"Kau mau ke mana?" August bertanya dengan menatap Zay aneh. Biasanya pria berambut sedikit pirang tak mau cepat-cepat pergi dari penthouse mewah ini.
"Ada urusan mendadak. Kalau butuh bantuan hubungi saja. Oh iya, jangan lupa masih ada segelas darah di kulkas, sisa yang tadi. Minumlah. Kau kan besok ada jadwal pemotretan, butuh tenaga. Bisa-bisa manajermu menaruh curiga." Timpal Zay. Ia mengabaikan August yang termenung memperhatikannya hingga berlalu dari sana.
Tubuh aneh yang sangat dibenci itu, seakan ingin membunuh jiwa, tetap saja ucapan Zay harus diikuti, walaupun terpaksa.
"Kuakui, rasa darah tidak terlalu buruk. Hanya saja aku tidak ingin terlahir seperti ini." Ucap August.
***
Berlembar-lembar majalah telah tercetak dan siap diedarkan. Sungguh ini karya yang kesekian kalinya berada di puncak pasar. Dalam sejarah August berkarir, tidak ada satupun karyanya yang dikatakan gagal. Berbagai brand-brand besar menawarkan untuk bekerja sama.
Wajahnya memenuhi halaman majalah yang siap memanjakan para penikmatnya, terutama para gadis. Beberapa hari nama August menjadi nama yang paling dicari dan diperbincangkan. #AugustXBrand.
"Begitulah karirku yang dipuji-puji. Lama-lama aku muak juga." Pemuda pemilik karir terbaik tahun ini menyaksikan dirinya melalui televisi.
Bel terdengar nyaring, memanggil laki-laki yang bersantai. August menghela napas, membuat hari liburnya terganggu. Barulah ia menghampiri tamu tak tahu diri sambil menggerutu.
"Kalau itu Zay, aku akan menggigit lehermu dengan sukarela." August akan mengancamnya. Kemudian Pemilik penthouse membuka pintu. "Ka-kak?" ia terkejut. Manajer berkunjung tanpa memberitahu. "Kakak kenapa tidak memberitahuku lebih dulu? Bukannya ini hari liburku!"
"Apa?" kata Satya datar. Dengan santai ia berjalan menuju sofa tamu, membaringkan tubuhnya. August yang mengikutinya masih berdiri dan menunggu si manajer menjawab. Wajah tampan itu kentara sekali tidak senang dengan kedatangan Satya.
"Kakak tahu kan aku tidak suka diganggu bahkan didatangi orang lain ke rumah di saat libur. Ini kesempatanku untuk beristirahat." Protes si pria busana.
Satya tak menyahut, ia hanya melirik gelas biru pekat di atas meja. Gelas yang disiapkan Zay sebelum pergi. August lupa untuk menyembunyikan benda tersebut.
"Kau habis meminum apa? Mabuk-mabukkan di belakangku?" Si manajer menuduh.
Dengan cepat August menyambar gelas itu lalu menyembunyikannya di balik punggung. Beruntung darah dalam gelas sudah ia minum, hanya menyisakan aroma tak enak serta akan menimbulkan kecurigaan bagi Satya.
"Bukan. Ini hanya sirup." Balas pemuda itu.
"Sirup?" Ulang Satya bernada tak percaya.
"Iya!" sahut August meninggikan suara. "Tadi Zay mengantarkannya untukku. Memangnya apa? Anggur merah? Haha, yang benar saja, kak. Aku ini model terkenal. Bisa sa-"
"Ya, baiklah." Potong si manajer.
August akhirnya bisa bernapas lega, untunglah Satya si bujang tiga puluh delapan tahun itu tidak menaruh curiga.
Pria busana pun beranjak ke dapur, menyimpan baik-baik gelas pemicu masalahnya. Lalu ponsel dalam genggamannya berdering, memperlihatkan nomor yang ia kenal. Percakapan mereka terjadi begitu serius.
Di saat yang sama, si manajer beringsut dari sofa. "Kenapa anak itu?" menyadari August yang tak kunjung kembali. "Dia ada minuman bersoda tidak ya?" Satya tampak berpikir.
Si manajer hendak menyusul, mengambil sendiri minumannya di lemari pendingin. Akan tetapi, langkah itu terhenti kala August bercakap dengan serius sekali di ujung sana. Sayangnya, Satya tak mendengar apa pun. Ia tidak ingin mengetahui bahkan mencampuri urusan pribadi August, hanya saja benak si manajer kali ini benar-benar ingin tahu.
Satya melangkah perlahan mendekat, bermaksud menyentuh bahu yang lebih tinggi darinya. Entah mengapa ia memiliki keragu-raguan dan tubuhnya sedikit gemetar, seperti seorang pencuri yang akan ketahuan.
"Kakak." August mengejutkannya.
Sontak tubuh Satya mematung seiring raut muka yang kebingungan. Dirinya seolah kedapatan sedang menguping, walaupun bisa dikatakan benar. Nyatanya si manajer tak mengetahui apa-apa.
"A-aku haus. Makanya ke sini ingin meminta minum," Satya melirik kulkas pada sisi kiri. "Kau ada minuman soda tidak?" Ia melangkah canggung, tetap terlihat meski ia berusaha bersikap biasa.
Tatapan August mengikuti gerak si manajer hingga pria itu menenggak soda berkemasan kaleng seperti sedang kehausan. 'Apa dia mendengarku tadi?' pikirnya.
Sesekali Satya mencuri lirikan laki-laki di depannya, sembari menunggu dan berharap August pergi meninggalkan dapur.
***
Matahari tak lagi berada di puncaknya, seluruh kota hampir tenggelam oleh kegelapan malam. Arunika merebahkan tubuh letihnya ke tempat ternyaman. Teringat akan mimpi kemarin yang aneh dan tak biasa. Gadis itu memimpikan dua anak kecil yang bermain di tepi air mancur bersama ayahnya.
"Sudah kali ketiga aku memimpikan hal yang sama. Memangnya ada orang-orang di luar sana memiliki kasus serupa?" Arunika memikirkan jawaban dari rasa penasaran akan mimpinya.
Terlalu hanyut dalam pikiran yang tak menemukan titik terang membuat Aru lelah. Sepasang mata cantik berwarna hitam tetapi tidak pekat, terlihat ada campuran warna cokelat. Ketika terkena sinar matahari mata itu cenderung dikuasai warna cokelat – terpejam tanpa diminta.
Di kamar seorang gadis terdengar suara gerakan jarum jam tak kenal lelah. Deru napasnya akan mudah ditangkap telinga kalau ada manusia lain di sana.
Arunika terjaga setelah tiga puluh menit ia terbuai akibat rasa mengantuk. Baru ingat kalau malam ini ada acara penting. Jangan ada sejarah kata terlewat jikalau menyangkut urusan seorang bintang bernama August. Laki-laki yang selalu sempurna dalam berpakaian.
Majalah Modest kemarin – Arunika ialah salah satu penggemar yang memilikinya.
"Hampir saja aku melupakan tiketnya." Tutur gadis cantik itu.
Rambutnya yang bergelombang manis terurai sepunggung. Mengikuti gerakan tuannya yang berjongkok mengikat tali sepatu putih favorite, senada dengan baju yang ia kenakan. Lain pula jeans yang tersemat sangat pas pada penopang tubuhnya. Seorang Arunika bersiap menghadiri pertemuan dengan sang superstar.
Gemerlap sinar lampu menghiasi seluruh jalanan kota, menemani gadis yang sedang duduk di kursi penumpang sebuah taksi.
Tak terasa Arunika tiba di tempat yang ia tuju. "Ramai sekali tempat ini." Ia melihat, menatap ke sekeliling tak percaya sekaligus kagum.
"Para penonton dipersilakan duduk di kursi yang telah tersedia, terima kasih." Seorang wanita berpakaian formal memegang sebuah pengeras suara berdiri di atas panggung, dialah pemandu acara yang diselenggarakan saat ini.
Dengan perasaan bahagia, Aru mengambil kursi yang telah ditetapkan. Entahlah, ia merasa beruntung. Mungkin keberuntungan ini tak akan datang dua kali. Gadis berambut cantik itu terus mengukir senyuman, seakan tak pernah pudar.
"Selamat datang semuanya," pemeran utama menyapa para penggemar. "Kalian tidak sibuk untuk menemuiku?" imbuh August dengan nada bercanda.
"Tidakkk…" Seru semua penggemar bersamaan.
"Kami mencintaimuuu…" Tambah mereka lagi.
Riuh tepuk tangan menyambut pemuda di atas panggung, malam yang sungguh istimewa untuk penggemar laki-laki sempurna di sana.
"Mata itu!" gumamnya. Pandangan sang model teralihkan. Sepasang mata yang ia cari-cari selama ratusan tahun seakan menyerahkan diri.