pintar, terkadang otak Zay bisa bergeser, dan hal tak masuk akal itulah namanya.
Menarik. Zay mulai memikirkan apa yang bisa ia inginkan dari gadis terlihat polos di depannya. Ia menyeringai kecil. Tetapi Sarayu menjadi penghalang. Gadis berambut pendek memang biang masalah.
"Maksudmu uang?" pria itu memperjelas. "Bagaimana kalau aku meminta yang lain? bukan berupa uang." Dua gadis ini jadi waswas mendengar perkataan laki-laki di depannya.
'Kalau kau macam-macam, aku akan menghajarmu habis-habisan, Zay. Otakmu itu perlu dibetulkan' Sarayu telah menyiapkan tinjuan di bawah meja.
"Jadi?" Arunika ambil suara.
"Aku ingin kegadisanmu."