"Kamu tidak boleh ya punya pikiran tidak baik seperti itu lagi lho, ya," peringat si anak remaja asing. Bersikap seolah orang benar saja.
"A, Apa pun yang ingin aku lakukan itu bukan urusanmu, 'kan?" ia membalas kesal. Orang ini pikir ia siapa bisa seenak hati sok menentukan apa yang harus seseorang lakukan.
"Kalau kamu tidak mau berhenti memikirkannya... nanti kamu lho yang aku kotori," balas si anak asing. Berbisik lembut ke salah satu daun telinganya yang auto memerah padam. Seolah sedang ada kebakaran tak terpadamkan di sana.
Buat ia rasakan sesuatu yang panas seperti naik ke ubun-ubun. Tidak bisa dihentikan. Buat ia merasa makin "bergairah".
Apakah sesuatu yang ia pikir telah mati ternyata tengah menuju kebangkitan?
Entahlah.
*
Keesokan hari setelah malam penuh cerita membingungkan terjadi pada Widya dan seorang siswa asing di gedung kosong. Berlokasi di gedung pertama SMA Swata (Khusus Laki-laki) Prasaja Sirius Bel Esprit. Ia jadi jauh lebih pendiam dari biasa dan hanya bisa menaruh dagu di atas meja dengan tampang anak remaja habis putus cinta.
Sangat madesu.
Teman-teman di sekitarnya, para anak-anak "normal" yang tak mungkin berpikir bahwa ia nyaris saja kehilangan nyawa kemarin (kalau tidak diselamatkan si anak asing), hanya bisa saling berbisik mengira-ngira menebar ghibahan nikmat pembuka hari.
"Itu teh si Wid Wid kenapa? Mukanya macam orang terlilit pinjol satu milyar aja. Gila karena ditelponi oleh desk collector sepanjang hari apa?" tanya seorang teman sekelas Widya bernama Bisma.
Teman rumpian yang bernama Harjita menjawab, "Kita tanyain aja, yuk," ajaknya. "Jangan sampai kita masuk besok ada pengumuman dia sudah wafat karena terjun dari gedung kosong," lanjutnya.
Widya yang (sebenarnya) mendengar ghibahan dua teman sekelas bajigur bin kampret itu auto membatin, TELAT KALIAN, BESTI, TELAT! Aku sudah ingin melakukan itu semua sejak kemarin! Dan lagi kalian ini bisa-bisanya mengghibahi anak orang di jarak sedekat ini dengan suara sekencang itu!
Bikin kesal saja.
Tapi, ahh... mantap.
"Lha, sekarang mukanya jadi kayak orang lagi sange, mph," ucap Bisma saat sudah berada di dekat tempat duduk Widya ditutup dengan tawa yang berusaha ditahan sebelum meledak.
"Wid, kamu itu lho, jangan begitu begitu kalau sedang di sekolah. Nanti saja di rumah juga bisa, oke?" nasihat (nasihat macam apa ini) Harjita sambil mengacungkan jempol kanan dan mengedipkan satu mata sudah seperti calon legislatif yang sedang kampanye saja.
"..." Sabar, Wid, sabar. Orang sabar disayang oleh Tuhan yang Maha Esa. Ameen. Hanya itu respon yang bisa ia beri dalam hati.
"Tidak terbayang betapa ngeresnya otak orang satu ini sampai bisa begitu begitu tanpa gambar atau pemancing," ucap Bisma asal jeplak. Ia tengok kedua tangan sobatnya itu ada di atas paha. Dan tidak ada indikasi mencurigakan apa pun juga. "Lain kali ajari aku ya, bro!" pintanya sambil ikut-ikutan memasang pose ala calon legislatif yang sedang kampanye. Criiing!
"HAAAAAAAAAAKKKKHHH!!!!!!!!!" teriak Widya "pelan" seorang zombie baru bangkit dari kubur. "Pasti gara-gara jarang lihat perempuan. Otak kalian semua jadi ngeres banget," ucapnya kesal.
"Ya lagian kamunya lho yang mencurigakan," ucap Harjita sambil mengeluarkan aura anak baik idamannya, melanjutkan, "Apa kamu tidak ingat kebijaksanaan yang diajarkan saat pertama kita jadi siswa sekolah ini? Prasaja Sirius Bel Esprit. Prasaja berarti berwibawa serta penuh sahaja. Sirius sendiri diambil dari nama bintang paling terang yang bersinar di langit malam. Dan Bel Esprit yang diambil dari frasa bel-esprit yang miliki makna a person of great wit or intellect (orang yang sangat cerdas atau intelek).
"Sebagai siswa dari sekolah mahal ini kita harus meneladani nama-nama tersebut dan menjadi sebagaimananya, bukan?" ia bertanya seraya memasang pose tangan ala Buddha yakni Vitarka sambil pejamkan kedua mata.
Bisma dan Widya, meeehhh.
"Abaikan saja orang ini. Memangnya kamu itu kenapa? Kok tumben masih pagi sudah masang tampang galau begitu," tanya Bisma, "Kamu tidak sungguhan sedang terjerat pinjaman online, 'kan?" Ia jadi ketakutan kalau nomor hapenya jadi salah satu sasaran yang akan ditelponi oleh para desk collector kampret itu.
"Pasti sedang naksir cewek, 'kan?" tebak Harjita sambil memasang jari pose nike di bawah dagu (dan wajah minta ditendang ke planetarium Boscha).
BLUUUSH. Wajah Widya malah memerah padam. Tak bisa ia bayangkan bagaimana siswa yang memiliki tubuh lebih besar darinya itu dianggap sebagai seorang perempuan. Mengerikan. "Tentu saja enggak," responnya.
"Kelihatannya benar, bro," bisik Harjita.
"Pasti benar," balas Bisma.
Widya mendirikan tubuh. Berkata pada dua temannya, "Ngobrol di taman dekat kantin saja, yuk!"
Pergilah mereka bertiga.
*
Selama perjalanan menuju taman sekolah dekat kantin, juga setelah mereka berada di sana. Yang Widya lakukan adalah mengamati situasi di sekitar sana. Coba menebak-nebak dan mencari-cari. Coba mendeteksi setiap wajah siswa yang masuk dalam sudut penglihatan. Apakah ada di antara mereka yang merupakan siswa asing kemarin? Siswa asing yang sudah berhasi buat ia galau sampai detik ini... karena hal "aneh" yang ia lakukan.
*
Tadi malam.
Setelah Widya naik ke atas motornya. Anak asing itu pun menjalankan kendaraan menuju sebuah minimarket dengan deretan kursi serta meja di bagian depannya. Ia meminta Widya menunggu di sana. Widya sendiri yang tak ingin cepat kembali ke rumah memutuskan menurut. Lagipula anak itu juga tidak terlihat maupun terasa seperti orang mencurigakan.
Eh, tapi, ada orang punya sikap sebaik itu juga sebenarnya mencurigakan, sih, batin Widya kemudian. Tapi, lagi-lagi, kekosongan dalam hati buat ia enggan ambil langkah signifikan. Seolah, mau dia orang yang sungguhan baik atau ternyata hanya ular bermuka dua yang punya niat sangat buruk sekalipun, ia tidak lagi peduli.
Widya hanya ingin semua segera berakhir untuk penderitaannya. Walau itu berarti hidupnya juga. Entahlah.
Pintu minimarket terbuka dari dalam. Anak asing itu keluar sambil membawa sekantung goodie bag yang entah berisi apa. Ia hampiri Wida dan disodorkan sekaleng minuman fermentasi susu dengan rasa unik yang ia suka.
"Aku tidak mau menerima apa pun darimu, ya," respon Wida ketus bahkan tanpa melihat wajahnya. Ia hanya menengadahkan kepala menatap langit malam. Berharap pandangan menangkap bintang jatuh yang konon bisa kabulkan keinginan.
Anak itu berkata, "Minumlah ini dulu. Sekarang kamu pasti butuhkan sesuatu yang manis untuk perbaiki perasaan. Selain itu," ia merogoh lagi isi goodie bag-nya, "biarkan aku obati tanganmu yang terluka, ya."
Mengobati tanganku? Widya langsung melihat salah satu tangannya. Memang ada luka cukup besar tengah bersarang di sana. Sampai merobek kemeja yang ia kenakan juga. Habis, waktu didorong jatuh tadi ia tak menggunakan blazer. "Ya ampun, sampai tidak terasa kalau ada luka sebesar ini," ucapnya datar.
Akankah ia izinkan orang asing itu masuk dan sembuhkan luka tersebut? Atau hal lain akan terjadi?