Chereads / Etranger: Siswa x Mafia / Chapter 5 - 4: Apa Alasanmu? [A]

Chapter 5 - 4: Apa Alasanmu? [A]

Di akhir jam pelajaran terakhir sekolah hari itu. Kedua kaki Widya sudah bergoyang-goyang tidak sabar ingin segera pulang. Konsentrasinya tak bisa serius mendengar penjelasan guru yang masih berlangsung. Ia hanya melihat ke arah sudut kelas di mana bel terpasang. Membayangkan, kapan benda itu akan berbunyi?

"Jadi, materi yang kita pelajari hari ini tolong kalian ulang terus ya di rumah karena akan jadi bahan untuk ujian beberapa minggu ke depan," beritahu pak guru yang sedang mengajar saat itu.

Saat anak-anak lain sibuk menandai materi dengan spidol aneka warna. Tokoh utama kita malah sibuk membereskan barang-barang di atas meja. Bisma dan Harjita yang melihatnya cengengesan saja. Sudah menebak sepertinya ada yang sudah tak sabar kawan mereka satu itu dapatkan.

KRIING KRIIING KRIIING!!! Bel sekolah berbunyi tiga kali tanda kegiatan belajar mengajar hari itu telah usai. Pak guru merapikan buku di atas meja dan menghadap kea rah para muridnya. "Baik, anak-anak. Terima kasih banyak atas kerja sama sikap baik kalian hari ini. Pekerjaan rumahnya jangan sampai lupa dikerjakan. Dan sampai jumpa di kelas kita selanjutnya," ucap pak guru. Menuturkan salam penutup yang sudah template diucapkan semua guru sejak kelas sepuluh.

Para siswa mendirikan tubuh mereka dan membalas sambil sedikit membungkukkan tubuh, "Terima kasih banyak atas pelajaran Anda hari ini, Pak Guru."

Saat anak-anak lain masih asyik mengobrol sambil menyicil memasukkan barang bawaan mereka ke dalam tas. Bisma melihat ke arah Harjita yang duduk di bangku seberang, Dan Widya yang duduk di belakang. "Ges, habis ini kita ke..."

Wuuush. Tanpa pakai salam atau tedeng aling-aling Widya langsung ngebut menuju pintu keluar. Meninggalkan Bisma dan Harjita dalam kediaman.

"Ada apa sih antara dia dengan Sas?" tanya keduanya bersamaan.

*

Tempat apakah yang dituju oleh Widya sepulang sekolah? Tentu saja parkiran motor siswa. Mana lagi? Tempat ia sudah janjian dengan teman "barunya". Untung saja tak lama menunggu yang dinanti datang bersama beberapa teman sekelas yang memarkir motor berdekatan.

Cih. Widya merasa terganggu melihat Sas bersama anak lain. Rasanya seperti... ada yang buat hati jadi iritasi.

"Terima kasih ya sudah datang," ucap Sas lembut seraya memberikan sebuah helm yang lebih kecil dari miliknya ke Widya.

Widya menerima helm itu dan langsung mengenakannya. Wangi, batinnya senang. Tentu saja bukan wangi keringat atau ketombe pemakai sebelumnya melainkan wangi helm yang baru dicuci. Atau hanya diberi minyak wangi? Entahlah, yang jelas wangi helm itu enak dan buat ia merasa nyaman.

"Sudah siap?" tanya Sas dari depan.

Widya menjawab, "Aku bukan anak TK yang harus kamu tanyakan hal semacam itu. Lagian memangnya kita mau ke mana?" tanyanya balik.

Sas pun menjalankan motornya keluar dari gerbang sekolah. Menjawab, "Ke suatu tempat yang selalu aku datangi saat sedang putus asa."

Tak jauh dari sana, Bisma dan Harjita yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa... "Waow."

*

Sampailah mereka di pelataran parkir motor tempat yang Sas tuju. Mereka turun dan berjalan berdampingan menuju bagian dalam.

Widya bertanya, "Apa maksudmu membawa aku ke sini? Apa kamu sedang putus asa? Apa sekarang kamu yang mau mengakhiri hidup?"

Sas tak menjawab dan terus berjalan menuju sebuah bangku panjang untuk dua orang berwarna putih yang ada di tengah tempat itu. Ada empat bangku di sana yang posisinya semua saling membelakangi hingga membentuk pola persegi. Di bagian tengah ada air mancur putih yang tidak begitu besar.

Mereka duduk di salah satu bangkunya. Tidak ada orang lain juga di sana saat itu.

"Kamu belum jawab pertanyaanku," ucap Widya.

"Lihatlah ke depan sejauh mata memandang," pinta Sas pelan, "Ada ratusan makam di sana."

"Kenapa kamu mengatakan hal seperti ini ke aku? Kupikir kamu sedang putus asa," balas Widya datar. Namun, hanya di luar. Dalam hati sebenarnya ia cukup tersentuh. Tersentuh dalam artian yang tidak baik.

"Sama sepertimu, saat sedang sedih atau depresi aku juga pasti ingin mengakhiri semua saja. Berpikir bahwa ada hal indah setelahnya jika membuka mata. Tapi, pada kenyataannya yang akan aku terima hanya lubang di tanah seluas satu koma lima kali dua koma lima meter. Bahkan kita tidak tau apa yang akan terjadi setelah itu," ucap Sas panjang lebar.

"Ini... sudah bukan lagi..." ucap Widya. Tanpa sadar meneteskan air mata. Dia sama sekali tidak memahami apa yang aku alami, tapi berani-beraninya malah menceramahiku.

"Aku memang tidak tau apa pun soal dirimu, Widya. Aku hanya orang asing numpang lewat yang kebetulan melihatmu ingin loncat dari atap suatu gedung kosong. Tapi, aku tau kamu tidak boleh melakukan hal itu. Bahkan apabila suatu saat nanti kamu ingin melakukannya lagi."

"Itu bukan..." Widya berusaha membalas.

"Ini memang bukan urusanku. Apa pun yang akan kamu putuskan dalam hidup adalah hakmu. Tapi, aku tidak mau melihat kau mengambil jalan yang salah," ucap Sas sebelum Widya menuntaskan kalimat.

Cih, sial, umpat Widya dalam hati. Walau ia sangat ingin pergi. Ia terasa seperti tak bisa gerakkan tubuhnya. Ingin tetap ada di sisi si pemuda. Entah perasaan aneh macam apa yang aku rasakan ini, batinnya lagi.

"Aku tidak ingin kehilangan dirimu, Widya," ucap Sas tiba-tiba. Sambil mengangkat kepala menatap langit biru cerah indah yang terbentang di atas mereka. Langit yang setia naungi walau tidak pernah berjanji untuk lindungi.

Widya mendirikan tubuh dan berjalan ke depan Sas. Bertanya, "Ke, Kenapa kamu bisa mengatakan hal seperti itu, sih?! Kenapa orang seperti kamu berani muncul dalam hidupku dan seenaknya berkata kalau tidak ingin kehilangan? Memang aku siapamu?" teriaknya dengan hati sangat dongkol.

Sas malah mengalihkan pandangan. Ia tak ingin tatapan mereka bertautan.

"Kenapa kau malah buang muka??!" tanya Widya sambil mengembalikan wajah Sas menatapnya dengan mencengkram dagu.

Anak remaja laki-laki itu tersenyum lembut. Menjawab, "Kamu tidak perlu tau apa alasannya. Satu hal yang harus kamu tau. Aku tidak pernah memiliki niat buruk atau ingin menyakitimu."

"Hahh...?"

"Aku hanya tidak ingin terjadi hal buruk padamu. Untuk saat ini dan selamanya," lanjut anak itu.

"..."

A, Anak ini benar-benar membingungkan, batin Widya. Antara perasaan kesal karena ingin dimengerti. Atau perasaan gundah karena ingin coba memahami. Dan ia merasa awan hitam dengan petir tengah berkumpul di tenggorokannya.

Tes... tes... tes...

"Kenapa kamu menangis? Apa aku buat kamu sedih? Apa ada yang salah dari ucapanku?" tanya Sas lembut sembari memposisikan wajah untuk melihat Widya yang menunduk.

"Aku tidak menangis. Laki-laki dari keluarga Arienh tidak boleh melakukan hal yang hanya dilakukan perempuan," ucap Widya dengan tatapan yang berusaha dibuat tampak tegar.

Arienh? Ctik. Sas menyentil pelan dahi Widya. Berkata, "Ucapanmu itu toxic masculinity, lho." Ia dirikan tubuh dengan dada yang terbusung berusaha melepas pegal sambil menarik nafas. Haahh. "Semua orang berhak merasa sedih, kok. Tidak peduli apa jenis kelaminya."

"Apa untuk itu kamu membawaku ke sini?" tanya Widya.

"Iya," jawab Sas tersenyum lebar. "Karena akan merepotkan kalau kamu harus ke kuburan dulu untuk meneteskan air mata. Aku berjanji akan selalu ada... untuk jadi tempatmu menangis kapan saja kamu butuhkan."

"Anak ini benar-benar aneh," ledek Widya. Air matanya masih menetes, tapi wajahnya tersenyum lebar.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Sas sambil menyeka genangan air mata Widya dengan satu jari.

"Hah, lumayan," jawab Widya. Ganti ia yang buang muka.

"Hee hee hee," tawa Sas geli.

Ujung mata Widya tiba-tiba menangkap sebuah batu nisan yang bertuliskan nama, Sasmika N. D. Bhagawanta. Deg. Jantungnya berdetak cukup aneh saat itu. Melihat nama yang... itu bukannya nama... Ia ayunkan satu telapak tangan ingin memanggil Sas yang ada di samping. "Bro, bro, bro," panggilnya.

Namun, saat ia angkat wajah. Sas sudah tidak ada di mana pun.