Selamat Membaca
Bunyi pemacu jantung terdengar menggema di sebuah ruagan. Terdengar deru napas terengah di balik alat oksigen. Wajahnya sangat damai. Entah berapa lama ia tidur di atas bilik tersebut. Dengan perlahan, tangannya bergerak. Matanya terbuka secara tiba-tiba. Pandangannya menyapu langit-langit ruangan tersebut. Di mana ini? Pikirnya.
Namun, dia sangat bersyukur hingga saat ini dia bisa bangun.
Selama hampir satu bulan libur, hidup Gina sedikit tenang setelah dia depresi mendadak. Beruntung Tantenya tak marah besar kepada dirinya karena peringkatnya yang secara tiba-tiba turun.
Begitu masuk ke dalam kelas yang baru, ia melihat ada Choco or Brenda yang sudah duduk di sana, membuatnya sakit mata.Choco menoleh ke belakang dan di dapati Gina ada di sana, menatap dirinya dengan angkuh. Ingin rasanya Brenda menyapa Gina, tetapi dia sadar, bahwa Gina kini sudah tak mengindahkan kehadirannya lagi.
Bertepatan itu juga, teman-temannya Abila dan yang lain masuk ke dalam kelas. Kini Abila tak seperti dulu. Dia lebih sering menggunakan riasan yang menutupi wajah polosnya sehingga wajahnya terlihat lebih berani dibandingkan dulu.
"Selamat pagi, Abila !" sapa Hanny yang membuat Abila sangat malas.
"Pagi," balas Abila singkat. Hanny dengan percaya diri duduk di sebelah Abila, tanpa memperhatikan pandangan Abila saat ini. Menyadari tatapan Abila, Hanny bingung.
"Kenapa?"
"Bisa kamu duduk di sebelah sana? Kamu bisa merusak konsentrasi ku nanti." Ucapan Abila ternyata lebih pedas dari ucapan Brenda. Hanny sungguh tak menyangka. Dengan berat hati dia segera pindah dan mencari tempat duduk lain yang tak jauh dari Abila. Tak lama kemudian, Alert masuk ke dalam kelas yang diikuti oleh seseorang di belakangnya. Atensi mereka fokus pada Alerti dan sosok anak laki-laki yang tinggi dan wajahnya hampir menyerupai Alerti.
"Siapa dia?"
"Ganteng, ya!" Bisikan itu bisa mereka berdua dengar. Secara bersamaan, mereka duduk di bangku bersebelahan. Tampak sekali seperti kakak beradik.
"Al," panggil Abila yang sudah berdiri di samping Alerti. Alerti menoleh, membuat seseorang yang di sebelahnya ikut menatap Abila. Secara tiba-tiba, Abila mengulurkan tangannya di depan anak laki-laki itu lalu tersenyum.
"Selamat datang di SMA Reynand." Alert ikut tersenyum, tetapi bukan senyum manis yang ia keluarkan, melainkan senyum seringaian. Reynand tampak menjabat tangan Abila.
Tanpa di sangka, Alert menoleh ke belakang yang sudah ada Gina berdiri dengan keterkejutan.
"Julius ... Julius?"
***
Di luar, Alert ampak mendapat sebuah panggilan di ponselnya meninggalkan Reynand dan Gina berdua. Suasana canggung sebenarnya sedang dirasakan oleh mereka berdua. Hampir 2 bulan lamanya mereka tidak bertemu.
"Sudah sembuh total?" tanya Gina agar suasana tidak semakin canggung.
"Sudah," balas Reynand apa adanya. Memang begitulah sifatnya, tak ada bedanya saat dirinya menjadi orang lain.
"Apa tidak apa-apa kamu membuka jati diri kamu?"
"Aku sudah putuskan, terkadang menjadi diri sendiri itu jauh lebih baik."
"Apa Ryuma sangat berarti buat kamu?"
Reynand tampak menghela napas. "Berkat Ryuma, aku tahu apa itu persahabatan dan apa itu pengorbanan."
Gina paham apa yang dirasakan Reynand saat ini. Bukan niat hati Reynand ingin membohongi semua orang dengan identitas lamanya, tetapi ini semua ia lakukan semata-mata untuk mencari pelaku yang telah membuat Reynand dulu meninggal.
"Reyl!" Panggilan Alerti membuat keduanya menoleh. "Dia telah sadar!" Ucapan Alert membuat Rey terkejut tetapi membuat Gina bertanya. 'Dia' yang di maksud oleh mereka itu siapa.
***
Brenda baru saja keluar dari ruang kepala sekolah yang kemudian di hadang oleh Calsen. Tentu saja aksi Calsen membuat Brenda sedikit terkejut.
"Aku lihat kamu sering ke sini, ada apa?" tanya Calsen penuh penekanan.
"Aku ada kepentingan," balas Brenda seadaanya. Bagaimana pun ia harus berusaha menjaga jarak dengan Calsen jika sudah seperti ini.
"Apa kepentingan itu setiap hari?"
"Maksud kamu?"
"Apa hubunganmu dengan ibu Maria?" tanya Calsen dengan penuh penekanan membuat Brenda semakin muak.
"Calsen, aku tahu setiap hari kamu selalu menuntut sesuatu yang bukan seharusnya kamu lakukan! Ingat, semua orang tua pasti akan menyayangi anaknya apa pun yang terjadi. Dan kamu tahu apa maksud dari perkataanku?"
"Apa itu?"
"Ibu Maria bukan ibu kandungmu, jadi jangan berharap terlalu lebih agar kamu diakui oleh dia." Mendengar ucapan Brenda, Calsen segera mendorongnya dan mulai mencekik lehernya dengan geram.
"Kamu tahu, Brenda. Terkadang orang rendahan jika sedikit di sanjung akan terlalu besar kepala hingga dia tidak sadar posisinya saat ini terlalu rendahan!" Brenda berusaha sekuat tenaga melepaskan cengkeraman Calsen. Ia tak menyangka jika Calsen akan melakukan hal ini.
"Cal-sen!" Suaranya tercekat, ia mulai kehabisan napas.
"Calsen!" teriak Abila yang membuat Calsen melepaskan cekikannya dari leher Claudya. Di bawah, Brenda tampak terbatuk dan menghirup udara banyak. Nagisa juga segera menolong Brenda yang terkapar tak berdaya di bawah.
"Apa kamu juga akan menjadi seperti mereka?" tuding Abila menyamakan Calsen dengan si perundung yang sudah mendapat pelajaran beberapa bulan yang lalu.
"Aku pikir kamu berbeda, tapi kini kamu menunjukkan semua kelakuanmu. Terima kasih!" ungkap Abila sambil berdecih yang kemudian membantu Brenda pergi ke UKS.
Calsen merasa dirinya sangat bodoh. Mengapa dia bisa berbuat seperti ini. Apa yang membuat dirinya berubah.
***
Abila enyodorkan sebotol minuman pada Brenda yang diterima Brenda dengan senang hati.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Iya, aku nggak apa-apa," balas Brenda.
"Aku juga akan mengajukan pertanyaan yang sama, kamu ada hubungan apa sama Bu Maria."Brenda kembali menegang, dia pikir dirinya akan lolos kali ini. Namun ternyata dia juga tertangkap oleh Nagisa.
"Apa ini ada hubungannya dengan Gina?" tanya Abila sambil mendekatkan wajahnya ke arah Brenda. Sedikit menakutkan bagi Brenda.
"Bagaimana kamu tahu?"
"Apa? Apa masalahnya?"Brenda mengatur napasnya. Dapatkah dia percaya pada Nagisa saat ini. Bahkam dirinya saat ini juga sangat takut.
"Hei, Abila. Bagaimana perasaanmu ketika kita memiliki seorang saudara yang lama terpisah dengan kita." Mendengar itu, tentu saja membuat jati Abila sedikit pilu. Pasalnya dia juga kehilangan sosok Reynand di dalam hidupnya.
"Kamu tahu, kenapa aku selalu mendekati Gina dan selalu mendukung apa yang dia lakukan. Aku pikir aku bisa mengambil hatinya secara perlahan dengan sikap rasa sayangku pada dirinya. Aku .... " Brenda tak sanggup meneruskan perkataannya, membuat tanda tanya besar di otak Abila. Apa sebenarnya yang terjadi.
"Ada apa, Brenda. Katakan!"
"Aku … dan Gina... dia adalah saudara kembarku yang sebenarnya," aku Brenda.
Mendengar itu, Abilasedikit terkejut. Bagaimana bisa semua itu terjadi? Bagaimana bisa Brenda tahu jika Gina adalah saudara kembarnya.
Dan hari itu juga, Brenda menceritakan segalanya yang dialami pada Nagisa. Di mana Brenda hampir merenggang nyawa karena dirinya yang tak di inginkan bisa hidup di bawah perlindungan Ibu Maria.
Sepulang sekolah, Abila perlahan masuk ke dalam ruangan yang sudah tertata rapi tanpa ada yang berantakan sedikit. Kamar Naviel tak pernah tersentuh olehnya. Memang, setahun yang lalu keluarganya sengaja tak membuang barang milik Naviel karena bayang-bayang akan Naviel pasti segera kembali. Namun, itu hanyalah semu dari seorang Nagisa. Tangisnya pecah ketika mengingat kepergian Naviel yang begitu cepat. Hingga akhirnya tangannya terulur, mengambil sebuah buku catatan milik Naviel. Beberapa kertas terjatuh dari dalam buku tersebut. Satu kertas yang berhasil menarik perhatian Abila berupa pertanyaan apakabar. Lalu di susul dengan ungkapan yang sulit di mengerti oleh Nagisa.
Satu kalimat yang membuat Abila membelalakkan matanya ketika dia membaca .
Tetaplah menjadi saudara kandungku yang tak diketahui identitasmu.
Kalimat tersebut behasil membuat Abila mematung di tempat. Fakta ini menunjukkan bahwa Naviel bukanlah saudara kandungnya dan itu berarti, Naviel juga bukan saudara kembarnya.
"Lalu, aku .... "
Bersambung