Chereads / Etranger: Siswa x Mafia / Chapter 11 - 10: Kembali! [A]

Chapter 11 - 10: Kembali! [A]

Setelah Widya meminta Sas untuk tidak pernah dekati atau menemui dirinya lagi dengan harapan bahwa itu akan jadi jauh lebih baik untuknya, untuk mereka berdua, agar terhindar dari serangkaian hal tak terduga. Yang sungguh terjadi malah sebaliknya. Sas kembali menemui Widya di titik paling rawan sekaligus penting dalam hidup anak remaja delapan belas tahun itu. Saat di mana ia berpikir bahwa kematian adalah jawaban terbaik untuk akhiri semua rasa sakit.

Apa yang akhirnya terjadi selanjutnya adalah mereka berdua pun malah makin dekat. Dan kata perpisahan yang dulu selalu sibuk ia gembar-gemborkan berakhir jadi hal yang tak mungkin lagi bisa anak remaja dilematis itu ucapkan.

*

"Darliiing~!!!" teriak Sas dari ambang pintu kelas Widya, Bisma, dan Harjita.

Anak-anak lain yang mendengar itu biasa saja dan hanya merespon dengan tawa. Selama ini Sas sendiri bukan anak yang neko-neko. Ia memang cukup good looking dan memiliki proporsi tubuh bagus. Tapi, ini sekolah khusus anak laki-laki. Hal semacam itu tentu tak akan buat ia ujug-ujug jadi siswa super populer yang selalu dikerumuni cewek-cewek SMA cantik. No, men, no.

Begitu juga dengan Widya yang selama ini hanya anak rata-rata air saja. Ia punya ukuran badan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan tinggi badan laki-laki Indonesia pada umumnya. Tapi, jika di SMA Swata Internasional (Khusus Laki-laki) Prasaja Sirius Bel Esprit yang tinggi badan rata-rata siswanya seratus tujuh puluh sampai seratus tujuh puluh lima senti, angka yang menunjukkan tinggi badan Widya ya cenderung biasa saja. Sama sekali tidak ada yang istimewa.

Tapi, kedekatan mereka berdua beberapa waktu terakhir ini seperti beri angin segar untuk kehidupan remaja para siswa Prasaja Sirius Bel Esprit. Seperti ada hal menyenangkan yang buat banyak orang sepakat "mendukung" saja hubungan yang sedikit… buat geli itu.

Mendengar panggilan norak Sas, Widya langsung keluar dari bangku dan berjalan menuju pintu. Ia tepuk dahi anak remaja yang sepuluh senti lebih tinggi darinya dengan ujung pulpen Pilot berwarna hijau. Ctik. "Bisa tidak jangan memanggil aku dengan sebutan aneh begitu? Menjijikkan tau," peringatnya dengan raut wajah kesal. Tapi, di mata anak remaja lelaki di depannya itu adalah raut yang cukup menggemaskan.

Sas langsung berjalan ke belakang Widya dan mendorong anak itu keluar dengan langkah riang. "Sudah, sudah, jangan marah-marah terus. Nanti kamu bisa berubah jadi perempuan tua, lho," ia memperingatkan.

Uhu, lucu sekali. Eh. "Enak saja. Lagipula kita ini mau ke mana?" tanya Widya sok risih. Padahal dalam hati sebenarnya ia tengah rasakan sesuatu yang aneh. Sedikit ganjil, tapi tak berusaha ia sangkal. Sangat senang.

"Tentu saja ke kantin, dong. Ini kan jam makan siang. Biar aku yang bayar semuanya, ya," jawab Sas dengan wajah tersenyum cerah ceria seolah tak pernah ada beban dalam hidupnya.

Widya langsung menepuk dahi dengan satu telapak tangan. Plok. Berkata dengan bisikan super lirih, "Kamu ini katanya sudah tidak punya orang tua. Apa disebutnya? Anak yatim piatu, ya? Tapi, apa yang kamu lakukan selama ini malah seperti anak sultan."

"Yah, kan tidak semua anak yang tidak punya orang tua lagi itu anak yang kekurangan dari segi material, Wid," balas Sas lantang. Tegas.

Kalau boleh jujur juga sebenarnya ia tak berharap Sas akan mendengar ucapan tidak jelasnya itu. Ah, jadi merasa tidak enak, 'kan, ia membatin. "Bicaraku memang tidak sopan. Aku minta maaf, deh. Bukannya aku menganggap semua anak yang tidak punya orang tua sebagai anak yang perlu dikasihani juga." Ia melanjutkan dalam hati, kalaupun dia anak yatim piatu bisa jadi sebelum pergi kedua orang tuanya mewariskan harta ratusan juta dollar di bank Swiss. Dan lagi bukankah biaya bulanan dan tahunan sekolah ini sudah cukup mahal. Bodoh juga kalau aku sampai berpikir dia berasal dari kalangan bawah yang tidak akan sanggup membayar.

Sas merespon, "Yah, apa pun yang orang lain pikirkan soal keadaanku itu sudah tidak jadi masalah. Aku ini sudah sangat biasa dipandang dengan sebelah mata," akunya dengan raut wajah dan nada suara datar.

Aduh, dengar cerita seperti itu yang ada aku malah jadi makin kasihan, batin Widya. Saat ia melihat lagi ke wajah berjarak sepuluh sentinya Sas. Anak remaja laki-laki itu terlihat tidak sama lagi seperti bagaimana ia melihatnya sebelumnya. Ia kini dalam sekejap bertransformasi jadi sosok anak remaja laki-laki mandiri dengan jiwa kuat ditambah sikap pantang menyerah dan tidak boleh dilupakan…

Sangat good looking, batin Widya. Tak sepenuhnya sadar. Namun, ia segera sadar akan pemikirannya yang tidak terduga. Segera ia gelengkan kepala dan tampari kecil kedua pipi. Puk puk puk.

Duk. Sas menjitak lembut batok kepala Widya. Bertanya dengan wajah geli, "Hi hi hi, kamu itu kenapa, sih?"

Saat itu… wajah Sas seolah tengah pancarkan cahaya lebih terang dari biasa. Seolah beri petunjuk untuk jalan keluar dari seluruh kegelapan yang selama ini lingkupi seumur hidupnya. Seluruh jiwa.

*

Sepulang sekolah. Sesuai permintaan Widya agar ia tak bersikap terlalu mencolok yang bisa membuat mereka diterpa gosip miring atau hal semacam itu (apa dah). Sas tak lagi muncul di depan kelas anak itu dengan gaya seperti anak kucing hilang yang baru bertemu majikan.

"Pacarmu ada di mana?" tanya Bisma (dengan nada sok tanpa dosa dan bangkenya).

Greph. Langsung Widya cekik leher anak yang duduk di depannya itu dengan dua telapak tangan. "Siapa yang baru saja kamu sebut pacar, BISMA?!" tanyanya datar, tapi menusuk. Sekaligus niat hilangkan nyawa.

"Too… To… Toolooo…" usaha Bisma memohon pertolongan dari anak sekelas yang terlihat santai saja kalaupun sebentar lagi ia akan kehilangan nyawa juga. Malah bagus kalau ada orang meninggal kan biasanya jadi banyak makanan.

Teman sekelas kampret.

Melihat salah satu dari teman baiknya sedang sekarat perjuangkan hidup. Harjita pun membawa tasnya dan berjalan ke barisan tempat duduk Widya dan Bisma. Berkata, "Teruskan, Wid Wid! Lumayan kalau dia meninggal akan ada tahlilan yang beri makan gratis," dukung anak itu semangat.

Taik, taunya sama saja!

"Aha ha ha ha," Widya tertawa mendengar ucapan Harjita dan melepas cengkraman dua telapak tangannya dari leher Bisma.

Bisma diam saja karena anak lain yang melihat pun hanya menganggap itu candaan belaka yang tidak serius. Tapi, ia pegang lehernya sendiri. Ia yakin pasti ada bekas tertinggal di sana. Habis… dia sungguhan ingin aku kehilangan nyawa apa bagaimana, hah? Sumpah, aku bukan orang lebay. Tapi, sakit sekali, lho, ia membatin hendak dirikan tubuh. Tidak ingin melihat lagi ke arah Widya yang ia rasa sedang sembnyikan kekuatan titan dalam dirinya. Padahal selama ini dia kelihatan lemah dan biasa saja. Taunya malah… hmm.