"Psst psst psst," bisik Bisma.
"Psst psst psst," bisik Harjita balik.
Sas yang terganggu oleh bisik-bisik tetangga itu langsung menegur, "HEH, kalian ini jangan begitu kalau ada orang ketiga. Buat aku jadi berprasangka buruk saja."
Harjita menjawab, "Maafkan kami deh kalau gitu."
"Apa kamu mengantar Widya sampai rumahnya?" tanya Bisma kemudian.
"Apa kamu tau di mana rumah anak ini?" tanya Harjita lagi.
"Aku hanya tau daerahnya, tapi kalau tepatnya di mana tidak tau juga," jawab Sas tetap serius dengan pekerjaan di dua tangan yang sudah seperti profesional. Ctik sreet ctas.
"Kenapa tidak tau? Dia tidak mengizinkanmu mengantar sampai tepat depan rumah atau bagaimana?" tanya Bisma kritis.
Sas menjawab, "Seperti itulah. Dia bilang jalan ke rumahnya sangat kecil dan hanya bisa dilewati satu orang pejalan kaki.
"Aku tidak tau juga sih kalau ternyata ada daerah perumahan atau perkampungan seperti itu di negara kita yang luas membentang dari Sabang sampai Merauke ini."
"Oh, alasannya sama ya ternyata. Aku kira akan ada konspirasi," tanya Harjita yang dulu pernah menawarkan hal serupa pada Widya. Dan ditolak dengan alasan serupa juga. Akhirnya ia hanya mengantar anak itu sampai halte bus di pinggir jalan besar tidak jauh dari sekolah. Setelah itu dia ke mana juga tak tau, lah.
"By the way, aku senang Widya ternyata punya teman-teman yang sangat perhatian seperti kalian," ucap Sas tiba-tiba.
"Kalau aku bukannya perhatian juga, sih. Hanya insting kemanusiaan saja. Tidak tega lihat anak cowok dua tahun lagi usianya sudah dua dasawarsa mau pulang telat sedikit saja sudah diamuk oleh kakaknya," respon Bisma.
Ctek. Gerakan Sas auto terhenti. Ia lihat Bisma dan Harjita di belakangnya. ia bertanya, "Apa maksudmu?"
"Ah, mungkin dia tidak bilang karena kalian 'dalam tanda petik' baru kenal setelah lebih dua tahun jadi anak satu angkatan," respon Bisma sambil beranjak duduk di salah satu bangku. Tanpa permisi menyeduh teh yang diperuntukan untuk para siswa penyakitan.
Sas yang nilai bahasa Indonesia-nya sangat jelek hanya bisa menaikkan satu alis tanpa memahami maksud sesungguhnya sambil, "Hah?"
Harjita yang lebih kalem berusaha jelaskan agar anak itu tidak tenggelam ke dasar jurang salah paham, "Iya, Sas, keluarganya Widya itu sangat killer, strik, ketat sekali deh pokoknya. Saat masih kelas sebelas kami pernah lihat dia diseret-seret dengan kasar oleh para pria yang seperti kacung ayahnya. Kamu tau? Masuk ke dalam mobil hitam seperti yang digunakan para penjahat kelamin di film mafia Italia."
"Kacung? Memang ayahnya Widya itu pekerjaannya apa? Ketua sindikat kriminal apa bagaimana?" tanya Sas polos. Memang sungguh tidak tau.
"Ya kalau kami tau sejauh itu juga mungkin kondisinya sekarang tidak akan begitu," jawab Bisma seraya menyesap teh tawar hangat yang baru ia buat.
Sas kembali menatap wajah bonyok Widya yang tengah terlelap tak sadarkan diri. Ia merasa seperti terjebak dalam situasi super rumit di mana tak ada jalan keluar kecuali harapan yang kecil saja.
"Kenapa wajahmu jadi begitu? Apa kamu tau sesuatu?" tanya Bisma.
"Sebenarnya aku juga kemarin mengalami hal yang mirip dengan itu, sih," jawab Sas. Ia melanjutkan, "Ada lelaki aneh yang tiba-tiba muncul dari kegelapan dan membawa Widya pergi. Entah ke mana. Jurang neraka mungkin." Tiba-tiba Sas yang suka kalimat to the point jadi ikut-ikutan gunakan kiasan.
"Apa yang laki-laki aneh itu katakan? Apa dia bersikap kasar pada Wid Wid?" tanya Harjita.
Sas menggelengkan kepala pelan. Memindahkan perkakas P3K-nya dari atas kasur pasien ke atas bangku yang lain. Agar tidak mengganggu jika tiba-tiba Widya bangun. "Dia begitu saja muncul. Dan begitu saja membawa teman kalian pergi," ia memberitahu datar.
"Teman kalian? Ups," respon Bisma yang kurang sensitif hampir saja tertawa. Habis kalimat teman kalian membuat Widya seolah bukan temannya.
"Memang bukan, kok," ucap Sas seolah bisa membaca pikiran Bisma. Ia dirikan tubuh mengembalikan peralatan tempur yang habis ia gunakan ke dalam lemari agar tetap rapi. Ia tidak mau sampai diomeli saat dokter umum yang bertugas kembali nanti.
Aku ingin jadi seseorang yang lebih untuknya. Sesuatu yang dapat ia terima dengan baik secara kosmis maupun eternal, batin Sas kemudian.
"Eh, kok tiba-tiba aku jadi puitis, sih?" tanya anak remaja itu kebingungan.
"Hah?" respon Bisma dan Harjita berbarengan seraya naikkan sebelah alis.
*
KRING KRIING KRIIING. Bel sekolah berbunyi tiga kali di seluruh penjuru sekolah. Membawa wangi kebebasan untuk banyak orang siswa. Widya sendiri sebenarnya sudah bangun sejak beberapa saat lalu. Tapi, timbang disuruh kembali ke kelas dalam kondisi tubuh tidak baik. Atau malah disuruh pulang sekalian karena tidak bisa belajar. Ia tetap pura-pura tidak sadarkan diri saja.
Mantap.
Sebenarnya ia sempat dengar beberapa percakapan antar petugas PMR yang bertugas dengan dokter yang sedang jaga. Itu adalah suara yang familiar. Suara yang entah bagaimana selalu bisa beri ia perasaan tenang serta dilindungi.
Sesuatu yang tidak banyak bisa ia rasakan dalam hidup yang kejam ini.
"Kalau begitu saya pulang dulu ya, Sas. Ada jadwal praktek di rumah sakit. Tolong setelah Widya bangun kamu bereskan dan tutup tempat ini, ya!" pinta pria itu.
"Siap, Dokter," jawab Sas dengan tatapan penuh tanggung jawab.
Sreeek. Ia buka kain pembatas yang menutupi tempat tidur tempat Widya berada. Berkata, "UKS-nya sudah mau tutup, Bos. Kamu mau menginap di sini apa bagaimana?" ia bertanya geli.
"Sejak kapan kamu tau aku sudah sadar?" tanya Widya masih memejamkan mata dengan menaruh salah satu lengan bagian bawah di dekat dahi.
"Itu tidak penting," jawab Sas sembari bersih-bersih meja dan menyapu lantai. "Yang paling penting sekarang kenapa kamu bisa sampai punya penampilan seperti itu. Apa yang terjadi setelah kita berpisah kemarin?" ia bertanya. Kritis.
Widya mendudukkan tubuh di tepi tempat tidur. Menjawab, "Ah, apa pun yang terjadi padaku itu bukan urusanmu."
Sas berjalan ke depan Widya. Berkata, "KAMU PERNAH HAMPIR LONCAT DARI LANTAI TIGA GEDUNG TERBENGKALAI DI DEPANKU, LHO! Bagaimana bisa setelah hal seperti itu kamu bilang kalau hidupmu itu bukan urusanku?" ia bertanya dengan wajah kesal yang sedikit… menggemaskan. Pipinya menggembung. Bibirnya yang imut mengerucut.
Widya buka sedikit mulut. Terperangah tidak percaya. Bagaimana mungkin ada orang seperti Sas hadir dalam hidupnya? Yang begitu perhatian. Lembut. Walau tidak pernah bisa dipahami.
"Mana jawabanmu!?" tanya Sas tegas.
"Sikapmu itu menjijikkan tau," balas Widya sambil mendirikan tubuh. Berjalan menuju tasnya yang dibawa ke sana oleh Bisma dan Harjita saat mereka pulang tadi.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan untuk ubah hal menjijikkan ini jadi sesuatu yang berharga dan tak ingin dilepas?" Sas bertanya dengan intonasi datar.
Widya yang sudah berdiri di depan pintu dalam posisi membelakangi anak remaja itu menolehkan sedikit wajah. Menjawab, "Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!"
Dan kebersamaan dua orang anak remaja SMA itu pun berakhir di sana. Di bawah naungan langit yang berwarna oranye kebiruan. Diselipi angin sejuk menuju malam dan suasana yang jauh lebih tenang. Widya memutuskan untuk mengakhiri saja semua perasaan nyaman tidak realistis yang tengah ia rasakan.
Semua keindahan itu… untukku… tidak akan pernah jadi hal yang nyata.
Aku sangat takut pada perasaan bahagia.