Aku duduk sendiri di kantin sekolah, sambil mengunyah sebuah bakwan. Ini bukan jam istirahat, aku mampir sebentar ke kantin untuk sekedar mengisi perut setelah menyelesaikan makalah karya ilmiahku dan hendak memberikannya kepada Ibu Sumiati.
"Laper, Ta?" Tanya ibu kantin melihatku makan dengan lahap.
"Hehe, lumayan Bu." Jawabku sambil tersenyum.
"Ini lolipopnya, hari ini bayar bakwannya aja, lolipopnya gratis, hadiah dari ibu." ibu kantin menyodorkan 3 permen lolipop susu kesukaanku, setiap hari aku selalu mampir ke kantin untuk membeli 3 batang permen lolipop susu yang terkenal dan disukai oleh anak-anak.
"Ma ka sih, Bu." Dengan cepat aku menyambar lolipop tersebut. Bicaraku agak tidak jelas karena sedang mengunyah bakwan. Ibu kantin tertawa melihatku seperti itu.
"Kalau gitu bakwannya biar Erik yang bayar, Bu." Tiba-tiba suara Kak Erik terdengar. Aku pun spontan menoleh ke arah pintu kantin.
"Huk.. huk.. huk..!" Aku tersedak bakwan yang ku makan. Ku pukul-pukul dadaku agar bakwannya turun.
Kak Erik panik dan langsung mendekatiku, Ibu kantin juga terlihat panik, langsung disodorkannya segelas air putih untuk ku minum. Kak Erik langsung meraih gelas yang disodorkan oleh Ibu Kantin, lalu didekatkannya ke mulutku, aku meminum air itu dari gelas yang masih dipegang oleh Kak Erik.
Setelah sedakan bakwan itu hilang, aku menghembuskan nafas panjang, begitu pula Kak Erik dan Ibu Kantin. Wajahku memerah malu, bisa-bisanya aku tersedak saat makan bakwan. Tiba-tiba Kak Erik mengulurkan tangannya untuk menyentuh pucuk kepalaku dan mengacak rambutku, dia tersenyum sambil melakukannya. Aku kaget mendapat perlakuan seperti itu dari Kak Erik, aku pun terdiam. Ada rasa tenang dan nyaman saat Kak Erik melakukan itu.
"Ehem.. ehemm.." Goda Ibu kantin pada kami.
"Eh iya, makalah." Aku tiba-tiba panik sendiri, berdiri, mengambil makalah yang ku taruh di atas meja, lalu berjalan keluar kantin. Kak Erik dan Ibu kantin hanya bengong melihatku.
Setelah keluar dari kantin, aku teringat bahwa aku belum membayar bakwan yang membuatku tersedak tadi. Aku berbalik dan kembali ke kantin.
"Ibu, bakwannya berapa?" Tanyaku sambil merogoh saku seragamku untuk mengambil uang dan mendekat ke etalase dagangan ibu kantin. Namun ibu kantin hanya diam sambil memperhatikan aku.
Kak Erik kemudian berdiri di sampingku, dia menarik lengan bajuku dan menggeretku perlahan menuju bangku panjang yang ada di kantin, aku pun menurut dan duduk. Kak Erik duduk di sampingku dengan melangkahi bangku panjang itu menghadapku.
"Kenapa sih, Ta?" Tanyanya perlahan.
"Nggak apa-apa kak." Jawabku.
"Kenapa panik gitu? Ada masalah?" Tanyanya lagi.
"Nggak ada kak." Jawabku lagi dengan singkat.
Untuk pertama kalinya aku mendapat perlakuan seperti tadi oleh laki-laki, dan aku merasakan nyaman kepada laki-laki selain Adit. Adit yang sudah menjanjikan aku sebagai yang pertama dan terakhir baginya, dan aku semudah itu meresa nyaman kepada orang lain. Aku merasa bersalah.
Aku masih enggan untuk dekat dengan orang lain, masih belum kering tanah makam yang menimbun Adit, jujur saja aku tidak tau perasaan apa sebenarnya yang aku miliki terhadap Adit, namun yang pasti, Adit masih terlukis nyata di fikiranku dan di hidupku.
Mataku mulai memerah hendak menangis, namun sebisa mungkin aku menahannya. Entah apa yang akan difikirkan oleh Kak Erik jika aku tiba-tiba menangis.
Aku berdiri sambil memegang makalah yang akan aku berikan kepada Ibu Sumiati, beliau menyutuhku menemuinya di perpustakaan saat jam istirahat, itu sebabnya aku menyempatkan diri ke kantin untuk bembeli makanan setelah menyelesaikan makalah tersebut.
"Mau kemana?" Tanya Kak Erik.
"Perpustakaan kak, sebentar lagi jam istirahat." Jawabku.
"Oke, bareng." Kak Erik ikut berdiri yang ku jawab dengan anggukan.
"Bu, bakwannya tadi berapa?" Tanyaku kepada Ibu kantin.
"Sudah dibayar Erik." Jawab Ibu kantin sambil mengoyangkan dagunya ke arah Kak Erik.
"Ya sudah, terima kasih ya bu, terima kasih kak." Ucapku bergantian kepada Ibu kantin dan Kak Erik.
Aku pun berjalan menuju perpustakaan bersama Kak Erik. Sesampainya diperpustakaan, aku memilih duduk di meja panjang yang berada di tengah perpustakaan, tempat biasa aku dan Ibu Sumiati mengobrol, Kak Erik ikut duduk di sampingku. Sebenarnya aku bingung mengapa Kak Erik mengikutiku ke perpustakaan, padahal dia sama sekali tidak berkepentingan.
Bel sekolah berbunyi, tanda jam istirahat datang. Terdengar suara langkah tongkak sepatu beradu dengan papan lantai. Ya, sekolahku adalah sekolah panggung yang berlantaikan papan, ruang-ruang kelas melingkari sebuah kolam besar yang berada di tengah. Kelas unggulan berada terpisah dari bangunan utama, mungkin karena isinya anak-anak pintar, jadi harus dipisahkan. Untuk anak kelas X belum bisa dikategorikan unggulan dan tidak, karena pembagian kelas unggulan dimulai dari kelas XI.
Ibu Sumiati tiba di perpustakaan, dan langsung menghampiriku dan Kak Erik.
Dengan senyumnya yang khas, Ibu Sumiati menyapaku. "Hai, maaf Ibu terlambat." Ucap beliau menghampiriku.
"Nggak apa-apa bu." Jawabku.
"Gimana, Ta?" Tanyanya.
"Ini bu, silahkan diperiksa lagi." Aku menyodorkan makalah yang akan diikutkan lomba tersebut.
Ibu Sumiati menyambut makalah tersebut, lalu dibacanya lembar per lembar makalah itu hingga selesai.
"Ini sudah sangat bagus untuk anak seusia kamu." Puji Ibu Sumiati kepadaku.
"Alhamdulillah. Terima kasih bu." Ucapku.
"Cieee.." Goda Kak Erik kemudian.
Aku menileh ke arah Kak Erik dan ke arah Ibu Sumiati bergantian, takut-takut Ibu Sumiati akan marah karena Kak Erik ikut.
"Ngapain kamu ikut kesini, Rik?" Tanya Ibu Sumiati kepada Kak Erik.
"Ngawal Tuan Putri dong, Bu." Jawabnya santai.
Detak jantungku mengencang. "Mengapa Kak Erik berani sekali bicara sesantai itu kepada guru?" Tanyaku dalam hati.
Namun dugaanku salah, Ibu Sumiati tidak marah kepada Kak Erik, malah Ibu Sumiati dan Kak Erik larut dalam obrolan seru mereka yang aku tidak mengerti.
"Oh iya, Ta." Ucap Ibu Sumiati.
"Kenapa, Bu?" Tanyaku menyimak.
"Ada kabar bagus buat kamu." Ibu Sumiati tersenyum lebar. "Novel kamu yang diajukan, sudah disetujui untuk dicetak, tapi ada beberapa bagian yang harus di ubah. Kamu tidak perlu turun tangan, cukup nanti kamu buat biodata kamu untuk ditulis di sampul novel sebagai penulisnya." Tukas Ibu Sumiati riang.
Mendengar hal itu dadaku terasa sesak. Novel itu adalah sebuah curahan dariku untuk menggambarkan seorang Adit. Novel yang berisikan tentang pencarian jati diri seorang anak yang beranjak remaja di mana Adit yang menjadi tokoh utamanya. Ku taruh satu tanganku di dada, ku remat dadaku yang terasa nyeri diam-diam agar Ibu Sumiati dan Kak Erik tidak melihat.
"Waw, novel bu?" Ucap Kak Erik takjub.
"Iya, novel teenlit, Widanta penulisnya, Ibu hanya membimbingnya dalam penulisan." Terang Ibu Sumiati dengan antusias.
"Tentang apa, Bu?" Tanya Kak Erik lagi penasaran. Namun sebelum Ibu Sumiati menjawabnya, aku lebih dulu memotong pembicaraan.
"Ibu, bisa minta tolong?" Tanyaku ragu.
"Minta tolong apa?" Tanya Ibu Sumiati dengan lembut.
"Bisakah biodataku tidak perlu ditulis? Dan nama penulisnya bisa tolong diubah menjadi nama penaku." Pintaku.
"Mengapa?" Tanya Ibu Sumiati penasaran. Kak Erik pun menunggu aku menjelaskan alasannya.
"Hanya tidak ingin saja nama dan biodataku ditulis, Bu. Akan lebih baik nama penaku saja yang tertera di novelnya." Aku berusaha menyembunyikan alasan yang sebenarnya.
"Baiklah." Ibu Sumiati mengiyakan. Beliau mengeluarkan lembaran kertas dari dalam map yang dipegangnya, dan disodorkannya kepadaku. "Ini lembaran yang harus kamu dan orang tuamu isi. Berhubung kamu masih di bawah umur, jadi semua kontrak yang bersifat mengikat harus sepengetahuan wali." Jelas Ibu Sumiati. Aku pun mengangguk dan mengambil lembaran kertas tersebut.