Chereads / Mental Health -Aku bukan Aku / Chapter 9 - Botol Minum

Chapter 9 - Botol Minum

Satu minggu sudah berlalu dari hari di mana aku menceritakan semuanya kepada Ibu Sumiati. Sekarang, di jam yang sama dan tempat yang sama seperti minggu lalu, sedang duduk berhadapan dengan orang yang sama.

"Kabar baik untuk kita." Ibu Sumiati tersenyum lembut kepadaku. "Novel kamu tetap bisa dicetak dengan Ibu sebagai wali kamu." Sambungnya.

Aku tersenyum simpul. "Alhamdulillah." Ucap syukurku.

"Tapi prosesnya tidak akan sebentar." Lanjut Ibu Sumiati. "Bisa memakan waktu paling lama enam bulan untuk proses kontrak hingga cetak."

Aku mendengarkan penjelasan Ibu Sumiati dengan seksama.

"Plot cerita sedikit di ubah, tapi tidak akan mengganggu inti ceritanya. Kamu mengizinkan plotnya di ubah?" Tanya Beliau padaku.

"Apapun itu, jika itu baik, Danta tidak keberatan, Bu." Jawabku.

"Ya sudah kalau begitu, semuanya biar ibu yang urus, kamu konsentrasi saja pada ujian semester. Insyaallah semua akan dipermudah." Ucap Beliau dengan penuh kehangatan.

Aku tersenyum. "Terima kasih, Bu." Ucapku.

Satu minggu lagi adalah jadwal ujian semester, dan itu artinya setengah tahun sudah kulewati dengan penuh perjuangan.

Aku keluar dari perpustakaan, sembari melangkahkan kaki menuju kelas, kepalaku celingak-celinguk mencari seseorang yang sudah satu minggu ini menghilang, biasanya ada saja kejadian yang membuat kami bertemu, entah memang tidak disengaja, atau memang disengaja olehnya. Aku mencari Kak Erik yang sudah menghilang dari pandanganku satu minggu lalu.

Aku merasa ada sesuatu yang kurang, namun aku tidak tau apa itu. Aku mencoba menepis perasaan yang ku rasakan saat itu, karena aku harus fokus menghadapi ujian yang sudah di depan mata.

Satu minggu sudah berlalu, hari pertama ujian semester pun tiba, anak-anak kelas X dan XI memiliki jadwal yang sama, namun anak-anak kelas XII diliburkan, karena jadwal ujian mereka baru dimulai setelah jadwal ujian kami selesai.

Seperti bisanya, pikiranku terfokus pada ujian, sebisa mungkin semua pikiran yang mencoba mengusik, ku singkirkan terlebih dahulu.

Akhirnya satu minggu ujian kulewati dengan aman seperti biasa, kini waktunya anak-anak kelas X dan XI diliburkan. Aku menghabiskan waktu liburku yang hanya satu minggu itu di rumah saja, itu adalah waktunya aku bersantai dan menjalankan hobi membacaku.

Aku dan kakak perempuanku yang juga libur sekolah pergi ke toko buku terbesar di kota tempat tinggalku, tentu saja diantar oleh papa. Kami belum diperbolehkan kemana-mana sendiri naik kendaraan umum, mungkin karena kami adalah anak perempuan, jadi papa dan mama lebih waspada. Pdahal, kami berdua pemegang sabuk tekwondo pada saat itu, namun tetap saja, kami adalah anak perempuan yang baru beranjak remaja.

Kami langsung menuju lantai dua tempat di mana novel-nivel berada, kami menuju tumpukan novel yang sedang diskon di sebuh keranjang besar yang berada di sudut ruangan. Aku dan kakakku sibuk sendiri-sendiri mencari novel yang menarik untuk kami baca, kami memastikan bahwa novel yang kami pilih tidak sama, agar kami bisa bertukar novel setelah sama-sama selesai membaca kepunyaan masing-masing.

Aku memilih 3 novel dengan judul dan pengarang yang berbeda, semua novel itu tentang percintaan remaja. Maklum saja, aku hanya remaja biasa sama seperti lainnya yang saat itu sedang belajar untuk mengenal suatu rasa ketertarikan pada lawan jenis.

Kakakku juga ternyata memilih 3 novel yang semuanya tentang percintaan remaja, beruntung, nivel yang kami pilih sejenis. Karena novel-novel itu sedang diskon, kami hanya membayar 5 ribu rupiah untuk satu novelnya. Setelah membayar, kami pun segera pulang ke rumah.

Jika kalian memiliki hobi membaca, kalin pasti tau bagaimana perasaanku saat itu yang ingin segera sampai kerumah dan segera melahap bahan bacaan yang baru saja aku dapatkan itu.

Benar saja, aku dan kakakku yang sama-sama memiliki hobi membaca, melahap satu novel dalam satu hari. Dalam tiga hari, kami saling bertukar novel untuk dibaca, dan hanya dalam satu minggu, enam novel berhasil kami tuntaskan menbacanya.

Mataku sudah seperti mata panda, mata yang kelelahan karena tidak henti-hentinya membaca. Satu hari kami habiskan untuk mengistirahatkan mata sehabis enam hari sebelumnya kami paksakan bekerja.

Aku mengambil ketimun yang tersedia di dalam lemari es, lalu ku iria tipis-tipis untuk ditempelkan di mata pandaku dan kakakku. Itulah cara kami untuk menyegarkan kembalj mata yang lelah setiap kali selesai maraton membaca novel.

Sambil berbaring dengan mata yang dikompres irisan mentimun, kami bertukar pendapat masing-masing tentang novel yang sudah kami baca, kami memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap masing-masing novel, meskipun kami memiliki hobi yang sama.

Hari ini adalah classmeet, di mana murid-murid diwajibkan hadir ke sekolah tanpa adanya proses belajar mengajar sebelum pembagian raport. Seperti biasa, aku diantar papa menuju ke sekolah. Semua murid diwajibkan tetap datang ke sekolah.

Jujur saja, 6 bulan aku berada di kelas X, aku belum memiliki teman dekat, karena memang aku membatasi pergaulanku, sudah aku katakan bahwa sepeninggalnya Adit, aku seperti enggan menjalin hubungan dekat dengan orang lain. Namun tanpa sadar, aku sudah mulai membuka diri kepada Kak Erik.

Aku sengaja berjalan menuju lapngan basket yang sepertinya sedang ramai dikerumuni murid-murid. Ternyata ada pertandingan basket yang sedang berlangsung antar sesama tim basket, three on three. Kak Erik ikut bermain di salah satu tim. Seulas senyum terukir di wajahku saat melihat Kak Erik sedang bermain di lapangan.

Aku membaur bersama murid-murid lain yang aku kenal untuk ikut menonton, mataku terpaku pada gerak-gerik yang dilakukan Kak Erik di lapangan, ikut bersorak saat dia berhasil memasukan bola, meskipun aku tidak mengerti aturan dalam permainan basket. Tiba-tiba Kak Erik menoleh ke arahku, mata kami bertemu, seulas senyum terukir di wajahnya. Spontan saja, murid-murid yang sedang menyaksikan pertandingan basket itu, terutama murid wanita menoleh ke arahku. Mataku melotot lalu kutundukkan kepala, aku rasa wajahku saat itu sudah seperti udang rebus, ku lirik sekitar, tampak beberapa murid wanita yang merupakan kakak kelasku menatap tidak senang ke arahku.

"Ta, tolong pegang." Tiba-tiba saja Kak Erik sudah berada di depanku yang kebetulan duduk di barisan depan. Dia menyodorkan botol minum miliknya untuk aku pegang, akupun menyambar botol minum itu ragu-ragu.

"Cieeeee... wuuuwuuuuu...!" Seru sebagian murid yang sedang menonton, dan sebagian lagi memasang ekspresi tidak suka yang kebanyakan dari mereka adalah wanita.

"Rik!" Panggil teman satu tim Kak Erik mengajaknya kembali bermain. Kak Erik hanya mengangkat tangannya dan mengacungkan jempol untuk menjawab.

"Main lagi ya." Ucapnya padaku yang langsung disambut sorakan lagi oleh teman-teman yang duduk di sebelahku. Aku hanya bisa mengangguk menjawab ucapan Kak Erik.

Setelah kejadian itu, aku dan Kak Erik selalu digoda oleh siapapun di sekolah itu, termasuk guru. Aku baru tau, Kak Erik salah satu murid kesayangan semua guru di sekolahku, kalian tau kan, di setiap sekolah pasti ada murid yang menjadi kesayangan para guru, di sekolahku salah satunya adalah Kak Erik.

Pembagian raport akhirnya tiba, aku dan teman sekelasku sangat deg-degan menunggu pembagin, karena kami semua menunggu di luar kelas, raport diambil oleh orang tua/wali murid.

"Pa." Tegurku kepada Papa saat beliau keluar dari kelas membawa sebuah buku bersampul biru itu.

"Yuk pulang." Senyum papa mengembang.

Papa memang begitu, tidak pernah mempermasalahkan nilai yang kami dapat, jika nilai kecil, papa tidak pernah marah, jika nilai besar, pap juga tidak pernah memberi pujian.

Aku sangat penasaran dengan hasil yang ku dapatkan selama enam bulan mengikuti proses belajar mengajar. Namun aku masih belum membuka buku raport yang sudah diberikan papa padaku.