Chereads / Mental Health -Aku bukan Aku / Chapter 11 - Gagal

Chapter 11 - Gagal

Pagi sudah menyapaku kembali hari itu, aku sudah bersiap untuk pergi ke sekolah bersama papa untuk mengambil raport hasil belajarku semester genap tadi.

"Kenapa mata kamu, dek?" Tanya Papa yang menyadari mataku sembab pagi itu.

"Kurang tidur pa, keasikan baca novel." Kilahku.

aku kemudian naik ke atas motor bagian belakang dengan Papa yang sudah siap berada di posisi kemudi.

"Bismillah." Ucapku dan Papa berbarengan. lalu kemudian, motor mulai dijalankan menuju ke sekolahku.

Hanya 10 menit perjalanan dari rumah menuju sekolahku, karena memang jaraknya tidak jauh. aku turun dari motor dan menunggu Papa memarkirkan motornya. setelah Papa selesai memarkirkan motornya, kami pun melangkah bersama menuju ruang kelasku. sesampainya di kelas, ternyata kelasku dipakai untuk pembagian raport anak kelas IX.

"Labor, Ta." Suara Kak Erik memecah kebingunganku.

"Eh Kak Erik." Sapaku.

"Om, ketemu lagi. Assallamuallaikum." Kak Erik mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangan Papa.

"Waalaikumusallam." Jawab Papa datar.

"Di labor ya kak?" Tanyaku memastikan.

"Iya, tadi ada pengumumannya." Jawab Kak Erik.

"Pa, di labor kata Kak Erik." Ucapku kepada Papa yang dijawab anggukan.

"Kak, makasih ya." Ucapku kepada Kak Erik sembari menarik tangan Papa dan melangkah menuju labor.

Sesampainya di labor, ternyata sudah ramai, para murid menunggu di luar, yang diperbolehkan masuk hanya wali murid. Papa pun masuk sendiri, sementara aku menunggu di luar bersama dengan teman-teman yang lainnya.

Selang beberapa menit, wali kelasku mulai membuka acara pembagian raport kelas, nama-nama murid yang masuk 10 besar mulai dibacakan, dan setiap satu nama disebutkan, wali murid tersebut akan maju kedepan untuk mengambil raportnya.

Lagi-lagi aku kecewa, aku tidak masuk ke dalam tiga besar, aku hanya meraih peringkat ke empat dari tiga puluh dua siswa, aku tertegun di luar.

"Bapak-Ibu, setelah naik ke kelas VIII, akan ada pembagian kelas unggulan dan kelas biasa. Kelas unggulan ada dua, unggulan satu akan diisi oleh murid-murid yang berhasil mendapatkan peringkat satu sampai tiga di kelas VII, dan unggulan dua akan diisi oleh murid-murid yang berhasil mendapatkan peringkat empat sampai enam di kelas VII. Sebelumnya saya mengucapkan selamat bagi wali murid yang anaknya telah berhasil masuk ke kelas unggulan, dan jangan berkecil hati bagi wali murid yang anaknya berada di kelas biasa." Tutur wali kelasku setelah semua nama murid disebutkan.

Para wali murid dan teman-temanku membubarkan diri, aku dan Papa juga bersiap untuk pulang. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa murung, aku merasa sangat bodoh tidak bisa menembus posisi tiga besar di kelas.

Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Papa seperti biasa, entah itu memuji, atau memberikan petuah. Beliau hanya memberikan raport bersampul biru yang bertuliskan namaku itu untuk ku pegang.

Sesampainya di rumah, aku termenung, aku merasa gagal, padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin.

"Pa, Ma. Vinka juara 2 umum!" Seru kakak perempuanku di luar kamar, suaranya terdengar hingga ke telingaku yang saat itu sedang merenungi kegagalan.

Aku memejamkan mata, menahan sakit di dada yang entah mengapa tiba-tiba saja datang. "Pasti dibandingin lagi." Gumamku dalam hati.

Kakak perempuanku itu memang memiliki otak seencer air keran, aku teringat kejadian saat kami masih di sekolah lama dulu, aku saat itu duduk di kelas 4 dan kakakku kelas 1 SMP, Hari itu pembagian raport, ketika sampai di rumah, aku mendapati kakak perempuanku yang bernama Devinka Peony itu menangis tersedu-sedu di dalam kamar kami yang masih milik bersama, kamar di rumah lama kami sebelum pindah alamat.

"Kenapa kak?" Tanyaku peduli.

"Sudahlah, Ka. Otoritas penuh terhadap nilai itu ada di tangan guru, kalau anaknya ada di atas kamu kan wajar." Ucap Papa sedang mencoba menenangkan kakakku.

"Tapi Vinka kesel, Pa. Jelas-jelas nilai ujian Vinka lebih besar dari mereka, tapi kenapa mereka bisa juara." Protes kakakku sambil menangis.

"Kamu kan juga juara, nak. Kalau memang guru itu tidak adil dalam memberikan penilaian, biarkan mereka menanggung dosanya." Nasehat Papa kepada kak Vinka.

Aku meraih raport sekolah milik kak Vinka yang tergeletak di lantai, di tengahnya terselip sebuah piagam penghargaan yang menyebutkan bahwa kak Vinka berhasil meraih juara III umum. Bayangkan saja, dia menangis setelah berhasil meraih juara III umum, sedangkan aku berlari bahagia hanya karena masuk peringkat 5 besar kelas, dan dengan tak sabarnya memperlihatkan hasil raport kepada Papa dan Mama.

Dan kali ini, lagi dan lagi aku gagal masuk 3 besar kelas, sedangkan kak Vinka lagi dan lagi berhasil meraih juara umum, bahkan di SMA unggulan sekalipun.

"Mana dedek?" Suara mama menyebutku terdengar samar di telingaku.

"Di kamar, istirahat." Jawab Papa.

"Gimana nilai raportnya?" Tanya Mama lagi.

"Alhamdulillah bagus, Dedek peringkat 4 kelas." Tutur Papa.

"Alhamdulillah." Mama mengucap syukur.

Aku masih enggan beranjak dari posisiku, aku tetap saja merasa gagal, ku pejamkan mataku hingga terlelap dengan sendirinya.

Saat aku terbangun, ternyata suara adzan maghrib sedang berkumandang.

"Astagfirullah." Aku bangkit segera dari tidurku, aku melewati dua waktu sholat wajib hari itu. Aku tertidur pun masih mengenakan seragam sekolah.

Setelah bangkit, aku bergegas meleps seragamku dan berganti pakaian lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum melaksanakan sholat maghrib.

Besok kebetulan adalah hari sabtu, Papa kebetulan tidak bekerja, karena kantornya menerapkan peraturan 5 hari kerja, sedangkan Mama masih harus bekerja, karena kantornya menerapkan peraturan 6 hari kerja. Selesai melaksanakan sholat maghrib, aku kemudian keluar kamar dan menyalakan televisi sembari menunggu Papa dan Mama keluar kamar, ada yang ingin aku pinta kepada mereka.

Sekitar 10 menit aku menonton televisi sendirian di ruang keluarga, pintu kamar Papa dan Mama terdengar dibuka dari dalam, Papa dan Mama keluar dari kamar, Papa ikut menonton bersamaku, sedangkan Mama menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.

"Pa." Tegurku takut-takut.

"Kenapa?" Tanya Papa lembut.

"Besok bisa temenin Adek ziarah ke makam Adit?" Pintaku.

"Insyaallah, setelah antar Mama kerja, kita langsung kesana." Papa menyanggupi.

Aku mengangguk lalu berdiri menuju dapur untuk membantu Mama.

Malam pun telah berlalu, pagi hari mulai menyapa kembali, aku sudah siap untuk ikut mengantarkan Mama bekerja dan langsung ergi berziarah. Isi dari kotak hitam persegi panjang yang diberikan oleh tante Ida kepadaku sudah berada di dalam tas selempang yang tergantung menyilang di bahuku.

"Habis ziarah mau kemana dek?" Tanya Mama sebelum kami berangkat.

"Pulang, Ma." Jawabku singkat karena hari itu aku tidak memiliki rencana lain.

"Kakak nggak ikut? Mama kerja cuma setengah hari, pulang kerja kita jalan-jalan." Bujuk Mama.

"Boleh, Ma. Kakak ambil tas dulu." Kak Vinka pun berlari menuju kamarnya untuk mengambil tas selempang miliknya.

Setelah kak Vinka kembali keluar, kami pun berjalan menuju parkir mobil yang letaknya agak jauh dari rumah, jalan di perkampungan kami memang kecil, apa lagi menuju rumahku, jalannya hanya cukup untuk satu motor, bahkan 2 motor pun tidak bisa saling berlintasan, sehingga mobil pun harus dititipkan di halaman sebuah Surau atau Langgar yang ada di lingkungan tempat tinggal kami.

Sesampainya di mobil, aku dan kak Vinka duduk di kursi penumpang bagian belakang, Mama duduk di depan dengan Papa sebagai pengemudinya. Perlahan mobil pun mulai dijalankan, seiring berjalannya mobil, hatiku semakin dag dig dug tak karuan, untuk pertama kalinya ku beranikan diri untuk mengunjungi Adit.