Chereads / Stylish Man / Chapter 3 - Menghanyutkannya Ke Dalam Mata

Chapter 3 - Menghanyutkannya Ke Dalam Mata

Baru-baru ini kabarnya sang pria busana memberanikan diri untuk mempublikasikan lagu ciptaannya, atas desakan serta kemauan para penggemar. Bagaimana kuatnya para gadis itu membujuk sang idola – sebab August bukan pemuda yang mudah untuk hal yang menurutnya memalukan.

Pertama kalinya August melakukan pertunjukan musik dari sepanjang karir cemerlangnya. Dia ahli sebagai model yang berpose di depan kamera. Namun, di atas panggung ia juga merasa gelisah dan ragu.

"Kami menyukainyaaa…" Teriakan yang kesekian kali.

August mulai memegang gitarnya, memetik senar demi senar – mengalunkan nada-nada lembut nan indah. Siapa pun yang mendengarnya akan terpejam-pejam dan terhanyut. August berhasil membuat mereka terpukau.

Penampilan malam ini hanya untuk penggemar yang paling beruntung saja. Sang bintang yang meminta berapa banyak kursi bagi para pengagumnya – terhitung ada sembilan puluh sembilan kursi yang terlihat. Para gadis itu ternyata tidak tahu kalau ada satu kursi yang kosong – mereka dipastikan tidak tahu maksudnya – sengaja dikosongkan.

Di tengah nyanyian August di atas panggung, ada sesuatu yang tak sengaja ia lihat.

"Mata itu!" gumamnya. Pandangan sang model teralihkan. Sepasang mata yang ia cari-cari selama ratusan tahun seakan menyerahkan diri.

"Semuanya. Saya permisi sebentar." Teriak August seketika. Dengan segera ia meletakkan gitar pada penyangganya. Ia butuh air untuk menyegarkan tenggorokan.

"Yahhh…" kecewa para penggemar seiring August meninggalkan panggung. Cukup murung ketika mereka ditinggalkan di tengah-tengah acara.

Di belakang panggung, August berdiam di ruangannya, tidak memperbolehkan siapa pun masuk. Manajer sebagai orang kepercayaan berdiri di depan pintu. Ia berjaga.

Mata yang berbeda tadi menarik jiwa sejatinya, August berupaya melawan agar tak berontak. Tubuhnya memerlukan apa yang seharusnya tubuh itu butuhkan. Apalagi… selain tetesan darah.

"Hah… hah…" pria di dalam ngos-ngosan. Kepalanya kembali memberi rasa menyakitkan – amat menyakitkan. August terseok-seok mengambil kantong darah dalam tasnya. "Kenapa harus sekarang." Ia terus merekam iris mata gadis tadi. "Apakah yang aku lihat itu benar?"

Dalam sekali tenggak, kantong darah sudah tak bersisa, tampak giginya yang kemerahan – berbekas. Jiwa itu melemah dengan sendirinya, layaknya peliharan yang seketika menjadi jinak setelah tuannya memberi makanan.

***

August merasakan tubuhnya pulih kembali, lumayan lama ia menjadi orang gila – sendirian. Sekarang ia sedang bersiap-siap untuk melanjutkan nyanyian yang tertunda. Riuh tepuk tangan dan teriakan para gadis juga mulai menggema.

Lagu terakhir yang dinyanyikan telah selesai, setelah beberapa lama.

August mengambil microphone. "Terima kasih sudah mengisi waktunya untuk datang dan menyempatkan waktu di pertemuan ini."

"Terima kasih juga kepada August… dan kami ada pertanyaan untukmu. Apakah anda mengizinkan kami para penggemar mengajukannya?" wanita pemandu acara melakukan tugasnya.

Sang bintang mengangguk, ia terus melempar senyuman hangat. Sangat meneduhkan. Semua penggemar semakin menyukainya.

August merupakan laki-laki yang tak banyak bicara, tetapi pesonanya selalu menarik dan memikat terhadap orang-orang baru. Ia seakan memancarkan cahaya. Cahaya yang menenangkan. Wajah itu seolah memberi kepingan-kepingan untuk menutupi suatu jiwa yang kosong.

"Silakan, adakah yang mau bertanya? Jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Kapan lagi bisa berbincang langsung dengan August." Pemandu acara meminta kepada penggemar.

"Saya," salah satu gadis mengangkat tangan. Lalu wanita pemandu acara mempersilakan. "Bagaimana bisa ada satu kursi kosong bersama kami? Apa itu disengaja? Lagipula, di sini ada yang ganjil, bukankah banyak penggemarmu yang sangat ingin ikut serta." Ternyata ada yang menyadarinya. August salah besar kalau para penggemar mengabaikan hal tersebut.

August terlihat gelagapan. "Ya. Maksudku memang disengaja, supaya… em, anggap saja itu kursiku, supaya aku dekat dengan kalian." Terangnya asal.

Yang diharapkan dari pria itu hanyalah sebuah kehadiran. Sebenarnya ia berharap seorang perempuan cantik duduk di sana, menatapnya tanpa henti, menghanyutkannya ke dalam mata hingga lelah tersebut hilang.

Semuanya seakan terpesona dengan tingkah menggemaskan pria di atas panggung, lakunya yang gugup menambah kesan lucu di wajah tampannya.

"Kau penuh kejutan, Gust." Gadis penggemar mengakhiri ungkapan. Nada ucapannya terdengar kagum.

Gedung itu hanya di isi oleh suara riuh tepuk tangan dan teriakan-teriakan para gadis. Tidak ada yang lain. Mereka senyap ketika sang bintang berbicara saja.

Satya, si manajer meminta anak asuhnya untuk kembali, sekedar beristirahat. Gurat wajah tak riang August menjadi masalahnya. Acara juga telah selesai. Gadis-gadis itu sudah pulang ke rumahnya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Satya. "Lama sekali kau di ruanganmu tadi, aku khawatir, apa ada masalah?" ia sambil membereskan barang-barang.

"Aku hanya gugup."

"Wajahmu pucat, Gust. Sebaiknya kau istirahat malam ini. Besok ada jadwal rapat di gedung Modest. Mereka menawarkanmu untuk bekerja sama lagi." Si manajer menjelaskan.

"Iya."

Satya menggeleng-geleng saja, anak itu sulit sekali diingatkan, keras kepala. Tanpa ia ketahui kalau August bukanlah manusia biasa, menyembunyikan diri sementara, disiksa oleh tubuhnya yang sering kehausan akan santapan merah.

'Aku harus mencari tahu mata itu, apa kemungkinan ada perhitungan tahunnya lebih cepat? tapi ini belum seratus tahun. Apa benar itu Alana?' August berdebat dengan otaknya. Sampai-sampai si manajer memperhatikan.

"Ayo." Ajak Satya. Ia telah menyelesaikan urusannya. Ransel yang terbuka tadi sudah terkemas dengan rapi. Ia berdiri di depan sang model.

"Apa–oh, iya." August terlihat lambat mengerti maksud si manajer.

Sementara itu, gadis yang sendirian sedang berdiri di pinggir jalanan kota. Kakinya menendang-nendang karena bosan. Ponsel pun sudah tak berguna, barang pintar itu akan mati jika daya baterainya habis.

Menunggu taksi yang tak kunjung menepi.

Rambut si gadis sudah terikat, angin malam sejak tadi mengibas-ngibas, takutnya rambut itu kusut dan sukar disisir.

Tak lama taksi yang ditunggu datang juga, meski Arunika beberapa kali mengeluh. Ketika tangannya terayun untuk membuka pintu mobil, wangi maskulin semerbak menghampiri hidungnya. Gadis itu sempat terhenti sesaat.

"Dari mana aroma ini berasal." Aru bergumam. "Begitu menenangkan."

"Apa kau akan menaiki taksiku, nona?" seru sopir taksi sambil melihat calon penumpang yang seperti ragu. Arunika masih berdiri memegang handle pintu.

Kemudian Aru bergegas memasuki kendaraan tersebut.

Pria berhoodie hitam baru saja melewati gadis yang sedang menunggu taksinya. Sekian detik mereka hampir bertemu. Setelah August membujuk si bujang tiga puluh delapan tahun – agar membiarkannya mencari udara segar barang sebentar. Ada perdebatan-perdebatan kecil di antara keduanya.

Dan pada akhirnya si manajer luluh dengan tatapan memohon milik anak asuhnya yang kadang sengaja terlihat menggemaskan. August memang pantas dijuluki seperti itu. Wajahnya tampan tetapi juga imut.

"Apa wangi pria itu, ya?" Aru melihat dari kaca spion mobil, ia mendapati laki-laki berhoodie hitam yang menutupi kepala. "Pasti parfumenya mahal."

Sekarang bergantian, August yang berdiri di pinggir jalan, memperhatikan mobil berlalu lalang.

Lamunan August terpecah, sebab teleponnya terus berdering. Ia sudah tahu kalau Satya akan begini. Perjanjian hanya dua puluh menit, dan waktu itu pastinya telah habis.

"Aku segera kembali." August menyahut dari teleponnya. "Ya. Aku sedang berjalan, sabarlah sedikit." Ia menjawab dengan malas.

***

'Kau pasti kesepian, suamiku. Maafkan aku tidak bisa menjagamu dan mereka…'

Dengan cepat laki-laki itu membuka mata. Bisikan yang seakan nyata. Masih menghantui di saat August mulai menyakiti dirinya sendiri. Ia merindukan suara itu, meski perkataan yang diucapkan membuat August merasa bersalah. Mengingatkannya pada tragedi yang seharusnya ia lupakan.