Hari itu, sepulang sekolah, sesampainya aku di rumah, aku langsung masuk menuju kamarku. Aku meletakkan tas ranselku di atas meja belajar milikku, lalu ku rebahkan tubuhku yang sangat lelah. Aku ingin beristirahat sejenak sebelum membersihkan diri.
Lagi-lagi ku lirik kotak berbentuk persegi panjang pemberian dari tante Ida yang kuletakkan di atas lemari buku di kamarku. Ingin sekali rasanya aku membuka kotak itu, kotak yang di atasnya tertulis namaku, namun aku masih belum sanggup.
Aku memaksakan diri untuk berdiri dan membersihkan diri, aku harus bersiap untuk pergi ke tempt kursus bahasa inggris, karena hari itu adalah jadwal kursusku.
Setelah ku tuntaskan semua persiapanku, aku keluar rumah, dan ku lihat Mang Amun, becak langgananku dan sepupuku sudah menunggu. Aku naik ke becak tanpa berkata apa-apa, kemudian Mang Amun menjalankan becaknya. Tempat kursusku tidak jauh dari tempat tinggalku, dan jadwal kursusku lumayan mepet dengan jadwal pulang sekolahku, makanya mama meminta Mang Amun untuk mengantar-jemput aku kursus 3 kali dalam seminggu.
Aku termasuk anak yang pendiam di tempt kursus. Jujur saja, sepeninggalan Adit, aku lebih sering termenung, enggan rasanya bercengkrama dengan orang lain yang tidak dekat denganku. 2 jam waktu yang ku habiskan untuk satu kali pertemuan, lalu aku pun pulang dengan diantarkan kembali oleh Mang Amun.
"Assallamuallaikum." Aku mengucapkan salam ketika memasuki rumah, ku lihat motor papa sudah terparkir di dalam pagar, berarti papa dan mama sudah pulang kerja.
"Waalaikumusallam." Jawab papa sedang bersiap untuk pergi.
Papa hendak menjemput kakakku yang juga memiliki jadwal kursus di luar sana sepulang sekolah. Aku dan kakak perempuanku satu-satunya itu memiliki perbedaan usia 4 tahun. Saat aku berada di kelas VII, berarti dia berada di kelas x. Dia lulus di SMA unggulan yang ada di kotaku, kakak perempuanku itu memang pintar, namun menjadi adiknya merupakan bumerang bagiku, kerap kali aku dibanding-bandingkan dengan dirinya, dan itu membuatku selalu tidak percaya diri.
Aku berjalan memasuki kamarku, aku kemudian duduk di kursi belajar milikku, ku ambil lembaran kertas yang diberikan oleh Ibu Sumiati kepadaku, beberapa data diri yang harus diisi oleh orang tuaku sebagai wali kontrak novelku. Aku menoleh ke arah kotak persegi panjang yang masih bertengger di sudut atas lemari bukuku, lalu ku benamkan wajahku di kedua tanganku yang ku lipat di atas meja belajarku sambil menangis.
Matahari pagi mulai menyapaku kembali, aku pun sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ku masukan lembaran kertas yang diberikan oleh Ibu Sumiati yang masih kosong kepadaku untuk ku kembalikan tanpa ku beritahu kepada orang tuaku. Aku sudah memutuskan sesuatu, bahwa aku tidak akan membahas novel maupun kontraknya kepada kedua orang tuaku.
Papa sudah menunggu untuk mengantarkan aku ke sekolah sebelum Beliau dan Mama berangkat bekerja, kakak perempuanku sudah berangkat lebih dulu dengan kendaraan antar-jemput dari pihak sekolahnya. Aku menyantap sarapan yang sudah disiapkan Mama di atas meja makan. Setelahnya, aku berangkat ke sekolah diantarkan papa.
Begitu sampai di sekolah, aku turun dari motor dan mencium punggung tangan Papa sebelum melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah.
"Assallamuallaikum, Om." Sapa Kak Erik tiba-tiba yang ikut mencium punggung tangan Papa.
Papa yang kebingungan tetap mengulurkan tangannya untuk dicium oleh Kak Erik. Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Kak Erik yang seperti tanpa rasa takut sama sekali.
Papa kemudian mulai menjalankan motornya meninggalkan sekolahku.
Aku mulai melangkahkan kaki menuju kelas, diikuti oleh Kak Erik yang berusaha mensejajarkan langkahnya denganku.
"Hai, Ta." Sapa Kak Erik kepadaku.
"Kak Erik ngapain sih?" Tanyaku sedikit merajuk melihat kelakuan Kak Erik di depan Papa tadi.
"Nyapa Papa kamu, emang salah?" Tanya Kak Erik seakan tidak mengerti.
"Terserah Kakak lah." Ucapku enggan berdebat dengannya. Aku terus melangkahkan kaki menuju kelasku mencoba meninggalkan Kak Erik, namun dia tetap saja mengejar langkahku hingga ke kelas, bahkan ikut masuk menuju tempat dudukku.
"Cieeeeeeee." Goda teman-temanku yang sudah duluan hadir di dalam kelas sebelum aku.
Ku tatap tajam Kak Erik yang hanya bisa nyengir menanggapi godaan dari teman-teman sekelasku.
"Keluarlah, Kak, sebentar lagi bel sekolah bunyi." Pintaku kepada Kak Erik.
"Oke.. Oke.. Tapi istirahat nanti aku ke sini lagi ya." Ucapnya tanpa sensor dan tanpa mengecilkan volume suara, dan langsung disambut sorakan kembali dari teman-teman sekelasku.
Aku tidak menjawab Kak Erik sama sekali, aku hanya diam sambil menyiapkan buku pelajaran untuk jam pertama hari ini.
Kak Erik kemudian berjalan keluar kelasku menuju kelasnya.
Hari ini aku kembali mengikuti proses belajar mengajar di kelas, setelah dua minggu kemarin diberikan kelonggaran untuk meninggalkan kelas agar lebih fokus pada pembuatan makalah karya ilmiah yang akan diikutkan dalam perlombaan. Jadwal pelajaran pertama hari ini adalah matematika yang merupakan mata pelajaran favoritku.
Kalian ingin tau mengapa aku memilih matematika sebagai pelajaran favoritku? Karena saat mengerjakan soal-soalnya, otakku dipaksa fokus menyelesaikan soal-soal itu, tidak ada celah otakku untuk memikirkan hal lain, termasuk Adit.
Bel istirahat berbunyi, aku bergegas menuju ruang guru dengan membawa lembaran yang diberikan oleh Ibu Sumiati kepadaku kemarin.
Ketika aku hendak memasuki ruang guru, kebetulan Ibu Sumiati juga hendak memasuki ruang guru setelah tugas mengajarnya selesai.
"Ada apa, Ta?" Tanya Ibu Sumiati melihatku yang hendak memasuki ruang guru.
"Ini Bu, mau menemui Ibu, ada yang ingin dibahas masalah penerbitan novel." Jawabku segan.
"Kita ngobrol di perpustakaan saja ya." Ajak Beliau, yang kemudian kami berdua melangkah menuju perpustakaan.
"Duduk." Titah Beliau kepadaku. Aku pun duduk di kursi yang ditunjuk oleh Beliau.
Aku menyodorkan lembaran kertas kepada Ibu Sumiati yang kemudian disambut bingung oleh Beliau ketika melihat lembaran tersebut masih kosong.
"Bu, ada yang ingin Danta ceritakan ke Ibu mengenai novel tersebut." Aku mencoba bicara jujur kepada Ibu Sumiati. Untuk pertama kalinya aku membicarakan tentang Adit kepada seseorang, bahkan kedua orang tuaku pun tidak pernah sama sekali. Aku pun akhirnya menceritakan semuanya kepada Beliau, dan Beliau terlihat tertegun mendengar ceritaku.
"Oleh karena itu, Bu. Bisakah Danta minta bantuan ibu menjadi wali danta dalam penandatanganan kontraknya? Danta bahagia dan sangat berterima kasih jika novel itu benar-benar di cetak, namun keseluruhan novel itu adalah luka yang ingin Danta lupakan. Danta mohon, nama penulis diubah menjadi nama pena Danta saja, Bu, tidak perlu nama asli. Pintaku lirih sambil menangis di depan Ibu Sumiati.
"Ibu coba bicarakan dengan teman Ibu dulu ya, Ta. Semoga novelnya bisa tetap dicetak dengan Ibu sebagai wali kamu." Tukas Ibu Sumiati mencoba menenangkanku.