Semester keduaku di bangku SMP sudah dimulai, aku kembali bersekolah seperti biasa. Tidak ada kegiatan di luar belajar-mengajar yang ku ikuti, fokus ku hanya pada pelajaran, karena saat pembagian raport, aku tidak puas dengan hasil yang ku dapatkan.
Aku berhasil masuk 5 besar, namun menurutku itu adalah kemerosotan. Mungkin sebagian dari kalian menganggap aku tidak bersyukur atas apa yang ku raih, tapi aku hanya bisa menjawabnya dengan sebuah pertanyaan. Apa kalian tau rasanya selalu dibandingkan dengan saudaramu yang selalu dianggap jauh berada di atasmu dalam segala hal? Jika kalian tidak tau rasanya, cobalah menahan diri untuk tidak berkomentar yang tidak-tidak.
Semester genapku ku habiskan untuk lebih fokus dalam pelajaran, dan tentu saja, kebersamaanku dengan Kak Erik terus berlanjut. Kami tidak pacaran, dia tidak pernah menyatakan perasaannya kepadaku, dan tidak pernah memintaku untuk menjadi pacarnya, aku hanya mulai terbiasa dengan kehadirannya dan gangguannya selama ini di sekolah. Tapi, satu sekolah taunya aku adalah pacarnya kak Erik, entah dari mana rumor itu berasal, yang tentu saja itu tidaklah benar. Tidak hanya murid-murid, guru-guru pun selalu menggoda kami saat bertemu, kapanpun itu, entah saat kami bersama, ataupun aku yang sedang sendiri.
Ujian semester genap telah usai, 5 bulan sudah ku habiskan waktu menjalani proses belajar mengajar. Hari ini, adalah meet class sebelum pembagian raport semester genap.
"Danta, sini." Ibu Sumiati memanggilku yang kebetulan lewat di depan perpustakaan.
Aku mengikuti langkah beliau hingga duduk di sebuah kursi tempat biasa kami sering berdiskusi.
"Iya, Bu." Tanyaku sopan kepada beliau.
Ibu Sumiati menyodorkan sebuah buku bersampul orange kecoklatan sebesar ukuran kertas A5. Jantungku berdegup kencang melihat buku itu, sekalipun aku belum melihatnya. Perlahan kusambut buku itu dari tangan Ibu Sumiati.
'Siapa Cintaku?' Sebuah judul novel terpampang di cover depan sebuah novel yang berlatarkan gambar kartun seorang anak remaja laki-laki berpakaian sekolah putih biru yang sedang berjalan dengan menenteng tas ransel di belakangnya, dan wajahnya menoleh ke samping kanan, hanya sebagian wajah yang terlihat, dan keseluruhan tubuhnya hanya terlihat dari belakang. Di sudut kanan atas novel tersebut ada sebuah cap cetak bertuliskan teenlit yang khas untuk novel-novel remaja, dan di bawahnya bertuliskan sebuah nama yang tentu saja aku kenal, nama itu adalah nama penaku, 'Samanta Radisti'.
Aku terdiam, tanganku gemetar memegang novel itu, itu adalah novel karyaku, namun aku tidak ingin sama sekali membacanya.
"Ini satu copi cetak buat kamu simpan." Ucap Ibu Sumiati dengan lembut.
Aku menggelengkan kepalaku, ku sodorkan kembali novel itu kepada beliau.
"Danta sumbang buat perpustakaan, Bu." Jawabku.
Ibu Sumiati hanya tersenyum, tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulutnya, Beliau mengangguk menerima novel itu kembali dari tanganku.
"Untuk honor menulis kamu, Ta." Beliau membahas honor penulisan.
"Bisa minta tolong lagi, Bu." Ucapku memotong pembicaraannya.
"Apa itu?" Tanya Beliau antusias.
"Semua uang yang menyangkut novel tersebut, tolong disumbangkan kepada Panti Asuhan, atas nama Raden Adit Kurniawan." Suaraku agak bergetar, sungguh saat itu aku menahan tangis.
"Kamu yakin?" Tanya Ibu Sumiati kepadaku untuk meyakinkan.
"Yakin, Bu. Danta mohon." Mungkin saat itu mataku sudah berkaca-kaca, ingin sekali rasanya aku menangis. Hampir satu tahun dari kepergian Adit, namun aku sama sekali belum bisa melupakan kejadian itu.
Hari yang cukup melelahkan untuk diriku hari itu, aku pulang ke rumah, dan merebahkan tubuhku di tempat tidur kecilku yang sangat nyaman setelah membersihkan diri dan melaksanakan sholat, kebetulan hari itu tidak ada jadwalku kursus, jadi aku bisa menghabiskan waktu di rumah hingga besok untuk menerima raport hasil belajar selama satu semester ini.
Ku lihat lagi dan lagi kotak persegi panjang yang ada di atas lemari buku di kamarku, kali ini aku memberanikan diri untuk mengambilnya.
Aku bangun dari posisi rebahanku, lalu ku dekati lemari bukuku, ku ulurkan tanganku untuk meraih kotak persegi panjang berukuran sedang berwarna hitam itu, sepertinya itu kotak sepatu yang dilapisi dengan kertas karton berwarna hitam, bertuliskan namaku di atasnya dengan tinta berwarna perak. Aku tau itu tulisan Adit, kebersamaan kami membuatku mengenal begitu banyak hal tentang dirinya, tidak hanya tulisannya.
Ku raba kotak persegi panjang itu dengan ujung jari-jariku, semua perasaan berkecambuk dalam hatiku. Ku tatap kalender yang tergantung di sebelah lemari buku kamarku, 4 Juni. Benar, hari itu adalah ulang tahun Adit, karena setiap tahun sepulang kerja di tanggal ini, mama selalu membawakan potongan kue ulang tahun dari Tante Ida untuk aku.
Tanganku gemetar, hatiku terasa perih, kuberanikan diri untuk membuka kotak itu. Perlahan ku angkat tutupnya sembari memejamkan mata dan menahan napas.
Ku buka perlahan mataku saat kotak itu sudah terbuka sempurna, ku sampingkan tutupnya dari tanganku, ku tatap nanar isi kotak tersebut. Ponsel kepunyaan Adit yang sempat ditunjukkannya kepadaku di pertemuan terakhir kami, dan beberapa surat dalam amplop berwarna coklat cream yang semuanya belum dibuka dan semuanya ditujukan untukku. Ku ambil ponsel milik Adit dan ku coba untuk menyalakannya, namun tidak bisa, mungkin karena terlalu lama didiamkan, batrenya jadi habis. Aku lalu kemudian pergi ke kamar kakakku untuk meminjam charger ponselnya yang kebetulan mempunyai merk yang sama namun tipe yang berbeda. Untuk sejenak ku biarkan daya ponsel hingga terisi penuh dulu, aku beralih ke surat-surat yang sepertinya ditulis oleh Adit untukku.
Aku mulai membuka surat yang memiliki tanggal yang lebih lama, itu artinya surat itu lebih dulu ditulis dibanding surat lainnya.
"Teruntuk, Widanta Ester, teman kecilku yang cantik. Subuh yang indah di 9 November." Aku membaca kop surat yang ada di tanganku.
Dadaku mulai sesak, baru membaca kopnya saja aku sudah ingin menangis, surat pertama yang ditulisnya tepat di hari ulang tahunku 2 tahun sebelum kepergiannya. Tanganku mulai gemetar, rasanya tidak sanggup aku meneruskan membaca isinya, namun jika tidak, aku sepertinya akah mati penasaran.
Akhirnya satu per satu suratnya ku baca sampai habis, meskipun dadaku terasa teramat sangat sesak untuk membacanya. Menariknya, Adit menulis surat itu selalu setelah dia melaksanakan sholat subuh.
Aku mulai melangkah mendekati ponselnya yang di charger, ku nyalakan ponselnya yang dalam keadaan mati itu, aku tertawa saat melihat wallpapernya bergambar pahlawan super memakai seragam warna-warni yang saat itu menjadi idola anak-anak. Sekilas tidak ada yang aneh dari ponsel itu, mengapa tante Ida memberikan barang semahal itu untukku.
Aku terus mengotak-atik isi ponsel itu, dan berhenti di sebuh aplikasi galery, ku lihat satu per satu isinya, banyak sekali foto-foto diriku saat kami TK dulu, yang difoto ulang menggunakan kamera yang ada di ponselnya ini.
Fotonya lucu-lucu, tapi jujur, itu membuat dadaku bertambah sesak. Foto-foto TK dari semua kegiatan yang dilakukan bersama di TK dulu, saat kami bernyanyi di salah satu radio pemerintah, saat kami menari di salah satu stasiun televisi pemerintah, bahkan foto saat aku menari di acara perpisahan TK kami dulu, semuanya difoto ulang dan disimpannya dalam ponsel itu.
Tubuhku seketika lemas, yang ku fikirkan hari ini hanyalah berbaring, aku ingin istirahat dan memejamkan mata. Ku matikan lagi ponsel itu, ku rapikan lagi surat-surat yang diberikan oleh Adit kepadaku, ku tutup rapat kembali kotak persegi panjang berlapis kertas karton berwarna hitam itu, lalu kembali ku letakkan di sudut atas lemari bukuku.
Aku mulai merebahkan tubuhku yang terasa sangat lelah, dan mencoba untuk memejamkan mata, aku ingin sekali beristirahat.