Chereads / TERJEBAK PRIA AROGAN / Chapter 4 - Bab 4-Hutang

Chapter 4 - Bab 4-Hutang

.

"Aku menginginkan mu," suara serak Brian yang diselimuti oleh gairah menggema di telinga Bella.

Bella mendorong tubuh Brian namun Brian bergeming disisinya. "Brengsek lepaskan," berontak Bella.

"Aku akan teriak," ancam Bella melotot tajam.

"Silahkan kau teriak. Takkan ada yang percaya jika aku berbuat tak senonoh padamu," seringai licik Brian terukir dibibir sexy-nya.

Bella terdiam, tapi ia tetap memberontak dalam cekalan Brian. "Bagaimana Bella apa kau mau menghabiskan malam panas bersamaku lagi?" bisik Brian sensual.

"Aku tidak akan pernah mau. Malam itu hanya sebuah kesalahan, aku dijebak," hardik Bella.

"Bernahkah itu, tapi kau memaksaku untuk menyentuhmu," ejek Brian.

Bella memejamkan matanya mencoba menarik nafasnya. "Ku mohon lepaskan aku," ucap bella melunak.

Brian tersenyum. "Aku suka kau memelas."

"Tolong lepaskan aku. Aku sedang bekerja,'' kembali Bella memohon.

"Baiklah. Aku akan melepaskan mu," Brian melepaskan cekalannya.

Bella bernafas lega baru saja ia ingin bangkit namun ditahan kembali oleh Brian.

"Aku menunggu malam panas itu lagi," bisik Brian sensual.

Bella tak menggubris ia langsung keluar dari ruangan tersebut.

Brian menyeringai menatap punggung Bella yang telah pergi.

"Aroma mu sungguh membuatku bergejolak Arrabella," guman Brian mengendus wangi parfum yang tertinggal ditangannya setelah mencekal tangan Bella.

Bella berjalan cepat menuju dapur, ia meraih air minum didalam kulkas lalu meneguknya.

"Bell ada apa?" tanya Nani, pasalnya Bella tak kembali saat mengantarkan pesanan keruang VIP.

"Aku gak apa-apa Nan," jawab Bella mencoba tersenyum.

"Ko kamu lama sih Bell?"

"Iya pelanggan tadi tamunya pak Roger jadi aku harus menemaninya," Bella beralasan.

"Oh." Nani manggut-manggut mengerti.

Brian masih diruang tersebut, tak lama sahabatnya Roger datang menemuinya.

"Hai bro," sapa Roger

"Hai,'' balas Brian menyesap kopinya.

"Ada urusan apa kau ingin bertemu dengan Bella pegawai ku," tanya Roger mendaratkan bokongnya disofa dekat Brian.

"Nothing, kami hanya mengobrol saja," jawab Brian cuek.

"Jangan menggangunya," nada bicara Roger tegas dan penuh penekanan.

Brian mendelik tak suka. "Kenapa? Apa kau menyukainya juga."

"Tidak. Dia gadis baik-baik aku tak ingin kau mengganggunya ataupun menjadikannya budak seks mu." Tekan Roger.

Brian menarik sudut bibirnya. "Itu bukan urusanmu Roger."

"Cari wanita lain jangan dia," kukuh Roger memperingati Brian.

Brian yang jengah pun memilih beranjak dari duduknya. Ia berdiri menatap Roger sahabatnya.

"Setelah aku memilihnya, tak ada satu orang pun yang mencegahku untuk tidak memilikinya, termasuk kau." Ucap Brian tegas penuh penekanan.

Manik mata Brian yang biru menatap tajam Roger. Kemudian Brian melangkah keluar dari ruangan tersebut.

Roger menggeleng-geleng kepalanya melihat kepergian Brian. Sahabatnya itu susah untuk diberi tahu. Seenaknya sendiri, untung dia tampan dan kaya kalau tidak Roger tak mau berteman dengan pria brengsek sepertinya.

Ngomong-ngomong soal Bella, Roger penasaran ada hubungan apa Brian dengan Bella? Tak biasanya sahabatnya itu bertemu dengan gadis dari kalangan bawah. Biasanya Brian hanya mau berkencan dengan gadis cantik dari kalangan atas.

Tapi Bella, dia hanya gadis biasa. Tapi tak dipungkiri wajah Bella memang cantik.

Ah untuk apa aku memikirkannya lebih baik aku memberi tahu Bella bahwa dia jangan dekat-dekat dengan Brian, pria yang hanya menganggap wanita untuk memuaskan hasratnya saja, batin Roger.

Sore hari Bella berjalan pulang menuju rumahnya. Seperti biasa rumah tampak sepi. Ibunya belum pulang dari rumah majikannya, sedangkan Dion juga sepertinya masih dibengkel.

Bella merebahkan tubuhnya menatap langit-langit kamarnya. Ia masih kepikiran dengan malam reuni itu. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Kenapa bisa ia berada di kamar hotel bersama lelaki itu.

Ia meraih ponselnya mencari kontak nama temannya yang malam reuni itu dia datang.

" Ini dia," guman Bella menemukan nama Tiana, teman SMA nya dulu.

Nomor tersambung namun belum ada jawaban. Bella menunggu dengan gelisah.

"Hallo," sapanya setelah beberapa menit baru diangkat.

"Hallo Tiana. Ini aku Bella, Arrabella," sahut Bella.

" Oh Bell, ada apa?"

"Begini, waktu kemarin malam kamu datang kan ke acara reunian SMA kita?"

"Iya Bell kenapa?"

"Aku mau tanya apa kamu tahu apa yang terjadi padaku?"

Tiana tak langsung menjawab, ia diam beberapa saat. " Oh itu...anu aku... gak tahu bell," terdengar nada gugup di mulut Tiana.

"Benaran kamu gak tahu? Kamu jujur saja sama aku Tiana aku tidak akan marah," bujuk Bella, setidaknya Tiana mau menceritakannya kejadian malam reuni itu. Bella berharap Tiana memberikannya informasi padanya.

"Bella, aku beneran gak tahu."

"Tapi ko kamu gugup Tiana?" desak Bella.

"Maaf Bella aku beneran gak tahu. Jadi jangan paksa aku. Udah ah aku sibuk." Tiana langsung mematikan panggilannya.

"Aneh."

"Apa Tiana tahu ya? Tapi kalau dia tahu kenapa dia tak bicara padaku,'' Bella bermonolog sendiri.

Bella menghembuskan nafasnya berat. Penyesalan selalu menyelimuti hatinya. Andai dan andai yang selalu Bella pikirkan.

Andai ia tak datang.

Andai ia bisa menurunkan egonya untuk tidak membalas perkataan teman-temannya yang selalu bilang Bella jelek. Mana mungkin Bella akan datang. Ia hanya ingin membuktikan bahwa ia juga bisa cantik.

Tapi malah ia terjebak dengan pria arogan yang entah siapa Bella pun tak tahu. Hanya melihatnya saja hati Bella bagai tersulut api membakar seluruh tubuhnya mengobarkan api kebencian.

Pria pertama yang menjamah tubuhnya, merenggut keperawanannya. Ahh Bella sangat membenci pria itu. Sungguh ia membencinya.

Bella tak ingin lagi berjumpa dengannya, namun sialnya ia harus bertemu lagi dengannya. Dia sahabat bosnya , Roger. Ingin mengadu tapi ia bingung mengadu kepada siapa.

Bella memejamkan matanya menarik nafasnya dalam-dalam. Sungguh terasa berat saat ia ada masalah tapi harus menghadapinya sendirian.

***

Beberapa hari kemudian seperti biasa Bella dengan kegiatannya berkerja di cafe. Walaupun masih terbayang dengan masalahnya.

Andai teman-temannya memberi tahu apa yang terjadi saat malam reuni itu, mungkin Bella tak sepusing ini.

Teman-temannya bungkam menyembunyikan fakta dengan kejadian malam reuni itu. Bella sudah menghubungi teman-temannya satu persatu, namun nihil mereka seolah tutup mulut.

Apa salah Bella? Kenapa semua teman-temannya tak mau memberitahu kejadian malam reuni itu. Hati Bella benar-benar sakit, tak bisakah ia tenang. Bella sudah cukup menderita di bully teman-temannya yang selalu mengatainya jelek dan dekil.

Hanya ingin membuktikan bahwa ia bisa cantik, tapi yang didapat malah musibah baginya. Hati Bella benar-benar sangat sakit dan pedih diperlakukan tak baik oleh teman-temannya.

Tok tok tok

Bunyi pintu rumah Bella terketuk seseorang yang berada diluar rumahnya.

"Dion tolong bukain pintu, sepertinya ada tamu," titah Bella, ia sedang membereskan piring kotor. Ia dan Dion baru saja makan siang.

Kebetulan hari ini Bella libur dan Dion pun baru pulang sekolah.

"Cari siapa ya pak," tanya Dion saat membuka pintu rumah. Menatap dua orang pria, satu pria berbadan tegap berkepala plontos dan satunya pria paruh baya dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya, memakai topi koboi.

"Mana ibu mu," tanya pria yang memakai topi koboi itu.

"Ibu belum pulang pak, nanti sore pulangnya," sahut Dion.

"Beritahu ibumu untuk segera membayar hutang-hutangnya."

"Hutang?!'' Dion mengernyit bingung dengan ucapan pria dihadapannya.

"Iya hutang. Bapak mu meninggalkan hutang padaku sebesar seratus juta."

"Itu tidak mungkin pak," Dion menggeleng tak percaya.

"Kalau kau tak percaya tanya ibumu."

"Ada apa Dion?" Bella berjalan mendekati adiknya.

"Kak, bapak ini mau menagih hutang," ucap Dion, raut wajah Dion sedikit panik.

Bella menoleh kearah dua orang pria dihadapannya. "Hutang pak?" Bella mengernyit bingung.

"Iya hutang. Bapakmu punya hutang padaku sebesar seratus juta."

"Mana mungkin pak. Bapak saya sudah meninggal lama. Dan kami tak merasa punya hutang sama bapak,'' ujar Bella bingung.

"Justru karena dia sudah tak ada hutangnya menumpuk."

"Bapak dan ibumu yang memijam uang padaku. Jadi tanyakan saja pada ibumu."

Bella menatap Dion lalu menatap dua pria tersebut. "Nanti saya tanyakan sama ibu saya pak. Kebetulan ibu saya belum pulang."

"Baiklah. Besok lusa saya akan datang kemari lagi. Dan tentunya dengan uang seratus juta."

Bella dan Dion menelan ludahnya kasar. Begitu banyak hutang ibunya. "Iya pak."

Setelah itu dua pria tersebut meninggalkan rumah Bella.

Bella duduk dikursi kedua tangannya memegang kepalanya yang sedikit pusing.

"Kak, bagaimana ini?" tanya Dion panik.

"Kakak juga gak tahu."

Belum masalahnya usai kini datang lagi masalah baru. Bella hanya bisa mendesah.

Kenapa ibunya tak bilang jika ia punya hutang. Pantas saja Ana tak mau berhenti bekerja di rumah majikannya.

Saat dibilang tak usah bekerja biar Bella saja yang bekerja, Ana tak pernah mau. Alasannya karena bosan dirumah. Itukah alasan ibunya bekerja dari pagi sampai malam karena ingin membayar hutang?

Sungguh ia tak tahu apa-apa tentang masalah yang menimpa ibunya. Bahkan Ana seolah tak memiliki masalah apa-apa didepan kedua anak-anaknya. Bella pikir ibunya tak punya hutang yang ditinggal kan ayahnya, melihat kejadian ini kini Bella mengerti Ana berkerja keras siang malam untuk melunasi hutang-hutangnya.