Selamat Membaca
"Jangan bandingkan kepribadian dan sikap saya. Kepribadian saya adalah sikap saya. Dan sikap saya tergantung sikap Anda." Choco Valentine.
Bibir Choco pucat pasi, langkahnya gontai memasuki ruang kelas. Sungguh, penampilan gadis itu sudah persis mirip zombie. Gairah semangatnya menurun seiring kaki berjalan setapak demi setapak. Gara-gara diperbudak oleh majikannya alias si Ratu itu, Cherry, Choco harus kerja rodi seperti ini. Bolak-balik keluar demi memenuhi kebutuhan Cherry, disuruh inilah, itulah, membersihkan sepatu, dan permintaan lain yang tidak berguna.
Jujur saja, kalau bukan karena ibunya bekerja di rumah Cherry, mungkin dari tadi Choco menendang gadis angkuh itu ke benua Antartika.
"Pelayan! Cepet ke kelas aku! Perintah penting!"
Mendadak suara Ratu Medusa berdenging di earphone nirkabel kecil yang tertancap pada telinga Choco. Pemberian Cherry. Agar setiap dipanggil langsung bergegas. Lagi, untuk kesekian kalinya, Choco mendengus kasar. Andai ia Naruto, mending dari tadi pakai jutsu Kagebunshin.
"Siap, 'Nyonya'," lirih Choco, kesal. Mematikan earphone-nya, lantas berlari terbirit-birit menuju kelas XI IPA 1.
Tempat di mana Medusa itu singgah. Begitu tiba di lokasi tujuan, Choco segera menghampiri meja Cherry bersama dua rekannya, Beby dan Yasmine, sedang berkumpul paling di jajaran belakang. Dengan tangan mengepal, Choco memberi senyuman manis sambil membungkuk khas 'pelayan'.
"Ya, Nyonya? Ada yang bisa saya bantu lagi?"
"Gercep juga si culun," celetuk Yasmine, tertawa remeh.
"Kerjain PR Bahasa gue, dong. Katanya lo pinter, anak beasiswa, bisa lah bagi-bagi otak."
"Gue juga, ya." Beby ikut menimpali tanpa melirik Choco, tangannya sibuk menggeser layar ponsel.
"Waktunya dikit lagi, nih. Gue masih balesin komen netizen di IG gue. Biasalah, selebgram hits."
"Gak peduli gue, anj*ng," gumam Choco, muak setengah mati. Tanpa menghiraukan mereka, ia lekas maju menggebrak meja Cherry sambil mendorong bahu gadis itu jengkel.
"Lo mau apa lagi, sih? Gak cukup sama perlakuan gue tadi?!"
Cherry mendongak, lalu tersenyum. "Kalo udah cukup, nggak mungkin sekarang aku manggil kamu," katanya, seraya menyodorkan jari-jarinya pada Choco juga kutek merah di meja.
"Tugas kamu sekarang, cat semua kuku pakai kutek itu. Jangan sampai ke luar garis."
Teramat jengkel, tanpa sadar Choco menarik kerah seragam Cherry hingga keduanya semakin mendekat. Tubuh Cherry otomatis cekung ke depan, membalas tatapan Choco yang berkilat emosi.
"Makin lama makin ngelunjak ya lo, Gina! Jangan pikir gue udah jadi Choco gak bisa ngelawan! Inget, bahkan dulu lo lebih hina dibanding gue!" desis Choco murka.
"Lo mau gue sleding?!"
"Silahkan kalo bisa," tantang Cherry.
"Oke, mau sekarang atau ditunda nanti? Sekarang lah, gue males nunggu." Usai mengatakannya, Choco melepas cengkeramannya dari kerah Cherry. Ia menggulung lengan baju sampai siku.
"Gue hajar lo, bangs—"
"Tunggu," cegah Cherry sejenak, refleks kepalan tangan Choco melayang di udara. Embusan napas meluncur dari bibir Cherry.
"Kamu nggak tau timing, ya? Apa kita perlu penonton?"
Tersadar, barulah pandangan Choco mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Para saksi mata berdesakan berniat merekam kejadian tersebut. Ada juga murid kelas lain mengintip di jendela, sebagian berbisik-bisik menggosip. Beby dan Yasmine pun mengamati dengan diam, sontak Choco mengurungkan niat lalu bersikap normal lagi. Mustahil ia melawan Cherry disini, terlalu ramai. Ditambah jabatan Cherry di sekolah adalah 'Ratu Fenomenal' dan 'Tokoh Utama'.
Bisa-bisa Choco di DO dari sekolah, pasti tidak akan ada yang membela tokoh figuran sepertinya.
"Pelayan!" tegur Cherry, menarik ujung rambut Choco.
"Cepat kutek kuku! Tunggu apa lagi?!"
Choco mengulas senyum.
'Kampret.'
***
"AAAA!!! KENAPA GUE HARUS JADI FIGURAN?! KENAPA?"
"SI GINA JADI NGELUNJAK, KAN! MENTANG-MENTANG TOKOH UTAMA, NGEBABUIN GUE SEMBARANGAN!"
"LO PIKIR GUE LEMAH, HAH, SETELAH JADI CHOCO?! GAK! JUSTRU SEKARANG CHOCO KERASUKAN ROH GLENDA!"
"LIAT AJA LO NANTI, GINA! GUE KERASUKAN REOG MAMPUS LO!"
Teriakan demi teriakan terus beruntun dalam situasi sunyi itu. Choco berdiri di atas rooftop sekolah, tangan menggenggam erat besi pembatas sambil menjerit mengeluarkan unek-uneknya. Sumpah serapah sudah ia utarakan untuk (Gina)Cherry.
Selain ini, tidak ada yang Choco lakukan demi membalas perbuatan kejam Cherry. Semakin lama di dunia novel, perlakuan gadis itu terus saja semena-mena pada Choco. Apa karena sewaktu hidup sebelum ditabrak angkot, sosok Glenda sering menjahili Gina sampai sekarang ingin balas dendam dengan raga Cherry?
Sebenarnya Choco tak mengerti, lebih tepatnya jiwa Glenda yang tak paham mengapa bisa terjebak di dunia antah berantah seperti ini? Siapa yang membawanya ke dimensi novel? Apa alasannya? Mengapa hanya ia dan Gina harus berperan dua tokoh berbeda?
Jika tahu begitu, lebih baik dari awal Brenda ingin mati saja.
"Pelayan! Woi, pelayan! Denger nggak, sih?!"
Ah, sepertinya Choco lupa mematikan earphone. Panggilan Medusa terdengar lagi di seberang sana.
"Apa? Lo mau gue kutek lagi, huh? Sekalian bibir lo tuh gue kutek!" sungut Choco.
"Ck, majikan memanggil harusnya kamu senang! Mau Mama kamu nggak aku gaji?"
"Cih, mainnya ngancem." Choco mendecih. "Lemah."
"Sudahlah, sekarang kamu pergi ke perpustakaan. Ambil satu buku paket Biologi, nanti bawa ke kelasku."
"Baik, Nyonya." Ia mengiyakan saja, dengan setengah hati. Barulah Choco mencabut earphone kecil sialan itu dari daun telinganya. Kemudian dilempar ke bawah gedung. "Perset*n sama buku Biologi!"
Namun demikian, ia bergegas meninggalkan rooftop lalu berjalan menuju perpustakaan. Bila perintah sang atasan dibiarkan, takut-takut ancaman yang menyangkut mamanya terkabulkan. Perihal 'tidak digaji'.
Hidup sudah susah, jangan tambah susah.
Tap! Tap! Tap!
Ketika di pertengahan koridor sepi, tiba-tiba Choco mematung. Derap langkah kaki seseorang terdengar searah dengan langkahnya.Kepalanya berputar ke belakang, celingak-celinguk memastikan. Ia merasa sedari dari ada yang mengikuti. Kontan Choco mengusap tengkuknya.
"Gak, gak mungkin setan. Gabut banget kayaknya tuh setan ngikutin gue," sahutnya merinding, tapi mencoba menepis prasangka buruk.
"Ahh, gue harus cepat ke perpus."
Satu menit berselang, kaki Choco berhenti di depan pintu kaca perpustakaan. Sekali lagi, ia terpaku. Melotot saat bayangan seseorang tampak jelas di permukaan kaca, tepat di balik punggungnya. Seorang laki-laki, berkacamata, menunduk lalu mendongak menatap pantulan wajah Choco.
"G-gila! Apa-apaan, sih?!" gumam Choco, terburu-buru masuk perpustakaan.
"Perasaan di novelnya gak ada cerita gue punya stalker."
Kemudian ia terdiam. Lantas melirik laki-laki penguntit berkacamata tadi.
"Jangan-jangan dia suka sama gue?"
***
"Duhh, capek banget. Mana tadi ulangan dadakan lagi," keluh Yasmine, meletakkan kepala di atas meja. Bibir tebalnya mengerucut. "MTK pula."
"Tau, tuh. Pak Yusril mau liat otak muridnya ngabeledug kali, ya," seloroh Beby sedikit berlogat Sunda.
Cherry diam tak mengeluh seperti dua teman gengnya. Lagi pula, ia tadi dapat menjawab soal-soal ulangan Matematika dengan lancar tanpa hambatan. Sangat mudah, sebab ia suka pelajaran itu. Terlebih, dengan sisa kecerdasan sosok Gina yang dulunya rangking satu berturut-turut, tak ayal sepintar ini. Mungkin nanti sekolah akan terguncang melihat nama 'Cherry Camellia' berada di urutan atas peringkat satu paralel.
Ia bersandar pada bangku kantin, saat ini masih berlangsung jam istirahat. Para siswa-siswi menghebohkan suasana kantin elit itu, seluruh meja telah penuh tanpa celah.
"Cher," panggil gadis berbando kelinci. Yasmine.
"Hmm."
"Coba lo panggil lagi si culun, dong. Suruh dia pesen nasgor, gue males ngantri." Yasmine menegakkan badannya lalu menyalakan ponsel.
"Dari tadi belum keliatan tuh anak."
"Iya juga." Beby angguk-angguk".
"Cacing perut gue udah pada demo, cepetan panggil Choco ke sini."
"Tenang, aku panggil sekarang." Cherry menyetujui permintaan mereka, diraihnya ponsel dari saku juga earphone siap memanggil sang pembantu.
"Ah, kayaknya gak perlu, deh. Tuh, orangnya nongol."
Cherry menurunkan ponselnya, mengernyit saat Yasmine berujar sambil menunjuk ke arah belakang dengan dagu. Netra gelap milik Cherry refleks beralih, seorang gadis lusuh dihiasi kacamata kotak dengan kepang dua khasnya tertangkap dalam pandangan.
Choco, berlari tergopoh-gopoh mendekati meja Cherry. Setelah sampai, nafasnya terengah-engah banjir keringat. Membungkuk dengan kedua tangan menyentuh dengkul.
"Panjang umur juga lo, Culun," ledek Yasmine, tertawa sinis.
"Habis dari mana lo? Open BO?"
"Toilet," jawab Choco singkat. Sekarang sudah bisa mengontrol diri.
"Nih." Beby bangkit, menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribu terhadap Choco.
"Cepetan pesen nasgor Bi Rina, tiga piring. Semuanya jangan pedes, kecapnya banyakin. Sana pergi!"
Menerima uang tersebut, Choco mengangguk malas.
"Baik, Para Nyonya."
Muak, Choco ingin sekali bersikap seperti Glenda yang sadis. Pasti sekarang geng cabe-cabean itu tak akan berani mengusiknya. Dia rela menuruti perintah mereka juga karena ini takdirnya sebagai figuran.Tanpa basa-basi, langkah gadis kumuh itu menuju tempat nasi goreng Bi Rina. Antrian kian memanjang, secepat kilat Choco nekat menerobos dan berakhir di jajaran depan. Membuat semua orang yang mengantri dari tadi protes dadakan.
"Bi! Pesen nasi goreng tiga piring! Semuanya pedes! Kalo bisa level 30, ya, Bi!" pekik Choco, direspons acungan jempol dari Emak-emak itu.
"Siap, Neng!"
'Ha! Rasain, tuh! Gue bikin lo bertiga mencret tujuh hari tujuh malam!' Choco terkekeh jahat.
"Ini, Neng! Jadi." Bi Rina menyodorkan tiga piring nasi goreng merah menyala di atas nampan. Sigap Choco terima setelah membayar.
Semoga rencana liciknya ini terbalaskan. Lihat saja, Gina. Meskipun Glenda terlihat buruk rupa akibat penampilan Choco si figuran, jangan harap sikapnya sama lemah.
Saat balik badan, tak sengaja Choco menabrak salah seorang yang berdiri menjulang. Ia terkesan, nampan berisi tiga piring nasgor itu jatuh hingga pecah ke lantai. Nasinya pun berceceran. Semua penghuni kantin refleks mundur menjauh.
Prang!
"Duh, mati gue!" gerutu Choco, berjongkok hendak memungut makanan yang sudah tak layak dikonsumsi itu. Laki-laki yang barusan ia tubruk turut berjongkok, tangannya membantu mengumpulkan pecahan piring juga remahan nasi ke nampan Choco. Bukannya merasa tertolong, justru Choco menganga kaget.
"Lo!" Choco menunjuk wajah laki-laki berkacamata itu. "Lo cowok yang ngikutin gue ke perpus, kan?"
Dia diam, tidak berani menjawab Choco. Hanya menunduk dengan pipi merona merah.
"Aduh aduh, ini ada syuting drama apa, ya?" Suara Yasmine menyeruak di kerumunan, gadis itu tertawa mengejek Choco.
"Oh, jadi lo? Lagi syuting drama comedy sama culun juga? Hahaha."
"Cieee, sampah sama sampah bersatu. Nanti anaknya limbah sampah. Cocok, deh. Uwwu."
"Couple baru, nih, guys! Senggol, dong! Hahaha!"
Choco mendongak, terlihat Cherry bersama kawanannya asik merendahkan. Sementara laki-laki pucat berkacamata tadi, malah berlari keluar dari kantin membiarkan Choco dicemooh seantero sekolah.
Siapa dia? Berani-beraninya ....
Cherry mendongakkan kepala Choco, kemudian menyeringai.
"Suka nggak sama hadiah aku? Apa sekarang genrenya berubah menjadi romance? Antara figuran dengan figuran yang tak sengaja memungut nasi goreng tumpah?"
Bersambung