Pukul tujuh malam Ana tiba di rumahnya. Bella dan Dion telah menunggunya di ruang tamu.
Bella menyambut Ana lalu membuatkannya secangkir teh hangat. Usai Ana menyesap tehnya. Memberi jeda untuk beristirahat sejenak lalu Bella memulai berbicara.
"Bu tadi siang ada yang kesini," kata Bella memberi tahu Ana.
"Siapa Bell?"
Bella dan Dion saling melempar pandangan lantas Bella menatap ibunya. "Rentenir Bu. Katanya ibu punya hutang sama mereka."
Tubuh Ana menegang, kenapa bisa rentenir itu datang kerumahnya padahal ia dan para rentenir itu sepakat untuk membayarnya dirumah rentenir itu.
"Apakah benar ibu punya hutang sama rentenir itu," kembali Bella bertanya menuntut penjelasan.
"Ibu_"
"Katakan saja Bu," kini Dion yang mendesak ibunya untuk jujur.
"Iya. Ibu punya hutang," jawab Bu Ana tertunduk
"Ini kah alasan ibu bekerja sampai malam?"
"Ibu gak mau kalian pusing memikirkan hutang ibu Bell," aku nya.
"Tapi Bu, kalau ibu terus menerus bekerja sampai jam segini ibu bisa sakit," Bella mengkhawatirkan kondisi tubuh ibunya yang mulai menua.
"Tak apa bell, ibu ikhlas ko."
"Tidak ibu, sebaiknya ibu istirahat saja. Biar aku dan Dion yang mencari uang."
"Tapi Bell, utang ibu sangat banyak. Jika ibu tak kerja bagaimana melunasi hutang-hutang ibu.''
Bella diam, ia pun tak mungkin mendapatkan uang seratus juta dalam waktu singkat. Ah ada saja masalah yang datang.
"Aku coba pinjam sama pak Roger kali dia meminjamkan uang nya,'' usul Bella.
"Ini lah yang ibu takutkan. Ibu tak ingin menceritakan pada kalian. Ibu takut membuat kalian repot," ucap Bu Ana tertunduk sedih.
"Sudah ibu jangan memikirkan hal itu kami sebagai anak akan membantu ibu sebisa mungkin.''
"Terimakasih, kalian anak-anak ibu yang baik," isak Ana terharu.
Esoknya Bella bersiap untuk berangkat menuju cafe. Ia akan mencoba meminjam uang kepada bos-nya, Roger.
"Nan, pak bos sudah datang?" tanya Bella kepada Nani yang sedang membersihkan meja-meja.
"Aku belum liat bell, kenapa?"
"Gak apa-apa." Bella menggeleng pelan.
Seperti biasa Bella mulai sibuk dengan para pengunjung cafe yang semakin siang semakin ramai. Hingga jam istirahatnya Bella mencoba untuk ke ruangan bos-nya, Roger.
Tok tok tok
"Masuk.' Terdengar suara sahutan dari dalam.
Bella masuk kedalam ruangan bos-nya. Melangkah pelan, menuju meja Roger.
"Bella? Ada apa bell?" Roger menatap kedatangan Bella.
Tangan Bella saling bertautan merasakan gugup. Melihat Bella yang gugup, Roger mempersilahkan Bella duduk. Membiarkannya tenang terlebih dahulu.
"Ada apa bell?" tanya Roger.
"Begini pak. Aku ingin bicara dengan pak Roger."
"Iya bicara saja bell."
"Pak bolehkah aku meminjam uang." Sorot mata Bella mengiba.
"Berapa bell?''
Bella menelan ludahnya kasar, ia begitu berat untuk mengatakannya. "Seratus juta."
Seketika bola mata Roger membulat sempurna mendengarnya. "S-seratus juta?"
"Iya pak," jawab Bella meringis.
"Buat apa uang sebanyak itu Bell?"
"Ehm, ibuku punya hutang sama rentenir pak, besok mereka akan menagih nya kembali," jawab Bella tertunduk malu.
"Saya ada uang segitu tapi___"
"Saya pasti akan mencicilnya pak. Pak Roger tinggal potong gaji saya saja tiap bulannya," sambar Bella cepat.
Roger menghela nafasnya. "Bukan begitu bell, tapi uangnya mau aku bayarkan ke Brian."
"Brian? Maksud pak Roger, Brian teman pak Roger itu."
"Iya benar. Temanku yang kemarin bertemu denganmu. Uang hasil cafe ini aku akan disetorkan ke Brian. Karena saya pun punya hutang padanya," jelas Roger.
Kedua bahu Bella merosot, ia sudah hampir senang saat Roger mau meminjamkannya. Tapi uangnya milik Brian, pria brengsek itu. Sungguh menyesalkan.
"Bagaimana kalau kamu pinjam pada Brian?" usul Roger.
"Apa? Pinjam sama dia pak? Saya tidak mau pak." Tolak Bella mentah-mentah.
"Saya juga tak ada uang sebanyak itu Bell. Kalau pun ada saya pasti meminjamkannya padamu."
Bella memejamkan matanya, menarik nafasnya dalam-dalam. "Baiklah pak kalau pak Roger tak ada uang. Maaf saya telah mengganggu waktu pak Roger." Bella beranjak dari duduknya.
"Tunggu Bell," tahan Roger.
"Ada apa pak?"
"Kalau kamu memang butuh banget aku bisa meminjamkannya pada Brian," tawar Roger.
Sejenak Bella terdiam, sejujurnya ia tak ingin berhubungan lagi dengan pria itu. Tapi karena hutang, apakah harus meminta tolong padanya?
"Bagaimana Bell?" tanya Roger.
"Iya pak," jawab Bella pada akhirnya.
"Oke. Secepatnya saya akan memberitahu mu jika Brian bersedia meminjamkan uangnya."
"Baik pak terimakasih. Kalau begitu saya permisi." Pamit Bella lantas melangkah keluar dari ruangan Roger.
Sepeninggal Bella, Roger langsung menghubungi Brian untuk memintanya bertemu. Awalnya Brian menolak untuk bertemu tetapi Roger memaksa terus untuk bertemu. Dan akhirnya Brian menyetujui untuk bertemu dengan Roger.
Pukul lima sore Roger menunggu Brian di sebuah cafe yang tak jauh dari kantor Brian. Ia terus melirik arlojinya berkali-kali. Namun orang yang ditunggunya belum kunjung datang.
"Kemana sih dia," gerutu Roger terus melirik arlojinya.
Tak jauh dari tempat duduk Roger, seorang pria dengan setelan jas mahal menghampirinya.
"Kau lama sekali Brian." Roger menatap kesal Brian.
"Sorry, aku sibuk,"jawabnya santai. Lalu Brian duduk dihadapan Roger.
Roger menarik nafasnya dalam-dalam, ia tak ingin berdebat dengan pria dihadapannya ini.
"Langsung pada intinya saja,'' ucap Roger. " Aku mau meminjam uang padamu," lanjutnya.
"Pinjam uang? Untuk apa? Apa kau kekurangan dana lagi untuk mengembangkan usaha mu," tukas Brian.
"Tidak. Bukan itu."
"Lalu?" Brian menaikkan sebelah alisnya.
"Pegawai ku meminjam uang padaku, tapi aku tak punya uang jadi aku meminjam padamu."
"Tunggu, sejak kapan kau mau direpotkan oleh orang lain? Apa lagi kau bilang pegawai mu? Apa kau menyukai pegawai mu itu," Brian menatap curiga kawannya itu.
"Ck, bukan seperti itu, aku hanya kasian padanya."
"Siapa dia?" Brian bersedekap menatap lurus Roger.
"Hanya pegawai biasa," kilah Roger.
Brian menatap datar Roger. Sorot matanya begitu menghunus tajam ke arah Roger.
"Baiklah-baiklah akan ku beri tahu," Roger mengangkat kedua tangannya menyerah.
Brian masih dengan tatapan datarnya menunggu jawaban Roger.
"Bella. Dia yang meminjam uang."
"Gadis itu?" Brian menaikkan sebelah alisnya.
"Iya. Dia bilang ibunya punya hutang ke rentenir. Ia butuh uang cepat untuk membayarnya. Karena aku tak bisa membantunya jadi kuputuskan aku yang membantu meminjam uang padamu."
Seringai muncul di bibir Brian. Sebuah rencana telintas di pikirannya. " Aku akan membantunya. Tapi aku ingin dia sendiri yang datang dan meminta padaku."
"Kenapa harus memintanya langsung? Aku mewakilkan Bella untuk meminjam uang padamu."
"Aku tak mau. Aku ingin dia langsung," Tekan Brian.
"Oke baiklah, aku akan menghubunginya," ucap Roger pasrah. Kawannya ini memang keras kepala dan tak mau mengalah.
"Aku tak ingin bertemu disini. Suruh dia datang ke apartemen ku.''
"Jangan macam-macam pada bella," Roger menatap tajam Brian.
"Aku janji tidak akan macam-macam padanya. Dan lagi aku sedang sibuk sekarang jadi harus kembali lagi ke kantor," Brian melirik arlojinya.
"Baiklah aku pergi. Sampaikan padanya aku menunggu di apartemen ku jam delapan malam," lanjutnya lalu Brian melangkah pergi.
Roger menatap punggung Brian yang sudah menjauh.
"Semoga saja dia tak macam-macam dengan Bella," gumannya. Pikiran jelek terlintas di benak Roger, pria macam Brian dengan sengaja ketampanan dan kekuasaannya pasti bisa menaklukkan siapa saja termasuk Bella. Namun dengan cepat ia tepis dan berharap Brian menepati janjinya untuk tidak macam-macam terhadap Bella.