Harjita menjawab, "Katanya ada urusan keluarga. Sangat penting. Tidak bisa diganggu gugat."
"Urusan keluarga macam apa juga sih yang bisa sampai buat izin segala dari sekolah? Urusan keluarga itu kan paling bahas kawinan atau kematian salah satu anggotanya," tanya Sas lagi, "Sejak kapan di sekolah kita yang punya peraturan dan tata tertib sepanjang Sabang sampai Merauke ini izinkan siswanya tidak masuk hanya karena alasan tak penting seperti itu? Dan lagi kita ini sudah kelas dua belas, lho. Apa keluarganya waras sampai buat anak itu tidak masuk hanya karena acara keluarga yang pastinya nggak penting penting amat?" tanyanya terus. Semakin panjang kali lebar.
Sampai buat Harjita dan Bisma kewalahan. Bingung ingin jawab yang mana dulu.
"Hessh, sebelum menanyakan hal sebanyak itu sampai buat kepala kami pusing begini. Seharusnya kau cari tau dulu kan latar belakang keluarga Widya?" tanya Bisma.
"Aku sudah tau, kok," jawab Sas, tak terima dianggap tak mengetahui apa pun soal seseorang yang ia suka, "Nama belakangnya Arienh, 'kan? Apa dia berasal dari klan Arienh yang terkenal menguasai banyak daerah di negara ini itu?" tanyanya pura-pura memastikan saja.
"Nah, kalau sudah tau bagus," ucap Harjita. Ia melanjutkan, "Kalau punya latar belakang kuat begitu rasanya tidak masuk sekolah saat sudah kelas dua belas saja bukan masalah. Iya, 'kan?" tanyanya.
"…"
"Kenapa mukamu jadi seperti orang kesurupan begitu?" tanya Bisma asal jeplak, "Kalau mau kesurupan balik ke kelasmu sana! Aku tidak mau kelasku jadi punya hawa mistis," perintahnya seraya dirikan tubuh dan hendak mendorong Sas ke arah pintu keluar.
Namun, tangannya malah ditampik. Plak. Sas menutup dua mata dengan satu telapak tangan. Menundukkan wajah dan berkata, "Perasaanku tidak enak soal tidak masuknya Widya hari ini."
"Yah, orang kalau sedang kasmaran mah memang pasangannya pergi ke kamar mandi saja sudah pasti akan cemas, ya," komentar Bisma.
"Peka dikit dong, Bis!" nasihat Harjita sambil mencubit kedua pipi anak itu. Ia lihat lagi Sas yang masih memasang tampang galau, "Mau bagaimana lagi. Ingin memastikan juga kita kan tidak tau di mana rumah Widya."
"Padahal aku disekolahkan ke all boys school agar tidak merasakan hal semacam ini." ucap Sas lirih. Namun, apabila jalan hidup telah disuratkan oleh Tuhan. Tidak peduli apa yang para makhluknya lakukan atau usahakan. Pasti akan tetap saja kejadian.
Bahkan apabila lewat berbagai macam cara tidak terduga.
Sungguh nestapa. Haahh, namanya juga hidup manusia.
*
KRIING KRIIING KRIIING!!! Bel sekolah berbunyi tiga kali tanda kegiatan belajar mengajar hari itu telah usai untuk para siswa SMA Swata Internasional (Khusus Laki-laki) Prasaja Sirius Bel Esprit. Sas yang perasaannya seharian ini tidak bisa tenang karena pikiran buruk soal keadaan Widya terus menghantui.
Kenapa, ya? Kenapa, ya? Kenapa, ya? Kenapa ya perasaan Sas hari ini sangat tidak menentu terkait anak itu? Mulai dari Kak Herju yang menasihati soal pentingnya kesiapan untuk kehilangan seseorang dalam jalani sebuah hubungan. Sampai yang lain. Seperti nomor Widya yang sama sekali tidak bisa dihubungi karena mati sejak pagi.
Ah, sungguh sedih bin pedih hati ini. Namun, sebagai manusia yang tak bisa kendalikan segalanya memang ia bisa apa juga?
Drap drap drap drap drap drap drap! Segera ia kebut langkah ke parkiran motor siswa. Ia tak peduli pada bagaimana anak-anak lain melihat tingkahnya dengan tatapan tak biasa. Yang paling penting adalah bagaimana perasaan terganggu yang kuasai hatinya bisa secepat mungkin sirna.
Dan… BRUUMM!!!
"Wah, kelihatannya Widya benar-benar sudah jadi main course ya dalam hidup Sas," komentar Bisma.
"…"
"Kenapa kamu diam saja? Tumben," tanya Bisma pada Harjita saat mereka berdua sama-sama menuju motor masing-masing di parkiran yang jaraknya tidak begitu berjauhan.
"Tidak apa-apa, sih. Hanya berpikir saja. Berharap suatu saat nanti bisa temukan seseorang yang bisa buat aku bersikap begitu. Kelihatannya menyenangkan, bukan?" respon Harjita bertanya balik. "Jadi semangat karena seseorang. Jadi antusias karena seseorang. Bisa jadi tiba-tiba lakukan perbuatan juga perubahan tak terduga karena keberadaan seseorang."
"Tidak semua manusia dilahirkan ke dunia ini dengan nasib baik seperti itu, 'kan?" respon Bisma. Naik ke atas motornya.
"Nasib baik, ya," ucap Harjita lirih. Ikut naik ke atas motornya sendiri. Mengenakan helm. Siap kembali ke kehidupan gelap gulita sepulang sekolah mereka.
*
Setelah berputar-putar tak tentu arah tujuan dengan kendaraan beroda dua yang hanya menambahi emisi karbon juga kemacetan kota itu. Sas tak juga berhasil menemukan kedamaiannya. Seolah apa yang orang sebut sebagai rasa tenang itu tak pernah ada.
"Aduh, harus ke mana lagi aku, ya?" tanyanya saat berhenti di tepi jalan untuk beristirahat.
Tiba-tiba sebuah destinasi terlintas dalam kepala. Segeralah ia kebut si tunggangan beroda dua. BRUUMM!!!
*
Gerbang kegelapan yang waktu itu. Di sana sangat sepi. Tak ada satu pun orang atau pedagang yang umum ada di segala sudut dan sisi kota ini. Tempat itu benar-benar seperti daerah gedung terbengkalai tempat ia pertama kali berjumpa dengan Widya. Aura tidak enak menyeruak pekat menguar dari dalam sana. Membuat seorang Sas yang belum pernah takut pada apa pun juga pun ciut nyalinya.
Apa yang ada di dalam sana terasa seperti tempat jin buang anak, batin Sas. Berpikir ulang saat ingin lanjutkan perjalanan. Rasanya ia bisa hilang dari dunia ini sampai nekat masuk.
Eh.
Tiba-tiba dari kegelapan dan kesunyian dalam. Sas melihat sepasang "mata" menyala dari kejauhan sana. Semakin dekat memperjelas bentuk. Druumm.
Sebuah mobil? Ia bertanya dalam hati. Perasaan tidak enak yang sejak pagi menggelayuti sanubari beranjak pindah dari seorang Widya ke kendaraan beroda empat itu. Terus melaju makin menjauh. Ia akan kehilangan jika tak segera bertindak cepat.
BRUUUMM.
Apa yang terjadi maka terjadilah!
*
Sas sangat yakin Widya, seseorang yang sudah merebut atensinya untuk pertama kali hampir tiga tahun duduk di bangku sekolah menengah atas, ada di dalam kendaraan beroda empat convertible (mobil atap terbuka) itu. Bentley Continental yang miliki tampilan klasik, namun tak berusaha hilangkan kesan modern dari rancangan designnya secara keseluruhan. Memiliki empat kursi dengan mesin berkapasitas 5998 cc yang dapat menghasilkan tenaga sampai 567 hp. Saat baru dikeluarkan harganya cukup "murah", tidak sampai sepuluh milyar.
Tapi, apa kira-kira alasan kendaraan seharga lebih dari delapan milyar bisa sampai ada di daerah dengan hawa tidak enak seperti ini?
Perasaanku sangat tidak enak. Tapi, anak remaja itu tetap memutuskan untuk mengikuti. Paling tidak sampai jarak mereka dipisahkan oleh jalan tol.
"Sepertinya aku melupakan sesuatu," batinnya tak mau berburuk sangka. Ia putar lah Yamaha MT 15-nya kembali susuri jalan menuju apartemen tempat ia tinggal.
*
"Rumah" tempat Sas harusnya kembali sesuai yang Kak Herju pesankan tadi pagi.
Pria dua puluh sembilan tahun dengan tinggi badan dua ratus senti itu menaruh dua tangan di belakang tubuh dengan sikap tegak sempurna kala menghadap seorang pria tua bersahaja yang tampak jauh memiliki kedudukan timbang dirinya.
Tentu saja.
"Kenapa Sas belum datang, Juno?" tanya pria itu.
Glek. "A, Ayah, apa tidak bisa katakan hal ini pada saya saja? Dia masih terlalu kecil, ceroboh, juga sulit ditebak. Saya tidak ingin beri masalah untuk Ayah sampai meminta anak seperti dia lakukan pekerjaan penting.
"Saya mohon," pinta pria itu dengan raut penuh harap.
Pria senja yang duduk di balik meja memadamkan api cerutu Gurkha His Majesty's Reserve yang sejak tadi ia nikmati. Ia tatap dengan pandangan tajam pria yang berdiri di depannya. Bertanya, "Sejak kapan kamu mulai punya keberanian untuk katakan hal seperti itu pada saya, Herju?"
"…"
"Apa kamu lupa peraturan pertama saat bicara dengan saya?" tanyanya lagi.
A, Akan aku panggang, goreng, tumis, rebus, dan cincang kamu di apartemen nanti, Sas, tekad pria itu sepenuh hati.
*
Sementara itu, Sas sedang santai membuat Pop Mie di dapur apartemen sambil sesekali pergi ke ruang keluarga untuk memeriksa acara yang sedang ditontonnya.
"Aku harap tidak terjadi atau akan terjadi apa pun pada dirimu, Widya my darling," harap anak itu tulus dari relung hati paling dalam.
Hmm, siapa yang sebenarnya harus ia khawatirkan saat ini? Apa memang Widya? Atau...