Chereads / Berandal SMA inlove / Chapter 40 - Mimpi Buruk

Chapter 40 - Mimpi Buruk

Selamat Membaca

''Mari kita putus!'' Pernyataan itu terlontarkan dengan begitu saja. Tidak ada tanggapan apapun saat pernyataaan itu mampu membuat sosok gadis cantik terdiam. Tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, bahkan berpikir bahwa kini si gadis sedang merasakan mimpi, tentu saat gadis itu terbangung, maka dongeng malam pasti akan berakhir, lalu kembali pada kenyataan yang ada.

''Mari kita akhiri hubungan ini, Brenda,'' ucapan itu kembali terulang.

Brenda Barbara gadis kelahiran tahun 1993 ini menatap tajam pria yang menjadi kekasihnya. Merasa muak dengan wajah marah yang kini  sangat terlihat sekali dari raut wajah gadis tersebut. Dua minggu mereka tidak bertemu setelah pertengkaran hebat itu terjadi, lalu dengan tanpa dosanya si pria bernama lengkap Daffa Aditya tersebut malah melontarkan pertanyaan yang sangat ditentang oleh gadis itu. Gadis yang sering disapa dengan nama Brenda. Tidakkah itu sangat menyakitkan? Atau terlihat begitu konyol? Entahlah, apa sedang menyiapkan sesuatu, atau bukan maka Khaella merasa tak peduli.

''Brenda..'' Sang pria, Dafa kembali berseru, sembari memanggil nama gadis yang mungkin sudah menjadi mantan walau keadaan saat ini masih sangat tak diterima oleh si gadis cantik itu.

Sangat tiba-tiba yang pria itu lakukan. Selama ini juga sudah berusaha untuk tetap bertahan meski tahu bahwa hubungan yang terjadi bahkan tidak didasari dengan kata cinta. Sejujurnya seperti itu. Menerima Brenda juga karena saat itu dirinya memiliki alasan kuat, namun sesungguhnya memang tak ada kenyamanan saat mereka bersama, maka karena itu bukan mereka sering sekali bertengkar setiap kali bertemu.

''Kenapa, Dafa? Memintaku datang, lalu memberikan pernyataan seperti ini. Apa ada yang sedang mengganggu pikiranmu saat ini? Katakan saja padaku! Aku akan membantumu.'' Brenda bertanya dengan wajah yang masih santai menyikapi keinginan sang kekasih.

''Tidak, Brenda. Bukan itu. Aku merasa bahwa semua memang harus diakhiri,'' ungkap yang Dia lontarkan pria yang menjadi kekasih Michaella sejak 3 tahun belakangan ini.

''Alasan bodoh. Semua tidak masuk akal. Bagaimana bisa? Kamu tahu? Kamu mencintaiku karena aku ini wanita yang sangat cantik. Iya, tentu saja itu adalah hal yang wajar, tetapi ketika permintaan putus itu kamu lontarkan, lalu apakah aku harus tertawa?'' Brenda bertanya. Mata menatap tajam Dafa yang memilih diam seribu kata. 

Bukan, bukan karena uang pada saat itu hubungan terjadi. Mungkin terdengar aneh. Mencintai anak dari pemilik perusahaan tekstil, tetapi selalu dianggap remeh oleh keluarga besar, dan satu hal yang membuat Dafa kecewa tentu, kata-kata tidak baik selalu dilontarkan oleh keluarga besar Herdiansyah, tidak ada satupun pembelaan yang wanita itu lakukan. Seakan-akan dirinya memang pantas dipermalukan di hadapan semua semua orang.

''Kamu pernah berjanji bahwa awal tahun ini kita akan menikah,'' gumam Brenda.

''Maaf,'' ucapan Dafa.

''Bagaimana bisa? Apa ini rencana mu untuk membuatku terkejut? Hadiah terindah apa? Burung merpati? Binatang yang begitu sangat aku sukai. Ayolah, jangan membuat drama terlalu pan—''

''BRENDA!'' bentak Dafa.

Tidak tahu apa yang akan disampaikan oleh pria itu. Semua yang Khaella katakan mungkin akan membuat Dafa goyah dengan keputusan. Merasa bahwa dia adalah pria sangat jahat  bila memilih keputusan tersebut. Apa yang bisa dilakukan Dafa jika hatinya benar-benar tidak bahagia bersama Brenda. Apa harus memaksa keadaan? Perasaan, bahkan rasa cinta juga tidak ada dalam hati ini. Mau sampai kapan bertahan bila selama 3 tahun juga Dafa merasa tersiksa dengan hubungan ini.

''Oh, Aku tahu. Ada sebuah keinginan yang belum terwujud? Apa masih memikirkan pekerjaan? Aku tahu kamu belum memiliki pekerjaan, tapi jangan terlalu takut. Setiap bulan akan ada uang untukmu.'' Brenda bertanya sambil tertawa bahagia memikirkan alasan putus Dafa seperti dalam pikirannya saat ini.

''Ya Allah,'' ucap Dafa.

''Jika kamu tidak bekerja bagiku tidak apa-apa. Uangku masih banyak. Memberikan uang setiap bulan untukmu juga tidak akan membuatku jatuh miskin, Dafa. Jadi tak harus takut karena itu,'' seru Brenda. 

Seharusnya Brenda perlu menyadari bahwa apa yang dia katakan itu cukup menyinggung Dafa. Harusnya Brenda bertanya baik-baik tentang apa alasan sesungguhnya Dafa minta putus. Tidak harus seperti ini. Seolah-olah Dia adalah orang yang tidak mampu memberikan kebutuhan kepada gadis yang menjadi kekasihnya tersebut.

''Apakah kamu tidak bisa mengerti, Brenda? Aku tahu kamu memiliki uang yang sangat banyak. Aku juga tahu kamu adalah anak dari pemilik perusahaan Tekstil terbesar. Ayah, dan ibumu pemegang saham nomor satu di indonesia ini. Apapun yang kamu inginkan semua bisa terjadi tanpa ada perjuangan sama sekali. Aku tahu itu,'' ujar Dafa.

''Lalu apa masalahnya?'' tanya Brenda yang sedikit emosi menanggapi pernyataan dari Dafa.

''Aku membutuhkan pasangan yang bisa memberikanku dukungan. Tidak, Brenda. Aku ingin pendampingku itu bisa mengerti bagaimana keadaanku. Tidak menertawakan apa yang sedang aku kerjakan. Selalu ada disaat aku terjatuh, lalu tidak pernah lupa untuk memberikan aku sebuah semangat agar aku bisa kembali bangkit dari rasa keterpurukan. Aku sangat ingin jika kamu tahu itu,'' ungkap Dafa.

''Aku ini apa? Aku ada disaat kamu sedang tidak baik. Aku selalu memberikan kamu uang. Ak—''

''Tidak, Brenda. Berapa kali aku harus menjelaskan semua ini. Kamu bukan seperti apa yang aku inginkan. Tiga tahun bahkan sudah membuktikan bahwa kamu tidak pantas dijadikan sebagai istri dengan sifat, dan sikap kamu tersebut. Seharusnya kamu mengerti.'' Dafa memotong pembicaraan Brenda dengan melepaskan rasa marahnya akibat sikap Khaella yang konon suka sekali menjatuhkannya. Bukankah sepasang kekasih harus memiliki sebuah komitmen untuk menjalankan hubungan? Tetapi berbeda dengan Benda yang setiap apa-apa selalu menyalahkan Dafa, dan berfikir bahwa masalah bisa teratasi karena adanya uang. Brenda terlalu merendahkan sosok pria ini. Selalu saja tanpa memikirkan betapa kecewanya Dafa melihat sikap Brenda yang sangat sombong.

''Ckck—huft.'' Brenda menghela nafas beratnya.

''Tidak ada dukungan apa-apa. Direndahkan secara materi bahkan kamu tidak bisa memberikan pembelaan untukku. Kamu meminta aku selalu berada disisimu, tetapi apakah kamu bisa berada disisiku meski dunia ini sangat membenciku? Apakah bisa? Tidak bukan?'' Dafa bertanya sambil memberikan tatapan tajam pada gadis yang bernama Brenda itu. Tak peduli apa yang akan terjadi setelah ini. Tidak akan Dafa perdulikan, tentu terpenting dari hidup pria itu maka dirinya bisa terbebas oleh hubungan ini.

''Dafa.'' Brenda bersuara, tetapi—

''Alasan aku ingin mengakhiri semua ini bukan karena uang. Bukan karena uang yang kamu berikan itu kurang, tetapi memang ini adalah keinginanku. Tidak ada lagi dihatiku sebuah rasa kenyamanan saat bersamamu. Semua tidak ada lagi, Brenda. Untuk apa mempertahankan hubungan jika semua tidak bisa membuatku bahagia. Mengertilah,'' gumam Dafa yang sudah sangat lelah dengan sikap Brenda.

''Kamu sudah berjanji untuk tidak pergi pada saat itu, Daf,'' lirih Brenda.

''Maafkan aku, Brenda.'' Dafa berucap. Setelah berucap, Dafa memang memilih pergi meninggalkan Brenda yang tentu berteriak keras sebab tidak terima dengan apa yang Dia lakukan barusan.

***

Kalau saja bisa terdengar jelas. Suara detak jantung Reynand sangat kencang, ada desiran aneh di dada. Tatapan Gina membuat lelaki di hadapannya tersipu malu sampai-sampai tak bisa bersuara. Keindahan dan kebahagiaan bersatu padu dalam bahtera kehidupan, rasa insecure yang semula hadir telah hilang. Ya, setidaknya Reynand sadar betapa ia berharga bagi orang yang tepat. Tidak melulu tampak kekurangan, mereka yang sering menghina adalah orang-orang merasa sempurna hingga lupa jika diri lebih bernoda. 

Andai kata ia mampu, saat itu pula berteriak pada dunia. Memberikan pengumuman jikalau hati telah menemukan belahan jiwa, sosok gadis yang menerima apa adanya tanpa melihat ada apanya. Cinta tak melulu soal harta, tahta, dan ketampanan. Bisa pula perihal rasa nyaman dan satu pemikiran, dari kekurangan diri masing-masing bersatu menjadi kesempurnaan. Menghargai tiap harap juga impian. 

"Gimana?" tanya Gina. 

"Boleh." 

Wajah Reynand ibarat kepiting rebus. Merah malu, tetapi bahagia. Haluan yang semula hanya sekedar impian belaka sudah nyata dibelenggu cinta tanpa pamrih, mereka bercengkrama kembali berbagi cerita akan tujuan selanjutnya. Memastikan pikiran sama-sama dewasa agar jalan suatu hubungan tidak mengambang di tengah kebimbangan. 

Pria remaja tersebut belum terlalu paham tentang ikatan ini. Ia mempelajari banyak perihal wanita yang dicinta, berharap suatu ketika dirinya mampu membahagiakan Gina  lebih dari sekadar memberikan kasih dan cinta. Unik memang, mereka sebentar lagi lulus, tetapi sudah jauh memikirkan jenjang lebih mendalam. Walaupun, terkadang Reynand takut untuk mengatakan hal serius karena tahu betapa tinggi keliatan Sella. Beda akan ia yang hanya anak remaja biasa, untuk biaya sekolah saja mesti menabung dahulu. 

Hitungan minggu, jam, menit, dan detik. Tujuh remaja SMA yang bersahabat lama dipenuhi suka juga duka. Sebentar lagi menerima kabar haru perihal kelulusan mereka, ujian telah ada di dekat mata. Beberapa murid siap belajar dari awal, sebelum ujian benar-benar diadakan. Brenda, ia duduk bersama Daffa di kursi depan. Dua sejoli itu saling berbagi pengetahuan, bertukar pikiran tentang soal ujian. 

Sesekali pria mata sipit tersebut mengacak pucuk rambut Brenda gemas. Mengganggu dengan tawa renyah, menambah irisan hati pada gadis bungsu. Mereka baru beberapa hari terikat, sedangkan nanti terpisah. Apakah bab baru dari keduanya akan tampak indah? Brenda menatap sendu sang kekasih, ia mengganggunya erat telapak tangan kekar nan lembut milik Daffa. Menyandarkan kepala di pundak bidang pria tersebut, embun membendung hingga hujan pun turun meski tak deras. Cairan itu jatuh pada seragam putih Daffa, netra seteduh mega menyaksikan rasa sakit yang terpendam oleh Brenda. 

"Kenapa?" 

"Apa kamu yakin kalau ini bakal berjalan mulus? Aku cuma minta, nanti datang ke orang tuaku, ya. Bilang sama mereka tentang kita," jelas Brenda seraya mengusap air mata. 

"Yakin, deh. Aku pasti datang, besok, ya. Kita sama-sama bilang, aku bakal usaha supaya orang tua kamu mau izinkan."

"Tapi, aku takut, Brenda. Papah kalo nggak suka sama orang, omongannya pahit, pahit banget."

"Kamu ini, aku yang berjuang, kok. Kamu tenang aja!" Daffa kembali mengacak rambut gadis itu seraya mencubit pipi mulus Brenda. 

Dalam lubuk hati, sebenarnya Brenda tak yakin kalau Daffa bisa meluluhkan orang tuanya. Terutama ayahnya, ia sangat tegas dan selalu kokoh pada pendirian. Sebelumnya, Brenda tahu yang ia lakukan ini salah karena sang ayah pernah memberi nasihat peringatan untuknya dan Alert. Sekaligus, di tahun 2022 ini masih menggunakan metode perjodohan. Gadis itu takut, bagaimana nanti alur semesta berbeda jauh dari khayalannya. 

Brenda termenung lagi. Bukan sekadar hubungan antara dua insan, tetapi sahabat yang terikat lama. Memikirkan tentang berbeda tujuan mereka dalam melangkah ke depan, ia cemas akan suatu saat terlupakan. Kemudian yang tersisa hanya buih-buih kenangan berdebu, rindu terhalang jarak. 

***

Sepotong roti masih utuh di piring keramik bundar, sedangkan teh hangat hadir sebagai pendamping kenikmatan di musim hujan. Kini, jalanan tidak berdebu, ya, kecuali memori masa lalu. Setiap tetes air sebening kristal itu jatuh, Gina menatap syahdu sambil bersenandung pilu. Belum ada kabar terbaru akan kesembuhan Reynand pasca operasi, sama dengan teman-teman yang lain. 

Tak ada kabar, satu kalimat pun tidak terdengar apalagi tertulis pada pesan. Ia mengulur gawai, meski umur tak lagi muda. Gina punya akun Instagram untuk penghilang kebosanan, terlihat dari layar betapa keren sosok ayahnya Reynand Reno dan Nagita . Menjadi pengusaha, bisnis sampai ke luar negeri. Senyum sumringah tak dapat dielakkan lagi. Dahulu, mereka tampak jauh dari perkiraan masa kini. Namun, sekarang dunia membuktikan. Jika kita bersungguh-sungguh terhadap keyakinan, pasti kesuksesan datang mendampingi perjuangan. 

Haru. Orang tua pacarnya yang dahulu tidak menyukai Gina, adalahi sosok besar, disegani banyak orang hingga dihadiahi pujian. mau menerima keadaan Gina kekasih anaknya Reynand.Keluarga Reno serta Nagita pasti bangga, memiliki kepala keluarga yang pekerja keras tanpa lelah dan selalu memberikan hal terbaik bagi istri dan anak-anaknya. Begitu pula keluarganya Brenda, sibuk di dunia masing-masing. 

"Bahagia pasti, ya, kalian. Mempunyai keluarga utuh dan memiliki cinta di mana-mana. Masih ingat saya nggak? Atau sudah lupa? Saya nggak perlu ketemu langsung, cukup kalian kirim pesan meski itu cuma kata 'Hai, Gina'. Saya udah bahagia banget pasti."

Sial. Itu hanya angan tanpa penjelasan. Mana mungkin mereka ingat padanya, sedikitpun terbesit kata 'Aku kangen Gina' sepertinya tidak pernah ada. Wanita tersebut menghela napas sekejap, menutup buku catatan tahun 2022. Semua tercantum cerita unik di masa lalu, dan sekarang Gina tak mau lagi bermain dengan buku itu. Ruangan luas ini menjadi penyimpanan memori, tetapi agaknya Gina mulai tidak peduli. Merasa, ah, biarlah rusak. Toh, hanya ia yang memikirkan. 

"Mungkin, temu ini hanya akan menjadi angan." Gina menutup laci, foto-foto jadul yang dipajang ia simpan pada kardus bekas. Disembunyikan agar jauh dari pandangan sehingga rindu ini tak lagi mencambuk kasar. 

Teh tetap awet di cangkir, pasti sudah dingin. Namun, Gina tak peduli. Ia diam di sudut tembok menahan nyeri di dada. Kambuh, lagi-lagi penyakit faktor U menyerang. Mungkin umur Gina tinggal beberapa hari lagi, lalu setelah itu dijemput malaikat maut. Obat utuh di wadah, wanita tersebut sangat tidak peduli lagi akan nyawanya. Padahal, masih banyak keluarga yang menyayangi. 

"Bosan, kenapa dunia begitu biasa saja bagi saya saat ini."

Gina merebahkan badan di kasur empuk, lalu meregangkan otot-otot yang mulai rapuh. Nyeri, entah sampai kapan rasa sakit menggerogoti raga ini. Embusan napas pun sudah tak normal lagi. 

Bersambung