"Bell dipanggil sama pak bos tuh.'' Nani menepuk bahu Bella yang sedang mengelap meja.
"Oh iya Nin."
Bella bergegas masuk kedalam ruangan Roger. Ia berharap ada kabar baik dari bosnya itu.
Tok tok tok
"Masuk," sahut Roger.
"Permisi pak.'' Bella melangkah masuk kedalam.
"Duduklah Bell."
Bella mengangguk lalu duduk diseberang meja Roger.
"Bella, langsung saja ya. Brian ingin kau datang ke apartemennya," ucap Roger lugas.
"Apa pak, apartemen?" Bella terkejut. Tak salah dengar kah Brian memintanya datang ke apartemennya!
"Iya bell, tadi saya bertemu dengan Brian untuk meminjam uang padanya. Tapi dia minta kau yang bicara langsung padanya."
"Pak Roger memberitahu bahwa aku yang meminjam?"
"Awalnya aku tak ingin memberi tahunya tapi dia mendesakku Bell. Maafkan aku bell,'' ucap Roger tak enak.
Bella menghela nafasnya, ingin menghindar tapi malah harus bertemu lagi. Dan lagi, kenapa harus bertemu di apartemen? Bella merasa curiga.
"Tenang saja Bell, dia berjanji takkan macam-macam padamu," kata Roger, ia tahu Bella pasti berpikiran yang tidak-tidak.
"Tapi pak, apa pak Roger tidak punya kenalan selain kawan pak Roger itu."
"Hanya dia yang paling cepat memberikan pinjaman Bell. Dia kaya dan juga berkuasa.''
Kaya dan berkuasa!!! Bella bahkan tak tertarik dengan lelaki bajingan itu. Lelaki yang merenggut keperawanannya. Bella sangat membencinya.
"Bagaimana Bell? Apa kamu masih berminat?" tanya Roger setelah beberapa saat Bella termenung.
"Saya tidak mau pak," tolak Bella. Cukup sekali saja bertemu dengan pria arogan sepertinya setelah apa yang ia lakukan pada Bella. Bella tak ingin lagi berurusan dengan pria itu.
"Ya sudah, terserah kamu Bell." Roger tak memaksa kehendak Bella, ia pun tak ingin Bella berurusan dengan Brian
"Saya permisi pak," pamit Bella membungkukkan badannya.
Roger mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
Bella keluar dari ruangan bos-nya, berjalan menuju dapur. Pikirannya melayang entah kemana. Dia termenung didekat wastafel, Nani yang melihat itu pun langsung menghampiri Bella. Ia begitu khawatir dengan temannya itu.
"Ada apa bell?"
"Oh Nan, tidak ada apa-apa ko.'' Tangan Bella terulur mengambil spon cuci piring lalu mencuci piring yang kotor.
"Habis dari ruangan pak bos ko melamun sih? Memangnya ada masalah apa bell?"
"Aku keruangan pak bos mau pinjam uang."
"Uang? Buat apa Bell?" Nani mengernyitkan keningnya.
"Ibuku punya hutang sama rentenir dan besok mereka akan menagih hutang itu," jelas Bella menghela nafasnya.
"Memangnya hutangnya berapa Bell?"
"Seratus juta.''
"Apa? S-seratus juta," Nina tergagap mendengarnya. " Banyak sekali Bell," lanjut Nina.
"Ya mau bagaimana lagi Nan, hutang rentenir itu semakin hari semakin bertumpuk kalau tak segera dilunasi."
"Iya juga sih. Terus bagaimana kamu mendapatkan uang lagi, minjem ke pak bos kan dia gak ada duit."
"Entahlah, aku bingung," Bella menghela nafasnya berat.
"Yang sabar ya Bell," Nina menepuk pundak sahabatnya.
Bella mengangguk pasrah.
Pukul delapan malam Bella pulang dari tempat kerja. Namun saat tiba di pekarangan rumahnya, Bella disuguhi pemandangan yang sangat menegangkan. Rentenir itu datang kembali memaksa ibunya untuk mengambil sertifikat rumah milik ayahnya.
"Ya ampun ibu," Bella menghampiri ibunya yang tersungkur.
"Mana uangnya," hardik rentenir itu.
Bella membantu mengangkat tubuh ibunya yang ringkih. "Sabar pak. Bukan kah baru besok kalian menagihnya, kenapa sekarang sudah kemari lagi?''
"Sudah tak usah banyak alasan. Pokoknya kalian harus bayar hutang-hutangnya. Kalau tidak rumah ini akan saya ambil," ancamnya.
"Bella,"ucap Bu Ana terisak melihat Bella. Tak mungkin rumah peninggalan ayahnya harus diserahkan begitu saja kepada rentenir.
"Iya pak besok saya akan melunasinya," tutur Bella meyakinkan si rentenir.
"Baik. Kalau besok kalian tidak bisa melunasinya,maka kalian harus angkat kaki dari rumah ini.''
Setelah kepergian rentenir, Bella memapah tubuh ibunya masuk kedalam. Berlari kedapur mengambilkan segelas air minum untuk ibunya agar lebih tenang.
Melihat ibunya sudah tenang,Bella mulai berbicara. " Kapan mereka datang Bu?"
"Dari tadi Bell, mereka memaksa masuk kedalam untuk mengambil sertifikat rumah ini. Ibu mencoba menahannya sampai akhirnya ibu didorong oleh mereka," cerita Ana.
Bella menghembuskan nafasnya. Melihat ibunya ketakutan ada rasa bersalah didalam dirinya. Ia tak bisa menolong ibunya disaat-saat seperti ini.
"Dion kemana Bu?" Bella tak melihat keberadaan adiknya itu.
"Dion masih dibengkel Bell, dia belum pulang sampai sekarang."
"Sebaiknya ibu istirahat,"pinta Bella.
"Tapi Bell, bagaimana besok? Apa kita akan menyerahkan rumah peninggalan ayah mu ini." Bola mata Ana berkaca-kaca.
"Sudah ibu tenang, aku akan mencoba cari pinjaman."
Bella memapah tubuh ibunya menuju kamarnya, membaringkan tubuh Ana perlahan.
"Istirahatlah Bu," ucap Bella.
Bu Ana hanya mengangguk dan tak lama memejamkan matanya.
Bella keluar dari kamar ibunya ia masuk ke kamarnya. Diraihnya ponselnya lalu menekan nomor bosnya Roger.
"Hallo pak?"
"Bella? Ada apa?"
"Bisakah pak Roger kirim alamat teman pak Roger," pinta Bella tanpa basa-basi.
"Lho ko Bell, kenapa?'' tanya Roger heran. Ia masih ingat tadi sore Bella menolak mentah-mentah pertolongan brian.
"Aku tak ada pilihan pak, jadi kirim saja alamat apartemen teman pak Roger," pinta Bella.
"Baiklah, aku kirim lewat pesan ya. Nanti kalau ada apa-apa kamu hubungi saya."
"Iya pak, terimakasih."
"Sama-sama Bell."
Panggilan pun terputus. Bella lalu keluar dari kamarnya, ia akan menemui Brian lelaki yang merenggut keperawanannya. Bella tak ada pilihan lain selain meminjam padanya.
Saat Bella hendak keluar rumahnya ia berpapasan dengan Dion. "Kakak mau kemana?" tanya Dion melihat kakaknya membawa tas selempang-mengenakan Hoodie
"Kakak ada urusan, tolong kamu jaga ibu ya," pinta Bella memegang bahu Dion.
"Iya kak," Dion mengangguk.
Bella bergegas mencari tukang ojek disekitaran rumahnya. Setelah dapat, Bella meminta mengantarkannya ke alamat apartemen Brian.
Empat puluh lima menit perjalanan menuju apartemen Brian. Bella baru sampai dialamat yang Roger berikan. Bella memandang gedung dihadapannya sangat tinggi dan besar.
"Semoga keputusan ku sudah benar," guman Bella menyakinkan hatinya.
Setelah panggilan berakhir dengan bosnya. Roger langsung mengirim pesan alamat apartemen Brian berserta nomor unit apartemen Brian. Memasuki lobby apartemen, perasaan Bella tak karuan. Ia takut jika Brian akan meminta hal yang tak masuk akal. Seperti kejadian dicafe beberapa waktu lalu.
Tiba dilantai dua puluh, Bella terus melangkah mencari nomor unit apartemen Brian. Tepat di ujung lorong nomor unit Brian. Kembali Bella menghela nafasnya berkali-kali. Sebelum ia menekan bel.
Baru saja Bella akan menekan bel tapi tak disangka Brian sudah membukakan pintunya lebih dulu.
"Hallo Bella," sapanya dengan senyuman manis tapi bagi Bella senyuman itu sangat menjijikan.
Bella tak membalas ia berdiri dihadapan Brian dengan ekspresi datarnya.
"Masuk lah," ajak Brian. Bella melangkah masuk kedalam. Ia terus-menerus menghembuskan nafas beratnya.
Brian meneliti lekuk tubuh Bella yang terbalut Hoodie dan celana jeans. Ia pernah melihat tubuh Bella, dan itu yang membuatnya menginginkannya lagi.
"Duduk lah." Brian mempersilahkan Bella duduk.
"Aku kesini untuk meminjam uang padamu," seru Bella tanpa basa-basi.
"Aku tahu, Roger sudah menghubungi dulu. Berapa yang kau minta?'' tanya Brian menatap datar wajah Bella.
"Seratus juta."
"Sedikit sekali, tapi baiklah. Aku akan meminjamkannya padamu." Seringai Brian menatap cemooh.
"Benarkah itu?" tanya Bella memastikan.
"Iya. Tapi dengan satu syarat." Brian mencondongkan tubuhnya menatap Bella.
"Jangan macam-macam," gertak Bella waspada.
"Aku belum memberitahu mu syarat yang ku minta tapi kau sudah ketakutan."
"Aku tahu otak kotormu," sarkas Bella menatap tajam Brian.
"Begitu kah caramu meminjam uang dengan kata-kata kasar Bella," balas Brian.
"Maaf." Bella tertunduk.
Brian menyunggingkan senyumannya. "Baiklah. Ini perjanjian kita." Brian menyerahkan map yang telah ia persiapkan untuk Bella.
Bella langsung meraih map tersebut, membacanya dengan teliti. "Apa ini?" tunjuk Bella pada map yang diberikan Brian.
"Kau bisa mambacanya bukan." Brian berdiri lalu bersedekap menatap lurus Bella.
"Aku harus membayar hutangku dengan menemanimu dua minggu di Paris?! Sentak Bella.
"Hanya dua minggu Bella, maka hutang mu lunas," jawab Brian.
Kembali Bella menghembuskan nafasnya. Untuk apa Brian memintanya menemaninya di Paris, Bella semakin curiga.
"Tenang saja, aku akan pesan dua kamar hotel. Disana kau jadi asisten pribadiku mengurus semua kebutuhanku selama dua minggu di Paris, " jelas Brian.