Aku tidak berniat untuk menangis saat itu, aku tau kesedihanku tidak akan melebihi kesedihan tante Ida sebagai ibunya. Mataku masih terpaku menatap wajah seseorang yang aku kenal itu. Tiba-tiba tante ida bergeser duduk di sampingku. Ditangkupnya kedua pipiku dengan kedua telapak tangannya yang terasa hangat, seulas senyum mengembang diwajahnya, ku tatap wajah tante Ida yang matanya sembab namun masih bisa tersenyum melihatku. Sumpah, aku tidak ingin menangis pada saat itu. Tante Ida mengusap rambutku dari pangkal hingga ke ujung, menatapku dengan penuh perasaan. Aku tidak tau apa yang ada difikiran tante Ida saat itu. Sumpah, aku benar-benar tidak ingin menangis, namun dadaku terasa sesak, aku mulai menarik nafas pendek-pendek karena dadaku terasa dipenuhi oleh sesuatu, air mata yang sudah ku simpan dan ku tahan dari semalam sudah tidak bisa ku bendung dan berakhir tumpah. Tante Ida memelukku dengan lembut sambil menangis, dan tangisku pun akhirnya pecah di dalam pelukan tante Ida.
Hari sudah menjelang siang, jenazah hendak dikebumikan sebelum waktu Zuhur tiba, banyak pelayat yang mengantarkan hingga kepemakaman, termasuk aku, mama dan papa. Sesampainya dipemakaman, aku tidak berani mendekat ke liang lahat tempat Adit akan dimakamkan. Aku hanya berdiri di bawah pohon yang lumayan jauh dari posisi Adit berada, dan hanya sesekali melihat ke sana. Samar ku lihat orang mengais tanah menggunakan cangkul untuk menutup lubang makam. "Oh, Adit sudah di dalam." Fikirku seperti orang bodoh.
Setelah semua prosesi pemakaman selesai, satu per satu pelayat meninggalkan makam. Papa dan mama menghampiriku lalu mengajakku pulang, aku pun ikut dengan suka rela tanpa mendekati Adit yang baru saja dimakamkan.
Hari itu adalah hari pertamaku untuk MOS (Masa Orientasi Siswa) SMPku, pagi-pagi aku sudah siap menggunakan seragam putih-merah dengan segala aksesoris yang sudah diperintahkan untuk dibawa. Aku lulus di sebuah SMP negeri yang merupakan rayon dari SDku kemarin, dan lokasinya tidak jauh dari rumah orang tuaku.
Aku berdiri di depan lemari buku kamarku mengambil buku tulis yang masih kosong dan memasukkan buku itu dan perlengkapan alat tulis ke dalam tas sekolahku. Aku mengangkat kepalaku ke atas, ku lihat kotak persegi panjang pemberian tante Ida masih berada di sana. Dari hari aku menerimanya sampai hari itu, aku belum juga membukanya. Aku masih belum siap, meskipun aku sangat penasaran.
Jujur saja, hari-hariku setelah dari pemakaman Adit terasa sangat kosong, meskipun aku sudah mulai menjalani aktifitas harian seperti bisa. Aku seperti cangkang keong yang cantik namun tak berpenghuni, aku menjalani aktifitas hari-hari hanya sekedar menjalankan sebuah keharusan.
Aku berjalan keluar dari kamarku menuju meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke sekolah baruku. Setelah menyelesaikan sarapanku, aku diantar oleh papa menuju ke SMP n 30 untuk menjalani kegiatan MOS di sana.
Selama kegiatan MOS berlangsung, ada seorang kakak kelas yang selalu membelaku ketika aku akan dikerjai oleh kakak kelasku yang lainnya. Sepeninggalan Adit, aku jadi merasa tidak ingin mengenal siapa-siapa lagi, tidak ingin dekat dengan siapa-siapa lagi, aku menjadi seseorang yang lebih cuek dengan sekitar tanpa ku sadari itu. Aku tau kakak kelas itu selalu membelaku selama MOS, namun aku tidak ingin tau apa alasannya.
Di hari terakhir MOS, semua siswa baru berkumpul untuk mendengarkan pesan dan kesan yang akan di sampaikan oleh guru, ketua osis dan perwakilan siswa baru. Hari itu tepat satu minggu Adit meninggalkan dunia ini, sepanjang hari aku terus termenung. Aku tidak konsentrasi pada kegiatan yang dilakukan, hanya tubuhku yang berada di sana, namun fikiranku melayang entah kemana. Tiba-tiba kakak kelas yang selalu menolongku itu memberikan mic kepadaku. Aku bingung mengapa dia memberiku mic ini. Aku celingak celinguk melihat sekitar, semua mata menatap padaku.
"Apa?" Tanyaku pada kakak kelas yang belum ku ketahui namanya itu dengan isyarat tanpa suara.
"Nyanyi." Dia menempatkan tangannya yang seolah menggenggam mic ke depan mulutnya.
"Ayo coba perkenalkan diri dulu sebelum nyanyi. Sebutkan nama, dan dari kelas berapa?" Terdengar suara perintah dari salah seorang guru yang berdiri di belakangku.
Ingin ku tolak, tapi sudah tidak mungkin, semua mata sudah tertuju padaku dan menungguku untuk buka suara.
"Perkenalkan, aku, Widanta Ester dari kelas X.5." Perkenalan singkatku.
"Ayo mulai bernyanyi." Perintah sang guru kembali.
Aku tidak terfikirkan lagu apa-apa, karena di fikiranku saat itu hanya Adit. Namun aku pun tetap saja menyanyikan lagu yang terlintas di benakku saat memikirkannya.
Don't cry just sweep your pain from your eyes
That make me fall to your heart
Sorry, it's all i can say to your heart
You'll always with me
You are my dream
My sweetest dream
Please babe don't leave me alone
Hold me tight
Close in my arms
I'm with you wherever you are
You'll always be my happy life
This love will last forever
Aku menyanyikan lagu Song For You dari Air Band. Lagu itu menjadi lagu rinduku kepadanya. Hanya dua bait yang sanggup ku nyanyikan, karena tiba-tiba dadaku kembali terasa sesak, aku pun memberikan mic tersebut kepada guru yang berdiri di belakangku.
Gemuruh tepukan tangan dari semua yang ada di sana, sangat ramai, namun aku merasa sendiri. Aku sibuk dengan diriku sendiri yang menahan tangis agar tidak keluar, aku sibuk mengatur nafasku yang sungguh terasa sesak secara tiba-tiba. Tak ku pedulikan rangkaian acara berikutnya hingga waktu pulang tiba.
Aku segera bergegas meninggalkan sekolah menuju rumahku untuk mengistirahatkan tubuhku yang terasa sangat lelah. Sesampainya di rumah, aku langsung membersihkan diri dan mengambil wuduh untuk bersiap melaksanakan sholat maghrib yang akan tiba sebentar lagi. Aku sudah siap dengan mukenah yang kukenakan sambil duduk di atas sajadah menunggu datangnya adzan maghrib. Tak lama aku menunggu, sayup terdengar suara adzan maghrib berkumandang, aku pun melaksanakan kewajibanku sebagai umat islam.
Malam itu, kucurahkan tangisanku di atas lembaran diaryku, sudah satu minggu berlalu namun dia tetap melekat difikiranku.
Senin pertama aku sebagai siswa SMP, kegiatan belajar mengajar di SMP pun mulai aku ikuti. Saat jam istirahat tiba, aku menghabiskan waktu di perpustakaan, hari itu, besok, dan hari-hari berikutnya. Ibu Sumiati yang merupakan guru Bahasa Indonesia kebetulan sedang ada di perpustakaan hari itu, aku pun mendekat dan meminta izin untuk duduk di samping Beliau. Banyak hal yang kami bahas pada saat itu, salah satunya tentang hobi menulisku. Beliau menawarkan diri untuk membimbingku dalam berkarya, aku pun menerimanya dengan senang hati.
"Widanta, di panggil Ibu Sumiati ke kantor." Salah seorang temanku memeberitahuku.
"Oh iya, terima kasih." Aku tersenyum lalu berdiri bergegas menuju ruang guru.
Memasuki ruang guru, aku berjalan menuju meja kerja Ibu Sumiati, dan beliau tampaknya sudah menungguku di sana.
"Permisi, Bu. Ada apa?" Tanyaku sopan.
"Gini, Ta. Kamu suka menulis kan?" Tanya beliau.
"Benar bu." Jawabku singkat.
"Ibu punya kenalan seorang editor, ibu ceritakan tentang kamu, beliau bilang, kalau kamu berminat untuk berkarya, kamu bisa kirim karya kamu ke ibu, biar ibu yang kasih ke beliau. Kalau karya kamu bagus, bisa diajukan untuk diterbitkan." Jelas Ibu Sumiati.
"Contoh karyanya apa, bu?" Tanyaku lagi.
"Kamu bisa menulis novel, ibu akan membimbing kamu langsung selama proses menulisnya hingga selesai, setelah itu akan ibu berikan kepada teman ibu itu." Dukung Ibu Sumiati mencoba meyakinkanku.
Awalnya aku merasa ragu, namun akhirnya aku menyanggupinya.
Setelahnya, setiap jam istirahat, dan jam pulang sekolah menjadi agendaku bimbingan dengan Ibu Sumiati untuk menulis novel. Proses menulis novel tersebut tidak sebentar, memakan waktu yang cukup lama, hingga kurang lebih 6 bulan, sampai akhirnya novel tersebut selesai, dan Ibu sumiati menyimpan draft novel tersebut untuk diberikan kepada temannya.
Hari-hari berikutnya ku habiskan dengan menyibukkan diri, aku mendaftarkan diri di berbagai kursus mulai dari mipa hingga bahasa asing, disekolah aku sibuk dengan berbagai kegiatan tentang karya ilmiah.
Hari itu aku sedang sibuk menyiapkan karya ilmiah yang akan diikutkan di sebuh perlombaan tingkat provinsi, aku mondar mandir menemui Ibu Sumiati yang sedang berada di kelas lain, jam belajarku diberi kelonggaran selama perlombaan itu berlangsung. Aku menuju ke kelas XI dan melewati lapangan basket. Ternyata ada anak-anak kelas XII sedang olahraga, tiba-tiba seseorang menghalangi langkahku.
"Widanta." Tegurnya.
Aku menatap laki-laki yang mengenakan seragam olah raga sekolah itu dengan bingung. Aku mencoba mengingat siapa laki-laki itu, dan ternyata dia adalah kakak kelas yang selalu membelaku selama MOS berlangsung waktu itu.
"Eh, iya kak?" Jawabku gugup.
"Cieeeee, Erik!" Teriak kakak kelas yang lain yang sedang berada di lapangan basket.
"Oh, namanya Erik." Batinku.
"Mau kemana?" Tanyanya.
"Mau nemuin Ibu Sumiati, kak. Di kelas XI.1." Jawabku.
"Lomba karya ilmiah ya?" Tanyanya lagi.
"Iya kak, sudah deadline." Ucapku.
"Yuk, aku temenin." Usulnya sambil mulai melangkahkan kaki menuju kelas XI.1.
Aku ingin menolak, namun aku merasa tidak enak, akhirnya kami menuju kelas XI.1 dengan berjalan berdampingan. Teman-temannya menggoda kami tanpa henti.
Sampailah kami di kelas XI.1, aku masuk sendiri menghadap Ibu Sumiati. Setelah selesai, aku pun keluar. Aku kaget mendapati kak Erik yang masih berdiri di depan kelas menungguku.
"Sudah?" Tanyanya.
Aku mengangguk.
"Habis ini mau kemana?" Dia bertanya lagi.
"Ke lab komputer kak, ada yang harus di ubah." Jawabku jujur.
"Sampai kapan di lab komputer?" Tanyanya lagi.
"Sampai selesai." Jawabku singkat namun tetap sopan. Aku memulai langkah kaki menuju lab komputer yang harus melewati lapangan basket lagi. Kak Erik mengejar langkah kakiku dan ikut berjalan di sampingku. Namun dia berhenti di lapangan basket, dan aku meneruskan langkah menuju lab komputer.
Aku duduk di salah satu komputer yang sudah disiapkan oleh Pak Andi, guru komputer, untuk ku pakai selama pembuatan makalah karya ilmiah. Aku mulai mengerjakan tugasku dengan penuh konsentrasi.
Bel tanda istirahat berbunyi, namun aku masih tetap berada di tempat untuk menyelesaikan makalah tersebut. Bukan karena aku tidak lapar, namun karena hanya dengan menyibukkan diri seperti ini, aku bisa mengalihkan fikiranku dari seorang Adit. Ya, 6 bulan sudah berlalu, namun aku masih belum bisa menghapusnya dari ingatanku. Apa lagi tentang pertemuan terakhir kami di rumah sakit pada saat itu.