Chereads / Seven Stars of Pleiades / Chapter 3 - Chapter 1: Terpanggil hanya untuk Menderita Sekali lagi? Bagian 2

Chapter 3 - Chapter 1: Terpanggil hanya untuk Menderita Sekali lagi? Bagian 2

"Pffftt! Hahahaha!" tawa semua orang pecah, kecuali Siska, Sirius dan Nayla.

"Kalian dengar itu bukan? Pria ini bahkan lebih lemah dari bayi! Oeee! Oeee! Hahaha!" ledek Fredrik menirukan suara bayi.

"Mulai sekarang, mungkin kita harus memanggilnya WiYi,"

"Apa tuh?"

"Wira sang Bayi! Hahahaha!"

"Lelucon yang bagus kawan!"

Tawa semua orang semakin meledak saat mendengar percakapan Fredrik dan teman-temannya. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku karena malu sekaligus kesal.

PLAK!

Suara tamparan terdengar, membuat semua yang ada disana terdiam seketika. Aku melihat sumber suara tersebut, Nayla menampar pipi Fredrik cukup kencang hingga membuatnya memerah. Fredrik pun akhirnya menatapnya dengan kesal sebelum ingin menampar Nayla balik, tetapi masih ditahan karena ingin mendengar penjelasan gadis tersebut.

"Hentikan semua perbuatan yang kamu lakukan pada Wira dan minta maaflah!" teriak Nayla.

"Huh? Minta maaf? Diriku yang agung ini harus minta maaf pada yang lebih lemah dari bayi?" balas Fredrik.

"Fredrik! Minta maaflah padanya sekarang! Hanya karena dirimu lebih kuat darinya, bukan berarti kau bisa terus merundung dirinya!" bentak Sirius.

"Hah? Apa kau memerintahku? Bukankah kenyataannya begitu? Tu-an Pah-la-wan," balas Fredrik dengan menyeringai.

"Tentang itu.."

Sirius terdiam karena kehabisan kata-kata. Yah, mau bagaimana lagi, memang sudah takdirku menjadi yang terlemah, bahkan meskipun kami semua pindah dunia. Aku melihat Nayla, Siska dan Sirius mengepalkan tangan mereka. Sungguh, mereka benar-benar orang-orang yang baik karena merepotkan diri dengan orang menyedihkan sepertiku.

"Tenangkan diri kalian, kita bisa membicarakan semuanya dengan baik-baik," ujar Raja Julius menenangkan semua orang.

"Nona Yulia, silahkan lanjutkan," lanjut Beliau kepada gadis pendeta yang masih memegang gulungan statusku.

"Baik, Yang Mulia. Menurut peraturan yang tertulis, orang seperti dirinya akan diasingkan ke tempat dimana semua penyintas yang pernah dipanggil dengan status seperti dirinya," ujar Yulia.

Diasingkan, kah? Yah, lagipula aku tidak yakin bisa membantu banyak mereka dalam hal perang. Jadi mungkin ini adalah jalan terbaik bagiku.

"Kalau begitu, asingkan aku bersama dengan Wira!" pinta Nayla yang membuatku tanpa sadar memanggil namanya lirih.

"Maafkan saya, Nona Nayla. Tetapi kami tidak bisa kehilangan seorang Saint seperti dirimu," jelas Raja Julius.

"Tapi! Untuk apa aku disini tanpa diri--"

"Sudah cukup, Nayla! Aku tidak apa kok, jika memang harus diasingkan dari tempat ini. Lagipula, kamu harus membantu Sirius menjalankan tugasnya sebagai Pahlawan bukan?" potongku dengan tersenyum.

"Wira, apa kamu yakin dengan ini? Bukankah akan lebih baik kamu disini bersama kami? Aku bisa menjamin keamanan dirimu," tawar Sirius.

"Terimakasih atas tawarannya, Sirius. Tapi jika aku bersama kalian, nantinya aku akan menjadi beban," jawabku.

"Bukankah kau memang beban sejak lahir?" ujar Fredrik.

"Cukup, Fredrik!"

"Apa? Ingin menghukumku dengan keadilan milikmu itu? Kita sudah tidak berada disana lagi, untuk apa aku takut dengan tatapanmu itu?"

Fredrik dan Sirius saling bertatapan dengan pandangan kesal. Sepertinya dugaan kalau Sirius memang memiliki bukti itu benar. Fredrik tidak terlalu sering mencari masalah dengan Sirius di dunia lama itu, tetapi dia sekarang mulai memberanikan dirinya.

"Kalau begitu, berdirilah disana. Karena saya butuh waktu untuk menyiapkan ritualnya!" perintah Yulia.

Aku pun mulai mengikuti arahan dari Yulia dengan berdiri di tengah sebuah lingkaran sihir besar yang muncul seketika disana. Yulia mulai melantunkan sebuah melodi yang aku tidak tahu artinya, tapi dapat dipastikan kalau lantunan itu adalah aktivasi untuk sihir miliknya.

"Apa ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan?" tanya Yulia selepas menyelesaikan lantunannya.

"Ah, itu benar. Aku akan dikirim ke tempat yang aman bukan? Jika boleh tahu, apa nama desa disana?" balasku bertanya.

"Hah? Desa? Tidak ada desa disana,"

"Eh? Tunggu, bukankah aku akan diasingkan ke tempat dimana para penyintas lain berada? Jadi aku benar kalau itu sebuah desa bukan?"

"Sepertinya kamu salah mengartikan maksud dari kata diasingkan ini yah? Memang benar kamu akan dikirim ke tempat dimana para penyintas lemah berada. Tetapi itu bukanlah sebuah desa,"

"Lalu, kemana aku akan dikirim?"

"Salah satu dari labirin paling berbahaya, disana lah tempat yang pantas untukmu yang hanya bisa menunggu kematian datang!"

Apa-apaan itu? Labirin paling berbahaya? Mereka benar-benar ingin membuatku menderita? Padahal kalianlah yang memanggilku kemari, tapi kalian jugalah yang ingin membuangku kesana?

"Tunggu! Ini sama sekali tidak sesuai dengan perkataan dirimu tadi?!"

"Tuan Sirius! Ini sudah menjadi peraturan bagi para penyintas yang dipanggil kesini!"

"Tapi, Yang Mulia?!"

Sirius dan Raja Julius berdebat satu sama lain, beberapa orang yang berasal dari kelasku juga mencoba berontak untuk menyelamatkanku, sedangkan sisanya? Mereka hanya bisa diam tanpa melakukan apapun.

"Tidak!! Wira!! Lepaskan aku, biarkan aku ikut dengannya!"

"Maafkan kami, Saint Nayla. Tapi ini sudah menjadi takdirnya," ujar salah satu ksatria yang mencoba menahannya.

Begitu yah? Karena aku ditakdirkan lemah, maka aku tidak dibutuhkan? Kenapa takdirku selalu sial seperti ini? Tidak bisakah kalian memberikanku sebuah kebahagiaan, WAHAI TAKDIR SIALAN!!!

"Hahahaha! Begitu yah? Kalian benar-benar menjebak diriku, karena memang sudah berniat untuk membuangku yah?! Hahahaha," tawaku.

Tetapi tawa ini bukanlah sebuah tawa kebahagian. Melainkan sebuah tawa dengan penuh keputusasaan. Cahaya dari lingkaran sihir perlahan mulai semakin terang, dapat dipastikan kalau aku akan segera dikirim ke tempat kematian tersebut.

Sampai segitunya kalian ingin membuatku menderita? Sebenci itukah kalian terhadap orang lemah? Jika iya, maka akan aku katakan satu hal kepada kalian sebelum aku pergi.

"Keparat! Kalian semua akan menerima pembalasan dendamku ini! Akan aku pastikan kalian semua menderita!!" teriakku penuh dengan kekesalan.

Cahayanya semakin menyilaukan, membuatku harus menutup mataku agar tidak buta. Kemudian, tanpa aku sadari, aku sudah berada ditempat lain. Dimana hanya ada sebuah lorong panjang yang terbuat dari batu dan obor sebagai penerangannya.

"Sial! Aku pasti akan menghancurkan kerajaan mereka!" umpatku.

Tetapi, untuk melakukannya, aku harus menjadi kuat. Bagaimana caraku menjadi kuat, jika statusku saja lebih rendah dari seorang bayi? Semakin aku memikirkannya, malah membuat kepalaku pusing.

"Lebih baik aku mencari jalan keluar dari si.. ni?" ujarku yang secara tak sadar menginjak sesuatu.

SYUU! JLEB!

Aku mengerang keras tepat setelah sebuah anak panah menancap di lengan kiriku. Bukan hanya itu saja, jika aku tidak menarik mundur tubuhku setelah jebakannya aktif, dapat dipastikan anak panah lain menancap di bagian tubuhku yang lain.

"Sial! Seburuk apa nasibku sampai merasakan hal seperti ini?!" gumamku mencoba mencabut anak panah yang menancap di lengan kiriku tersebut.

Menyakitkan, bahkan darah segera mengalir cukup deras karena itu menancap cukup dalam. Aku mengambil sapu tangan yang selalu kubawa di saku celana bagian kanan dan mengikatnya untuk menghambat aliran darah tersebut.

"Status!"

Status

Name: Wira Hardianto

Race: Manusia

Level: 1

Title: Orang yang Terpanggil, Yang Terlemah, Pemimpi Dunia Lain, Reinkarnasi, Orang yang Terbuang, Penantang Labirin.

Job: Freelancer

HP: 30/100

MP: 100

STR: 10

INT: 10

AGI: 10

VIT: 10

Skill: Unknown

Ultimate Skill: -

Sekali serang saja, dapat dipastikan aku akan mati. Mereka bahkan menambahkan Title baru yaitu "Orang yang Terbuang" dan "Penantang Labirin" padaku. Aku sendiri bahkan tidak punya niat untuk datang kesini sialan!

"Aku harap, aku tidak akan bertemu dengan monster yang tengah kelaparan saat ini," gumamku.

Namun sayangnya, itu sangat mustahil. Alasan aku dikirim kesini ialah, untuk mendapatkan kematian. Tentu saja setelah mendengar erangan kencang dan juga bau darah yang menyebar akan membuat para monster mengejarku. Tetapi, aku tidak pernah berpikir, kalau yang akan mengejarku merupakan seekor mahluk berlendir menjijikan dengan air liur yang menetes ke tanah.

"Hahaha," tawaku sebelum menguatkan kaki untuk melarikan diri dari incaran monster tersebut.

"Sialan! Kenapa dengan nasibku ini! Sesial itukah aku sampai mendapatkan kemalangan beruntun ini!?" teriakku kencang.

Kesanku terhadap mahluk tadi bukanlah ketakutan, tapi sebuah perasaan menjijikan saat melihat mahluk tersebut. Inilah kenapa aku masih bisa berlari dengan kencang dan untungnya, dia mengejarku dengan cukup lambat, atau itulah yang aku pikirkan.

"Makanan? Harus disiksa,"

"Yang benar saja! Dia bahkan bisa bicara?!"

"Kejar, siksa, lalu makan!"

"Apa kau seorang Yandere? Jika kau perempuan, aku pasti akan menyerahkan diri. Tapi kau adalah seekor monster!"

Aku terus berlari tanpa henti dari kejaran mahluk tersebut. Untungnya, tidak ada jebakan yang terpicu olehku. Tapi hal ini tidak bisa terus-terusan terjadi padaku.

"Sial! Kanan kah? Atau mungkin kiri?" tanyaku saat melihat percabangan jalan disaat masih berlari.

"Yang mana pun tidak masalah! Asalkan aku bisa selamat dari mahluk ini," ujarku berbelok kearah kanan.

Tapi setelah aku kearah kanan, sekali lagi aku tanpa sadar menginjak sesuatu yang memicu jebakan. Kali ini sebuah lingkaran sihir dengan warna yang sama saat aku dikirim kesini.

"Ah, aku sudah tidak peduli lagi. Setidaknya aku bisa mati oleh hal lain dan bukan oleh mahluk menjijikan itu," ucapku pasrah.

Ketika aku mengira akan mati setelah ini, secara mendadak aku sudah terlempar ketempat lain dimana lantainya penuh dengan kubangan air. Aku terjatuh dari ketinggian 3 meter dan membuatku basah kuyup karena tinggi airnya hampir mencapai pinggangku.

Aku terbatuk-batuk karena air itu masuk ke hidung, belum lagi rasa perih yang sangat kuat kurasakan saat air tersebut mengenai luka yang ku terima dari anak panah sebelumnya. Meskipun sudah tidak mengalir lagi darahnya, tapi tetap saja sangat perih rasanya ketika air mengenai luka tersebut secara mendadak.

"Ugh, dimana aku berada sekarang?" tanyaku bingung.

"Oh? Seorang pengunjung? Jarang sekali daku mendapatkan pengunjung," ujar suara yang aku tidak ketahui asalnya.

"Tenanglah, daku tidak akan menyerang dirimu. Jadi berhentilah bersikap waspada seperti itu," lanjutnya.

"Siapa kau? Dimana kau berada?"

"Jahat sekali mengabaikan daku yang seindah ini. Seharusnya dirimu bisa mengetahui kalau tidak ada siapapun disini kecuali dirimu dan daku bukan?"

"Apa yang ada di hadapanku saat ini hanyalah sebuah pedang, tidak ada orang lain selain aku saat ini. Jika kau tidak menunjukkan dirimu, aku akan pergi keluar dari tempat ini!"

"Ya ampun, apa seburuk itukah tampilan daku saat ini? Padahal dirimu telah melihat wujud daku yang indah dan elegan ini. Tapi kenapa kamu mengabaikannya?"

Aku pun mencoba berjalan secara hati-hati ke depan, untuk memastikan kalau aku sama sekali tidak gila, ketika mendengar pedang yang bisa bicara.

"Apa pedang sepertimu memang benar-benar bisa bicara?" tanyaku penasaran.

"Hmm? Jadi kamu mengira dirimu gila karena berbicara dengan sebuah pedang? Tenanglah, dirimu masih waras kok! Lagipula daku adalah peralatan dengan tingkat Phantasm, Pleiades!" jawabnya.

"Pleiades? Konstelasi yang terkadang terlihat seperti 6 bintang dan terkadang 7 bintang?" balasku mengingat sesuatu tentang nama itu.

Kalau tidak salah, Pleiades adalah salah satu gugus bintang yang berada di rasi bintang Taurus. Mereka lebih sering dipanggil Seven Sisters karena memiliki tujuh bintang didalam gugus tersebut. Bukan hanya itu saja, tapi dalam Mitologi Yunani, Pleiades diubah menjadi tujuh bintang oleh Zeus untuk menyelamatkannya dari kejaran Orion.

"Baiklah, sepertinya dirimu tidak berasal dari dunia ini yah?" ungkap Pleiades.

"Bagaimana caramu mengetahuinya?" tanyaku terkejut.

"Appraise, itu adalah skill yang berguna untuk memeriksa informasi di dunia ini. Kalau tidak salah dalam arti dunia manusia, itu adalah penilaian bukan?" jawabnya santai.

"Tetapi, aku tidak mengerti kenapa dirimu yang berharga ini dibuang mereka?" lirihnya pelan.

"Apa kau mengatakan sesuatu," ujarku berpura-pura tidak mendengarnya.

"Tidak, lupakan saja. Aku tidak bisa memberitahukannya padamu dengan pasti, tetapi pemilik daku sebelumnya adalah seorang yang memiliki Job yang sama dengan dirimu," jelasnya.

"Jadi, kenapa kau mengajakku bicara?"

"Daku sudah berada disini selama lebih dari ribuan tahun, sudah sewajarnya daku senang saat kedatangan pengunjung bukan?"

"Jadi intinya, kau hanya butuh teman bicara?"

"Begitulah," jawabnya singkat.

Aku menghela nafas, tetapi tak lama setelah itu, kepalaku terasa pusing dan membuatku kehilangan keseimbangan hingga membuatku berlutut agar tidak terjatuh.

"HP dirimu perlahan mulai berkurang yah? Minumlah air disini, itu akan mengembalikan HP milikmu yang hilang. Meski daku tidak yakin bisa menyembuhkan luka berlubang di lenganmu itu," saran Pleiades.

Mendengar saran tersebut, tanpa ragu aku segera meminum air tersebut. Jika itu bisa membuatku tetap hidup, aku sama sekali tidak masalah meskipun memakan bangkai sekalipun. Lalu setelah aku meminumnya, rasanya cukup segar dan manis. Perlahan-lahan, pusing kepala yang aku rasakan mulai menghilang, serta darah yang mengalir pada lengan kiriku juga mulai berhenti.

"Bagaimana rasanya air nectar milikku?"

"Manis dan menyegarkan. Eh, tunggu, tadi kau bilang apa?"

Mendengar pertanyaan tersebut, aku ingin memuntahkannya kembali air yang aku minum sebelumnya. Tetapi malah mendapat balasan tertawa darinya.

"Hahaha, tenanglah pengunjung, itu hanyalah lelucon belaka!"

"Bagaimana aku bisa tenang setelah mendengar lelucon absurd seperti itu!" keluhku.

Sialan! Hampir saja aku mengira kalau pedang di hadapanku ini adalah seorang gadis saat dia mengatakannya.

"Abaikan lelucon absurd tadi. Sekarang, bisakah dirimu menceritakan alasan kenapa dirimu dibuang ke tempat ini?" tanyanya dengan nada serius.

"Aku mengerti. Aku akan menceritakan semuanya padamu sebagai rasa terimakasih atas air yang telah menyembuhkan diriku," balasku yang mulai menceritakan segalanya pada Pleiades dan dia pun mendengarkan cerita itu dengan baik.