Chereads / Etranger: Siswa x Mafia / Chapter 14 - 13: Herjuno [A]

Chapter 14 - 13: Herjuno [A]

Tidak punya kedua orang tua atau keluarga saja bukan masalah besar untuk seorang Sas. Lagipula sejak kecil juga ia jarang menggantungkan hidup dari mereka. Kalau boleh jujur, malah bukan kehilangan dua orang tuanya yang masih buat ia sedih dan kehilangan sampai detik ini.

Seorang wanita yang cantik. Wanita yang lembut. Wanita yang selalu buat ia merasa lebih berharga dari bagaimana juga ia menganggap dirinya sendiri.

Sejak kecil Sas memang sudah punya prinsip untuk tidak miliki banyak hubungan dengan orang lain dalam hidup. Relasi yang terjalin kalau bisa ya antara dua orang manusia saja. Tidak pakai banyak perasaan. Itu juga alasan yang buat Sas belum pernah pacaran sampai usianya saat ini.

Ia tidak mau banyak kehilangan. Itu kenapa ia juga tidak mau banyak memiliki. Sebuah pola pikir yang masuk akal sekali, bukan?

Tapi, beberapa waktu lalu ia tanpa sengaja malah lakukan "kesalahan" besar. Entah bagaimana nasib berdansa di antara para bintang hingga buat dirinya berakhir bertemu dengan seseorang yang buat ia tak bisa palingkan wajah. Tetap di tempat.

Semua hal tentang Widya saat ini seolah hanya menjadi pusat dari pusara seluruh perasaannya yang tak terkira.

"Aduh, aku sudah ganteng belum ini, ya?" ia bertanya seraya menatap cermin di ruang keluarga. Hanya kenakan kemeja seragam sekolah tanpa celana.

Bruukh. Dari dalam kamar, seorang pria yang Sas panggil dengan honorifiks 'kakak' melempar celana panjang seragam anak itu. Tepat mengenai bokongnya yang seksong. "Jangan porno aksi kamu, Sas! Masih pagi ini. Menodai penglihatan suciku saja," peringatnya sambil mengucek satu mata kesal.

"Kak Herjuno, bisa-bisanya kamu mengatai aku kayak gitu saat dirimu sendiri bahkan hanya tidur menggunakan celana dalam," balas Sas risih seraya menaikkan celana seragam.

Herjuno mendirikan tubuh, masih dalam keadaan porno aksi alias bugil ria, berjalan keluar kamar menghampiri sang "adik" tercinta. Dengan kesadaran belum sepenuhnya kembali ke alam pikiran. Ia jatuhkan kepala di salah satu pundak Sas. "Hari ini bisa tidak kau tidak usah pergi ke sekolah? Setelah sekian lama akhirnya aku bisa dapat libur satu hari full. Temanilah kakakmu yang lemah gemulai serta tak berdaya ini," pintanya lirih, penuh harap.

Sas langsung memindahkan kepala pria berusia dua puluh sembilan tahun itu dan menyeret tubuhnya agar duduk di sofa. "Maaf ya, Kak Herju. Sekarang aku sudah punya pacar di sekolah. Jadi, tidak mau kebanyakan bolos," beritahunya percaya diri.

Dua mata Herjuno yang tadi masih sangat mengantuk tiba-tiba auto terbuka lebar kala dengar ucapan "adik" kesayangannya yang sudah miliki tambatan hati. Criiing! "Pacar? Kekasih kamu bilang? Seperti apa bentukannya? Namanya siapa? Latar belakang keluarganya bagaimana? Rumahnya di mana? Dua orang tuanya siapa? Nama bapak dan ibunya? Berapa mantan pacarnya? Apa dia playgirl?" tanya pria itu asal jeplak saja apa pun yang kebetulan terlintas dalam kepala.

Sas ingin tertawa melihat respon sang kakak. Ia hampiri pria itu sambil membawa segelas jus jeruk dan piring berisi beberapa lembar roti panggang. "Sudah, sudah, sudah. Kak Herju kalau belum bangun lebih baik tidur lagi sana! Atau makan itu sarapannya sebelum dingin dan jadi keras seperti karet ban mobil!" perintahnya sambil mengenakan dasi sekolah. Siap mengambil blazer yang tersampir di pegangan sofa. Mengenakan sepatu setelah itu berangkat menemui sang pujaan ha… UHUK!

"Apa maksudmu, Sas?" tanya Herjuno yang baru mulai benar-benar kembali kesadarannya. Iya juga, ia baru sadar. Adik laki-laki yang paling ia sayangi itu kan sekolah di SMA khusus laki-laki. Bagaimana pula ia bisa membayangkan kekasih baru Sas berjenis kelamin perempuan.

"Ya, begitu, deh," jawab Sas duduk di depan pintu sedang mengenakan sepatu.

"Kamu serius?" tanya Herjuno jauh lebih serius.

"Yah, belum resmi jadian juga, sih. Baru pendekatan. PDKT," jawab Sas.

"…"

"Apa pun yang aku lakukan itu bukan masalah kan selama tidak berhubungan dengan kelompok atau beri masalah untuk Kak Herju?" tanya Sas sedikit menoleh ke arah pria bugil di atas sofa.

"…"

"Kak Herju?" panggil Sas lagi.

"Untuk saat ini kamu memang bebas lakukan apa pun yang kamu suka, Sas. Tapi, entah kapan waktunya pasti akan datang. Saat itu tiba kamu harus siap lepaskan semua orang yang kamu cintai.

"Agar kamu tidak perlu bernasib sama dengan Kak Herju," nasihat pria itu.

"Nyambung saja belum sudah diminta memikirkan perpisahan. Suram sekali sih hidupmu, Kak Herju," balas Sas kesal dengan intonasi tidak terima. Ia dirikan tubuh. Ia buka pintu. Siap menyambut hari baru dengan perasaan baru juga kebersamaan yang baru.

"Sas, Sas, Sas," panggil Herju sebelum Sas penuh menutup pintu.

Dengan terpaksa langsung ia buka lagi. "Ada apa sih, Kak Herju?" tanyanya.

"Sore nanti ada hal penting yang harus dibahas. Kamu harus segera pulang ke rumah," beritahu Herjuno. "Jangan kelayapan ke mana-mana, lho!" lanjutnya.

Huh, sesuai situasi dan kondisi, ya, jawab Sas dalam hati. Tak ada kata terlontar di luar.

Widya my darling, I'm coming!

*

Saat pagi sebelum bel masuk berbunyi, Sas sudah siap sedia mengapeli sang pujaan hati ke kelasnya sendiri. Tapi, kata Bisma dan Harjita Widya belum datang. Penuh kesedihan ia pun kembali ke gedung tempat di mana kelasnya berada dengan hati hampa.

Saat ini yang ia bisa hanya bersabar menanti sampai bel istirahat pertama berbunyi untuk kembali ke kelas Widya.

Aduh, rasanya jadi orang yang sedang jatuh cinta itu ternyata seperti ini, ya, batinnya tidak senang. Jatuh cintanya memang senang. Tapi, seperti yang tadi pagi kakaknya peringatkan. Tidak bisa selalu bersama atau memikirkan momen di mana kebersamaan itu harus hancur terasa sangat lukai perasaan.

"Haaaaahhh."

*

Bel istirahat pertama akhirnya berbunyi juga. Dengan penuh semangat Sas pun keluar dari kelas. Menuruni tangga. Menyusuri koridor. Hanya untuk mendatangi kelas Widya. Widya yang memiliki tubuh lebih kecil darinya. Widya yang memiliki wajah cantik seperti wanita. Widya yang lemah dan rapuh. Widya yang akan selalu membutuhkannya untuk diselamatkan lagi, lagi, dan lagi.

Haaaaahh, semua perasaan itu seperti candu untuk jiwa.

"Wi, Widya!" panggil Sas saat mengerem langkah tepat di depan kelas anak itu. Ia edarkan pandangan ke sepenjuru kelas yang sudah tidak penuh karena beberapa anak telah pergi ke kantin atau perpustakaan. Hanya tersisa dua sahabatnya di tempat duduk mereka masing-masing. Melihatnya dengan tatapan yang tak ia suka.

Kasihan?

"Widya ada di mana?" tanya Sas seraya hampiri mereka. Ia lihat ke arah bangku anak itu yang kosong melompong. Tasnya saja tidak ada. Ia lihat lagi Harjita dan Bisma. Berharap bisa dapat jawaban pasti soal, ke mana dia? Saat ini di mana dia?

"Nggak masuk," jawab Bisma singkat.

"Izinnya apa?" tanya Sas lagi. Berusaha tutupi bagaimana perasaannya tengah terbakar karena kesedihan tiada tara. Harapan yang begitu besar ia miliki sejak pagi tadi auto terasa menguap tiada jejak. Ah, begini rasa sakitnya patah hati ternyata, batin anak remaja itu. Bahkan sebelum ia rasakan bagaimana rasanya patah hati. Tak bisa melihat wajah Widya saat rasa sukanya saja sudah terkonfirmasi ternyata sangatlah menyakiti.

Sakitnya tuh di sini!

Tapi, apa yang sebenarnya terjadi?