Selamat Membaca
Buku-buku tertata rapi di atas lemari kayu berwarna coklat tua. Lengan yang tak lagi berkulit kencang itu mengambil satu buah buku usang penuh debu. Lalu ditaruh ke atas meja menampakkan sampul biru langit yang di atasnya tertulis 'Catatan SMA' dan seketika itu pula seseorang duduk di kursi sambil mengusap lembut sampul biru itu untuk menyingkirkan debu-debunya. Perlahan, lembar demi lembar kertas usang tersebut dibaca. Dari samping tampak garis senyum tercipta pada bibir wanita yang sedang bernostalgia.
"Hari ini gue pulang terlambat gara-gara nongkrong di kemang martabak. Pas pulang ke rumah langsung aja dimarahin bokap, tapi bukan cuma itu. Gue juga dihukum sama guru sebab kagak ngisi pr matematika yang tiap soalnya bikin gue pusing tujuh keliling" Tertanda, Brenda Barbara.
Wanita itu tertawa kecil kala ia tahu betapa nakalnya masa muda dahulu. Tak sampai habis dibaca, mata tertuju ke arah pajangan album foto. Rindu berat sulit 'tuk dihilangkan, tanpa diduga setetes air jatuh dan membuat dada sesak. Terlihat potret empat wanita juga tiga laki-laki berseragam SMA.
"Dasar si gendut, tidur kamu nyenyak sekali sampai sekarang," ucapnya seraya meraba foto sosok laki-laki berkacamata dengan tubuh bulat. Tetes demi tetes air berjatuhan hingga ia tak kuat lagi menahan rasa rindu yang lama terpendam.
"Nek, ayok makan dulu!" ajak seorang gadis kecil.
"Iya, Brenda duluan saja! Nanti biar nenek nyusul."
"Baik, Nek."
Kini, ia sendiri dan kembali bernostalgia lagi. Melihat segala kenangan SMA yang tersimpan rapi di ruangannya.
***
Ini kisah menarik yang tidak akan pernah terlupakan bagi ia–gadis SMA dengan segala ulahnya. Kedua kaki mengayuh sepeda, ransel ia rentangkan ke sebelah kiri. Senyum menyambut pagi untuk sekolah SMA Tunas Bangsa Banyak Dipenuhi murid-murid berprestasi. Gerbang masih terbuka lebar dan seorang satpam meniup peluit sebagai pertanda kalau sebentar lagi akan ditutup. Brenda cepat-cepat mengayuh sepeda, lalu mengganti celana panjang dengan rok abu-abu di balik pohon mangga.
"Jangan tutup gerbangnya!" teriak Brenda sambil berlari tergopoh-gopoh. Namun, waktu sudah habis dan satpam tidak mengubah pendirian.
"Aduh, bukain, dong! Saya cuma terlambat tiga menit lima puluh detik doang, Pak." Brenda protes sambil berkacak pinggang. Keringat membasahi leher dan kening, rambut hitam sebahunya sedikit acak-acakan.
"Nggak bisa, Brenda! Kamu sudah terlambat, lagian ini salah kamu. Tiap datang sekolah paling akhir, pulang paling awal."
Brenda mendengus kesal. Ia berpikir keras bagaimana caranya supaya bisa masuk ke sekolah, gadis itu memiliki ide brilian. Diam-diam pergi ke belakang gedung sekolah, lalu ia melihat tembok penghalang. Hanya satu yang dibutuhkan, yaitu tangga. Untuk itu, Brenda menghampiri rumah yang jaraknya dekat dari gedung sekolah. Kemudian mengambil tangga bambu yang tersimpan di pinggir pohon. Susah payah ia membawanya sendirian, tetapi ini demi tujuan penting jadi harus banyak berkorban.
"Tinggi banget, huh," gerutu Brenda seraya menaikkan kaki pada tiap anak tangga. Saat kepalanya muncul di atas, ia melihat tiga temannya. Yaitu, Loli, Siska dan Amel. Brenda membisik, berharap saja ketiga orang itu mendengar suaranya.
"Syut ... syut, Amel."
"Kalian dengar suara yang manggil nama gue kagak?" tanya Amel.
"Nggak, tuh," jawab serentak Loli dan Siska.
"Aduh, dasar budeg! Amel, syut ... gue Brenda!"
Napas sudah pengap berada di atas, Brenda berusaha tenang dan sekali lagi memanggil teman-temannya. Namun, tidak berhasil juga. Malah tiga orang itu berbalik arah untuk kembali ke kelas. Bola mata Brenda menajam, lalu ia berteriak sekencang mungkin memanggil nama Amel hingga para murid yang masih di luar ikut melirik. Ada beberapa kepala siswa nongol di jendela ke arah suara.
"Astaga Brenda! Ngapain lo di atas?!" teriak Amel seraya berlari diikuti Siska juga Loli.
"Nggak usah banyak omong lo pada! Gue udah enak banget di sini, mendingan kalian bertiga berdiri ngelingkar di bawah. Terus tangkep gue, ya!"
"Oke-oke, yok!"
Amel, Siska dan Loli berdiri melingkar dan siap untuk menangkap tubuh Brenda. Sebelum loncat dari atas, gadis bersurai pendek itu membaca basmalah. "Maafin Brenda, Mah, Pah!"
Gubrak!
Semua tersungkur kala Brenda meloncat. Tubuh Siska tertindih oleh Loli, kaki Brenda menimpa perut Amel sedangkan kepalanya bertumpu pada punggung Loli. Seluruh murid yang melihat seketika tertawa tanpa membantu keempat gadis SMA itu.
"Tulang gue patah," ucap Siska sambil mengusap-usap pinggul.
"Jantung gue hampir copot, badan lu berat banget, Brenda," ujar Amel.
"Lu kenape kagak kasih kuda-kuda dulu? Pan nanti kita-kita siap, Brenda " Loli merapikan rambut dan seragamnya.
"Duh, jangan pada protes, deh! Gue juga sakit, terasa dijemput Malaikat Maut pas loncat tadi." Ketika perdebatan terjadi antara empat gadis tersebut datanglah sosok guru yang dikenal galak serta tegas. Penggaris kayu di acung-acungkan, sudah dapat diduga kalau mereka berempat akan mendapat hukuman untuk kesekian kali.
"Berdiri di tengah lapangan sambil hormat kepada bendera! Kalian tidak pernah jera membuat kegaduhan, apalagi kamu, Brenda!"
"Iya, Bu." Patuh, ini adalah hal yang biasa. Risna dan tiga kawannya pergi ke tengah lapangan sambil menggerutu. Ada banyak pasang mata yang menyaksikan keempat gadis tersebut, termasuk Alert, Reynand da Gina.
"Bikin ulah lagi mereka," ucap Reynand seraya terkekeh kecil.
"Emang dasarnya si Brenda sering bikin ulah, untung nggak dikeluarin dari sekolah," sahut Gina dengan rambut dikuncir kuda.
"Biarin aja, lah! Mak Lampir dipikirin," ujar Alert sambil tertawa keras. Namun mulut tak henti juga untuk makan kue. Pantaslah jika ia bertubuh bulat dan sering dipanggil 'Gembul' sebab kebiasaan makan yang tak bisa berhenti.
"Semangat, Brenda !" seru Alert yang dianggap sebuah kata ledekan bagi Brenda.
Empat gadis SMA itu tepat berada di depan tiang bendera. Sinar mentari yang amat terik dan menyengat mampu membuat dahaga kering, wajah-wajah mereka tampak merah padam karena panas. Hukuman ini tidak akan habis sampai jam istirahat, sedangkan guru yang galak itu masih memantau di dalam kelas.
"Elu, sih, Brenda. Ngapain naik tembok segala, sih? Jadinya kita semua dihukum," protes Amel dengan posisi tegak sambil memberi hormat.
"Gerbang sekolah ditutup, gue nggak mau kalau harus nunggu di luar bareng satpam kumis baplang itu," jelas Brenda yang diiringi tawa teman-temannya. Mereka mungkin sering bertengkar, tetapi hanya sekadar gurauan dan walau saling marah pasti cepat berdamai. Kuncinya adalah mempercayai satu sama lain dan juga saling memahami. Itulah persahabatan.
Setengah jam lebih berdiri di bawah panas mentari amat melelahkan. Hingga akhirnya hukuman pun selesai dan empat gadis itu menemui tiga lelaki di kelas. Yaitu Reynand, Alert juga Gina. Mereka bertujuh memang dekat, selalu bersama sedari kelas satu SMA. Kedekatan tujuh orang itu telah menjadi bahan gunjingan, apalagi dengan adanya Brenda dan Alert yang sama-sama nakal.
Kedua remaja tersebut sering membuat ulah. Bahkan, kepada Kepala Sekolah pun mereka berani, sedangkan lima lainnya sekadar menyaksikan dan ikut tertawa melihat aksi konyol Brenda serta Alert yang berakhir dengan hukuman. Entah itu berdiri di lapangan, mencuci piring kotor, ataupun membersihkan toilet. Namun di balik sikap petakilannya mereka terdapat prestasi tinggi.
"Eh, Brenda. Si Daffa masih sering kirim surat kagak? Dia kayaknya cinta mati ama elu," cetus Alert seraya tertawa.
"Humm, tuh, gue juga yakin kalo si Daffa cinte buta ama elu, Brenda . Terima aje ngapa? Kasihan gue kalo liat muka melas nya," celetuk Loli.
Lelaki yang bernama Daffa sudah mengagumi Brenda sejak awal pertemuan. Hanya secarik kertas bertuliskan bait-bait indah yang mampu ia berikan, tetapi apalah daya jika cinta bertepuk sebelah tangan. Seindah apa pun kata yang tertulis tak bisa mencuri hati Risna, gadis tomboy itu hanya menganggap surat Tarno sebagai guyonan belaka.
"Gue kasihan juga sebenernya, tapi mau begimana lagi? Orang gue kagak cinta ama dia," ungkap Brenda sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
"Tapi, seenggaknya lo bales surat dari Daffa . Biar dia orang nggak sakit-sakit amat hatinya, bener, nggak?" timpal Siska.
"Ribut mulu kalian semua, kita ke kantin, yuk, Reynand!" ajak Gina.
"Oke, Sayang"
Reynand dan Gina meninggalkan kelas. Sepasang kekasih tersebut melewati koridor sekolah dengan gaya yang dibuat-buat agar terlihat keren untuk menarik perhatian para murid wanita yang menatap kagum pada Reynand. Sementara itu di kantin ada kehebohan yang dibuat temannya Alert.
"Bi, bakso dua mangkok, ya!" teriak temannya Alert terhadap wanita tua yang sibuk menyiapkan pesanan.
"Apa?! kamu mau pesan dua mangkuk, Bobby? Ngadi-ngadi elu, ya. Hutang kerupuk aje belum elu bayar sama kopi. Sekarang udah mau tambah lagi, apa jaminannya, hah?!" sungut Bi Ijah sambil mengacungkan centong nasi pada kedua murid SMA tersebut. Kegaduhan pun terjadi sehingga banyak pasang mata melirik, warung sederhana milik Bi Ijah telah jadi langganan Bobby dan kawan-kawan. Apalagi kalau perihal ngebon, pasti Boby yang terdepan.
"Palingan cuma lima ratus rupiah, kan? Murah segitu, mah, Bi. Nanti kalo orang tua Boby gajian, pasti dibayar kontan," celetuk Joni terkekeh kecil.
"Aje Gile! Murah mata elu, kalian berdua memang demen banget bikin gue emosi." Bi Ijah mengambil sapu lidi dan berlari kecil untuk memukul dua lelaki SMA tersebut. Terjadilah aksi saling kejar-kejaran, sesekali Boby terkena pukulan dan telinga Sukma dijewer kencang oleh Bi Ijah. Saat hendak kembali ke kelas, Boby dengan begitu lincah menarik kerupuk yang tergantung. Lalu berlari secepat kilat bersama Sukma.
"BOBY! BALIKIN KERUPUK GUE!" teriak Bi Ijah. Wanita paruh baya itu mengelus dada yang terasa panas, sudah beberapa kali terkena jebakan anak-anak nakal semacam Boby juga Sukma. "Bersyukur banget gue kalo mereka cepat-cepat lulus." Ia kembali ke tempat semula.
***
Selembar kertas tua terbungkus amplop dengan motif cinta yang dibentuk oleh tinta hitam tersebut masih utuh. Lalu tangan keriputnya membuka lembaran yang dilipat, tampaklah bait-bait indah tertulis secara singkat.
Engkau bagaikan rembulan, selalu aku nanti kala malam menjelang. Hatiku menggebu setiap kali menatap indah wajahmu ... bola mata secantik purnama, bibir tipis semanis madu dan gula. Aku harap engkau membalas surat pertamaku ini, yang berisikan tentang isi hati.
"Saya harap kita bisa bertemu lagi, siapa wanita yang beruntung memilikimu, hah?" gumamnya sehingga tertawa keras. Masa-masa SMA-nya dahulu memang penuh kisah dan berbagai konflik yang selalu membuat candu untuk tetap dikenang sampai mempunyai anak cucu. Sejarah tahun ini tak akan hilang, uniknya dahulu berbeda jauh dengan masa sekarang. Tak ada yang namanya telepon genggam, semua tercatat lengkap dalam isi surat.
***
Alert dan Bobby berniat pergi ke rumah Brenda. Namun, mereka takut jika nanti bertemu dengan orang tua Brenda . Apalagi mereka berdua tahu betapa galaknya ayah dari gadis tomboy tersebut, pernah keduanya terjebak hingga larut malam karena ditantang bermain catur. Maju kena, mundur kena.
Akan tetapi, Alert dan Bobby masih nekat bertemu Brenda dengan cara sembunyi-sembunyi. Dua remaja itu berdiri di tepi jalan yang dipenuhi pohon asam. Bulu tengkuk kedua lelaki tersebut merinding, semilir angin membelai tubuh hingga menggigil. Tak ada siapa pun kecuali mereka, langit tampak hitam pekat.
"Alert, elo ngerasa aneh, nggak?" bisik Bobby.
"Eum, iya. Gue ngerasa ada yang aneh di pohon asem ini, apa jangan-jangan–"
"Jangan-jangan apa? Kagak usah nakutin, hih! Kita ke sini, kan, mau jemput Brenda."
Pluk!
Satu buah asam terjatuh tepat ke kepala Bobby. Lalu terus saja berulang pada Herman, kedua pemuda itu saling menatap aneh. Susah payah menelan ludah, keringat mengucur sampai lutut bergetar. Kepala Bobby serta Alert menengadah, menyaksikan seorang wanita bermuka pucat dengan daster putih sedang mengayun-ayunkan kaki.
"KU–KU–KUNTILANAK!" jerit Bobby dan Alert. Secepatnya mereka berdua menaiki motor, Sukma memeluk erat pinggang Herman yang mengendarai mesin roda dua tersebut dengan kecepatan penuh.
"Hihihi hihihi!"
Tawa cekikikan itu menggema. Detak jantung menjadi cepat dan nafas rasanya sesak, tubuh Herman berkeringat serta gemetar. Saking takutnya motor menjadi oleng dan terjerumus pada semak-semak.
"Dasar demit! Malam minggu masih aja keluyuran," dengkus Alert.
"Aduh, tolongin gue nggak bisa bangun!" ucap Bobby sambil mengulurkan tangan.
***
"Terus gimana reaksi mereka pas lihat wujud elu kayak Mbak Kunti?" tanya Amel diiringi tawa ketiga sahabatnya.
"Ya, gitu, si Bobby sampe pucet mukanya!" seru Brenda
Semua yang terjadi pada Alert juga Bobby adalah rencana Brenda dari sebelumnya. Gadis itu memang nakal, tak pernah kapok menjahili orang-orang. Terutama dua lelaki tersebut, santapan empuk sebagai bahan percobaan dari keusilannya. Dalam kamar nuansa hitam-putih, empat gadis SMA itu saling berbagi cerita dan tertawa bersama.
"Lucu, sih. Tampangnya aja kayak preman, pas lihat setan langsung lari kocar-kacir," ucap Siska.
"Gemes, tau, habisnya mereka berdua itu nggak ada berani-beraninya temuin bokap gue," balas Brenda. Ia merebahkan tubuh di kasur seraya mendengarkan siaran radio.
Bersambung