Chereads / Etranger: Siswa x Mafia / Chapter 6 - 5: Apa Alasanmu? [B]

Chapter 6 - 5: Apa Alasanmu? [B]

*

Beberapa saat kemudian di pusat jajanan tradisional taman kota yang konsepnya berupa pasar kaget saat sore menjelang gelap.

"Habis dari kuburan sekarang membawa ke tempat makanan," ucap Widya reflek saat Sas menghentikan motornya di parkiran motor taman kota.

"Tentu saja. Habis mengingat mati kita harus melanjutkan hidup," ucap Sas sambil membuka jok motor untuk menaruh helm. "Mau makan apa? Biar aku traktir," tawarnya.

"Kau pikir aku orang susah apa sampai harus kau traktir terus. Kali ini biar aku yang bayar, ya," respon Widya.

Sas melonjak bahagia, "Yheeii!"

*

Pukul tujuh malam. Acara jalan-jalan Widya dengan teman baru yang ia temui dengan cara unik pun (terpaksa) berakhir. Bukan karena mereka sudah kehabisan topik obrolan atau suasana jadi membosankan. Tapi, sesuatu yang berawal memang harus memiliki akhir agar tidak membuat manusia di dalamnya berputar-putar.

Bicara apa, sih.

"Yap, kita sudah sampai," ucap Sas di titik pemberhentian sama dengan kemarin. Widya memang tak mau diantar sampai depan rumah. Bukan karena alasan aneh, tapi (ia bilang) rumahnya ada di pemukiman padat yang jalannya kecil. Tentu ia tak mau merepotkan Sas yang harus kesulitan cari tempat putar balik.

Sepeti itulah.

Tapi...

"Apa di dalam sana memang ada tempat tinggal manusia?" tanya Sas melihat jalan yang ditumbuhi lebat pepohonan di sisi kanan dan kiri. Hanya ada lampu jalan kecil yang bukannya menerangi malah hanya buat suasana makin creepy.

Widya turun dari motor Sas. Menjawab, "Ada, dong. Tapi, cukup jauh. Dan seperti yang aku bilang, jalannya sangat kecil. Hanya cukup untuk satu orang."

"Apa mau aku antarkan saja? Entah kenapa aku cemas kalau membiarkanmu masuk sana sendirian. Tidak takut diculik wewe gombel apa?" tanya Sas bertampang cemas.

Widya menjawab, "Sepertinya malah wewe gombel yang takut aku culik."

Sas tertawa kaku, "Khe khe khe. Humormu segelap tempat ini, ya."

"Aku tidak bercanda," respon Widya. Bukannya berjalan menuju rumahnya. Malah duduk di trotoar.

"Kenapa malah duduk di sana? Wid, perasaanku sungguh tidak enak lho di tempat ini. Mana tidak ada kendaraan lain melintas lagi," tanya Sas. Ingin pulang sendiri tidak enak juga melihat temannya bertampang mutung seperti itu.

"Ya memang tidak akan ada yang lewat, Sas. Tidak ada apa pun di sepanjang jalan gelap itu," beritahu Widya.

Ucapannya hanya membuat Sas semakin galau. "Wid, nilai Bahasa Indonesia-ku itu jelek. Aku kurang pandai memahami ucapak penuh metafora apalagi majas dengan beragam makna dan bentuknya."

Widya menaruh bagian dalam kedua siku di lutut dan menundukkan wajah. Ia putar-putar pergelangan tangan untuk melihat waktu yang ditunjukkan smartband yang ia kenakan. Sudah hampir jam delapan.

"Kamu kesurupan, ya?" tanya Sas serius. Sudah siap ia pacu motornya sejauh mungkin. Untuk cari orang pintar.

"Sebenarnya aku ingin di sini saja sampai pagi," ucap Widya tiba-tiba.

Membuat Sas sangat terkejut. "Kamu mau cari mati lagi, ya?!" tanyanya separuh emosi. Orang ini, benar-benar susah dinasihati.

Walau aku ingin menjawab tidak. Dengan pulang jam segini saja itu sebenarnya aku sudah memancing maut, batin Widya. Hidupnya memang diatur dengan jam malam yang sudah ditetapkan oleh sang daddy. Kemarin ia sangat beruntung karena pria itu baru kembali setelah ia sampai kamar dan orang lain di rumah tak ada yang mengadukan perbuatannya yang mulai nakal. Tapi, malam ini ia punya firasat kurang baik. Sudah terbayang bagaimana pria berusia empat puluh delapan tahun itu sangat murka dan berakhir memintanya duduk di ruang "introspeksi" sampai pagi tanpa boleh tidur sama sekali.

Mati.

"Kalau memang begitu... apa mau ke rumahku saja?" tawar Sas tulus.

Ahh, benar juga. Sepertinya aku ingin langsung terjun saja dari jendela kamar saat sampai nanti timbang bertemu pria itu. "Jangan bercanda. Bagaimana dengan orang tuamu?" tanya Widya. Sebenarnya dalam hati ada rasa sedikit berharap juga. Tapi, ia tak terbiasa berharap. Biasanya hanya kesakitan yang didapat.

"Aku anak yatim piatu, kok," beritahu Sas "santai".

Mendengar itu Widya menatap wajah Sas dengan tatapan berbinar. Bukannya ia ingin meledek status Sas karena tak punya orang tua lagi. Tapi, ia rasakan ikatan yang sulit dijelaskan dalam kata-kata. Perasaan untuk ingin terus bersama. Tidak peduli apa yang terjadi pada dunia.

"Mas Widya," panggil seseorang dari kegelapan jalan.

"Astaga naga!" ucap Sas reflek karena sangat terkejut. Terlebih lagi penampilan si pemanggil yang jauh lebih mirip dedemit timbang manusia normal. Pakaian hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan lagi dia muncul dari dalam kegelapan hanya berjalan kaki.

Sungguh mencurigakan sekali, bukan?

Bukan hanya Sas yang terkejut. Widya juga, tapi dia lebih bisa menahan diri. Karena sudah ia perkirakan hal semacam ini akan terjadi. Sudah tidak heran lagi. Ia lihat Sas. Berkata, "Kalau begitu kita berpisah di sini saja. Maaf karena aku tidak bisa memenuhi undanganmu.

"Kita bertemu lagi besok, ya," pesannya sambil menepuk salah satu pundak Sas sambil berjalan menuju si pria mencurigakan.

Saat tubuhnya dilewati. Sas merasa seperti sesuatu diambil dari dalam dirinya. Tidak peduli sekuat apa ia berteriak atau sedalam apa harapan ia miliki. Semua terasa sia-sia. Tak ada gunanya.

Widya melihat Sas dengan satu mata sebelum tubuhnya dan pria aneh itu benar-benar ditelan oleh kegelapan.

*

Setelah dipaksa berpisah dengan Sas di pintu masuk menuju kegelapan. Tak jauh dari sana rupanya tengah terparkir sebuah mobil "sederhana" yang keseluruhan bodinya telah dicat ulang berwarna hitam legam, vantablack yang tak sedikit pun pantulkan cahaya, Tesla Model X Long Range. Ia buka pintu bagian belakang dan perjalanan pulangnya pun baru benar-benar dimulai.

Pria yang menjemputnya tadi punya nama "panggilan" Dhanan. Widya sendiri tidak tau itu nama asli atau bukan. Yang jelas selama kenal ia akan memanggilnya...

"Kak Dhan, apa Daddy sudah pulang?" tanya Widya khawatir dari jok belakang.

"Menurutmu sendiri bagaimana?" tanya Dhanan balik.

"Jangan tanyakan balik pertanyaanku, Kak Dhan! Aku tidak suka," balas Widya berintonasi datar.

Tak lama kemudian kendaraan beroda empat "sederhana" besutan brand otomotif Tesla itu sampai di depan sebuah pagar besi besar kediaman dengan halaman super luas yang keberadaannya "terpencil" serta jauh dari pemukiman warga. Sebuah rumah yang sangat eksotis sekaligus mencurigakan. Tempat paling cocok untuk memenggal kepala banyak orang tanpa diketahui siapa pun. Semacam itu, lah.

Gerbang terbuka sendiri karena dikendalikan oleh aplikasi. Saat pagar besi itu kembali tertutup sendiri. Widya merasa jalan untuk kembali benar-benar terblokade.

Saat itu hanya wajah si anak asing yang terlintas dalam kepala. Buat sanubari bertanya-tanya apakah masih ada kesempatan hari esok untuk mereka?