Chereads / Mental Health -Aku bukan Aku / Chapter 5 - Tak Terlupakan

Chapter 5 - Tak Terlupakan

Jika kemarin kita sudah membahas tentang kelicikan anak kecil, maka sekarang kita maju satu langkah menuju remaja.

Di awal cerita, aku sudah membahas tentang sedikit kisahku saat SMP. Sebenarnya kakak kelasku itu bukanlah laki-laki pertama yang berhasil menarik perhatianku.

Inilah awal kisahku sebagai remaja.

Mamaku adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit pemerintah, saat mama masih melaksanakan shift-shiftan jam kerja, aku sering di ajak mama ke rumah sakit untuk ikut mama bekerja. Bisa dibilang, aku tumbuh besar di rumah sakit. Sekolah TKku dulu berada tepat di belakang rumah sakit tempat mamaku bekerja, teman-teman sekolahku sebagian besar adalah anak-anak para pekerja di rumah sakit tersebut.

Aku memiliki seorang teman laki-laki yang sangat dekat denganku, dia juga adalah anak dari seorang perawat, teman mama. Namanya R. Adit Kurniawan, Adit, itulah sapaanku untuknya.

Kami sering bertemu dirumah sakit, di luar jam sekolah, karena sering kebetulan jam dinas mama kami sama, namun bertugas di bangsal yang berbeda. Kami sama-sama tumbuh besar di sana, rumah sakit seperti taman bermain kami. Hal itu terus berlanjut hingga kami SD, meski kami bersekolah di tempat yang berbeda, namun kami masih sering bertemu di rumah sakit.

Suatu hari, saat kami sudah sama-sama hendak memasuki fase SMP, ketika jedah waktu sebelum masuk sekolah, aku ikut mama bekerja, mama sudah tidak lagi shift, alhamdulillah beliu sudah menjadi seorang kepla ruangan di salah satu bangsal, sehingga beliau mempunyai jam kerja tetap. Mama kami sudah menjadi seorang perawat senior.

"Ta!" Tegur Adit saat aku baru keluar dari kantin rumah sakit.

"Adit? Ikut mama kerja juga?" Aku tersenyum seperti bisanya setiap bertemu dia.

"Aku mau ngomong, boleh?" Wajahnya tampak serius.

"Aku punya berita, entah ini ngaruh atau nggak sama kamu." Ucapnya ragu.

Kami berjalan berdampingan menuju aula belakang rumah sakit, tempat kami biasa menghabiskan waktu bersama saat kecil dulu.

"Berita apa, Dit?" Tanyaku mulai penasaran.

"Aku SMP nggak di sini, Ta. Kemungkinan kita nggak bisa sering ketemu lagi." Ucapnya perlahan.

Tiba-tiba langkah kakiku terhenti. Entah perasaan apa ini, kakiku terasa lemas seperti sulit untuk meneruskan langkah. Namun tetap ku paksakan untuk berdiri. Ku angkat kepalaku yang tertunduk, kusunggingkan senyum yang entah terlihat terpaksa atau tidak.

"Ke luar kota? Di mana, Dit? Enak dong punya suasana baru, temen baru." Celotehku mencoba menutupi sedihku.

Adit mengeluarkan sebuah benda dari sakunya. Sebuah ponsel keluaran terbaru pada saat itu. "Aku baru dibeliin ini sebagai hadiah masuk SMP."

Sebuah ponsel merk terkenal yang paling canggih pada masanya, Adit dibelikan itu sebagai hadiah masuk SMP oleh orang tuanya.

Aku menatapnya nanar. Diambilnya kopelan kertas kecil seukuran kartu nama, dan diberikannya kepadaku. Aku menerima kopelan kertas tersebut, ku baca deretan angka yang tertera di sana.

"Itu nomer hp ku. Aku tau nomer telfon rumahmu. Sesering mungkin aku akan menelfonmu saat di sana. Dan tolong, jika ada sesuatu untuk diceritakan, aku sangat ingin kamu menelfonku ke nomer itu." Tuturnya.

Dug! Dug! Dug! Entah mengapa jantungku tiba-tiba berdegup kencang mendengar kata-katanya itu.

"Aku simpen ya, Dit." Ku angkat secarik kertas itu sambil tersenyum, lalu ku masukan ke dalam saku baju yang ku kenakan.

"Oh iya." Adit kembali bicara, namun dia tampak ragu mengatakannya.

Aku mengangkat kedua alisku sambil melihatnya, aku menunggu dia melanjutkan ucapannya.

"Hemmm.. mungkin sekarang bukan waktunya, kita masih terlalu kecil untuk itu.." lagi-lagi ucapnnya terhenti.

"Masih terlalu kecil? Untuk?" Tuntutku agar Adit meneruskan ucapnnya.

"Tapi akan ku pastikan, jika kita sudah remaja kelak, kamu wanita pertama yang akan aku jadikan pacar." Lanjutnya dengan cepat.

"Haaah??" Mataku melotot mendengar perkataannya. "Hahahaha." Tawaku pecah saat itu.

"Kenap tertawa?" Adit menatapku bingung.

Aku mengangkat tanganku dan menggoyang-goyangkannya sambil menggelengkan kepala. "Maaf." Ucapku sambil menahan tawa.

"Aku serius." Ucap Adit.

Aku menatap matanya lekat, dan ku sadari, ternyata dia sedang serius saat itu.

"Bisa kamu kasih aku pilihan?" Tanyaku.

"Pilihan apa yang kamu minta?" Adit bertanya.

"Bisakah aku memilih untuk menjadi yang terakhir, bukan yang pertama?" Pintaku.

"Mengapa begitu?" Adit menunggu penjelasanku.

"Karena, jika menjadi yang pertama, belum tentu yang terakhir adalah aku. Jika aku jadi yang terakhir, tidak akan ada lagi orang setelah aku." Jelasku.

"Kalau begitu, bisakah aku menjanjikan sesuatu?" Tanyanya lagi.

"Apa itu? Selagi kamu bisa menepatinya." Ucapku.

"Bisakah aku menjandikanmu yang pertama dan terakhir?" Tanya Adit.

Aku mulai merasa aneh dengan pembahasan ini, ku rasa masih belum saatnya bagi anak kecil seumuran kami untung membahas tentang perasaan seperti ini.

"Dit, aku tidak ingin kamu terikat dengan janji itu, kita masih anak kecil, belum sepantasnya kita membicarakan itu." Aku sedikit marah pada saat itu.

"Itu janjiku, Ta." Adit meyakinkan.

Aku menggelengkan kepala, aku berjalan meninggalkan Adit sendiri. "Akan ku fikirkan saat waktunya tiba nanti, Dit." Jawabku sambil berlalu. Aku meninggalkan Adit sendiri dengan rasa kesal yang berada di dadaku. Entah mengapa pembahasan itu membuatku kesal kepada Adit.

Itu adalah pertemuan terakhir kami, pertemuan aku dan Adit yang terakhir untuk selamanya.

Malam sebelum jadwal keberangkatannya ke luar kota, aku berniat untuk menelfonnya, aku ingin meminta maaf padanya, dan ingin sekali mengatakan aku akan menunggunya pulang.

"Mama mau kemana?" Saat melihat mamaku sudah berpakaian rapi lengkap dengan jilbabnya.

"Ke rumah tante Ida." Jawab mama.

Aku tersenyum. Tante Ida adalah mamanya Adit, itu artinya mama ingin ke rumahnya Adit. Aku berniat ikut, setidaknya aku bisa bertemu dengan Adit sebelum dia berangkat.

"Ikut maaa." Pintaku manja.

"Nggak usah, Dek. Sudah malem, lagian mama mau ngelayat." Larang mama.

Dug! Dug! Dug! Jantungku tiba-tiba berdetak tak menentu, perasaanku tidak karuan, entah apa yang merasukiku saat itu.

"Ngelayat, Ma?" Tanyaku ragu.

"Iya. Adit, anaknya tante Ida, temen TK kamu dulu meninggal kecelakaan tadi sore." Jawab mama sambil bersiap-siap pergi.

Seketika sekucur tubuhku lemas, aku memaksakan diri melangkah masuk ke kamarku. Sesaat setelah pintu kamar tertutup, aku terduduk lemas, hatiku hancur pada saat itu. Apakah ini cara Adit menepati janjinya? Aku menangis dalam diam, aku benar-benar menyesali pertemuan terakhir kami kemarin. Otakku penuh dengan kata seandainya seandainya seandainya, namun Agamaku melarang aku untuk berandai-andai. Waktu tidak bisa diputar kembali, semua sudah terjadi, semua telah berlalu, namun Adit menjadi seseorang yang tak terlupakan hingga saat ini, dia selalu ada di tempat khusus jauh di dalam hatiku.

Beberap kali aku mencoba menepis kebenaran yang terjadi, namun sebanyak itu pula aku menyadari kenyataan ini. Aku terdiam, terduduk lemas di lantai kamarku, fikiranku kosong, ingin sekali rasanya aku menangis menjerit, namun semua tertahan, entah apa yang menahannya. Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk pelan.

"Dedek." Panggil mama.

Aku tersadar dari lamunan, aku bangkit untuk membukakan pintu.

"Iya, Ma?" Tanyaku mencoba terlihat seperti bisa.

Mama menyodorkan sebuah kotak persegi panjang yang tidak terlalu besar kepadaku, diatasnya tertulis "Untuk Widanta Ester."

"Dari tante Ida." Ucap mama perlahan.

Aku menyambut kotak itu ragu-ragu.

"Besok pagi tante Ida minta kamu ikut ke pemakaman." Ucap mama perlahan yang lalu berbalik menuju kamarnya.

Aku pun menutup kembali pintu kamarku. Aku berjalan menuju tempat tidurku, aku pun mendudukkan tubuhku di pinggir tempat tidur milikku sambil memegang kotak yang barusan diberikan mama kepadaku.

Mama sudah pulang dari rumah tante Ida, itu berarti aku terduduk di lantai kamar cukup lama, dari mama pergi hingga mama kembali. Ku pandangi kotak yang berada di tanganku itu, namun aku sangat takut untuk membukanya.

Aku pun berdiri, ku letakkan kotak persegi panjang tersebut di atas lemari bukuku yang ada di kamar, aku pun kembali menuju tempat tidur, ku rebahkan tubuhku di atasnya, aku ingin segera memejamkan mata, aku berharap ini semua hanyalah mimpi, dan akan kembali normal ketika aku membuka mata besok pagi.

Suara adzan subuh berkumandang, sayup terdengar di telinga. Aku terbangun dari tidurku, aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil wuduh untuk menunaikan kewajibanku sebagai umat muslim. Setelah selesai sholat, ku lipat mukenah yang ku pakai dengan posisiku masih terduduk di atas sajadah. Hatiku terasa sangat kosong, ku belokkan pandanganku ke arah atas lemari bukuku, kulihat sebuah kotak persegi panjang yang ku letakkan di sana semalam ternyata benar-benar ada. Aku memejamkan mata mencoba menerimanya.

Matahari mulai menampakan dirinya, aku berjalan menuju kamar mandi untuk menjalani rutinitas pagiku membersihkan diri, ku lihat mama sedang sibuk di dapur membuat sarapan untuk kami sekeluarga dengan pakaian yang sudah rapi.

"Cepet mandi, Dek. Kita ke rumah tante Ida." Titah mama. Aku mengangguk lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di dapur.

Entah bersih atau tidak, saat itu aku mandi asal-asalan, aku tidak tau apakah aku menggunakan sabun, gosok gigi atau hanya sekedar membasahi tubuh, karena fikiranku benar-benar kosong.

Setelah mandi, aku pun bersiap. Aku keluar kamar menuju meja makan untuk memakan sarapanku yang sudah disiapkan mama. Aku memakan masakan mama bukan karena aku lapar, tapi aku harus mengisi perutku agar aku memiliki tenaga untuk ke rumah tante Ida.

Setelah selesai, aku, mama dan papa pergi ke rumah tante Ida. Saat turun dari mobil, kakiku sudah lemas membaca papan ucapan bertuliskan Turut Berduka Cita yang berada di depan pagar rumah tante Ida. Ku baca satu per satu papan bunga yang berisi ucapan yang sama dengan nama seseorang yang aku kenal. Mama menggandeng tanganku berjalan menuju pintu rumah tante Ida dan memasuki rumahnya.

Ku lihat tante Ida duduk di sebelah tubuh seseorang yang terbaring dan ditutupi kain batik panjang. Matanya sembab, aku tau itu pasti karena tante Ida menangis semalaman. Mama menuntunku berjalan mendekati tante Ida dan kemudian memeluknya. Aku duduk tepat di samping wajah jenazah yang di tutup selembar selendang putih transparan. Mataku terpaku menatap jenazah itu dengan fikiran kosong, benar-benar kosong.