"Atchi chi chi chi," respon Widya saat luka menganga itu mulai Sas bersihkan. Memang tidak salah jika orang bilang; perjalanan untuk menyembuhkan kesakitan ibisa jadi selalu jauh lebih menyakitkan dari penyebab kesakitan itu sendiri.
Sungguh ironis, sedikit skeptis, tapi praktis nyata sesuai analisis.
"Masalah yang sedang kamu hadapi... pasti sangat berat, ya," ucap anak itu dengan kedua tangan tetap bekerja serius mengobati sudah bagai seorang ahli. Tak ingin sampai biarkan luka tersebut sebabkan infeksi.
"Apa pun masalahku itu bukan urusanmu juga, ya," balas Widya kasar.
"Aku tau... orang yang sudah tak bisa merasakan apa pun lagi itu. Pasti sebelumnya telah rasakan sesuatu yang berujung pada kematian perasaan.
"Tapi, walau memang seperti itu...
"...kamu harus ingat kalau kematian adalah akhir dari segalanya. Mungkin akhir untuk segala derita. Tapi, juga akhir untuk semua kesempatan lepas dari derita tersebut," nasihat anak yang sampai detik itu belum Widya ketahui nama maupun identitasnya itu.
Jleb jleb jleb. Widya merasa jantungnya ditampar bolak-balik oleh nasihatnya. Ia sendiri merasa belum seutuhnya ingin meninggalkan dunia. Ia hanya kadang merasa bahwa lebih bai kia tak pernah ada.
"Keinginan untuk mengakhiri semua... saat ini bukan lagi sesuatu yang bisa aku kendalikan," ucap Widya. Ganti menundukkan wajah menatap ujung lutut. Ia harap akan ada matahari yang terbit dari sana.
Anak itu melepaskan tangan Widya. Proses pengobatan amatirnya telah usai. Ia bertanya apakah Widya lapar atau tidak. Ia ingin menyeduhkan noodle cup atau membeli sesuatu untuk mengganjal perut mereka. Widya yang tak enak karena sudah bersikap ketus pada anak itu mengiyakan saja. Dan anak itu... wajahnya tersenyum lembut.
Akhirnya ia memesan satu porsi takoyaki dan menyeduh dua porsi noodle cup. Yang rebus untuk Widya. Yang goreng untuk dirinya. Semua ia yang bayar.
"Kenapa...?" tanya Widya sebelum memasukkan garpu berisi mi ke dalam mulut.
"Kwenhapa apha?" tanya anak itu dengan mulut penuh dengan takoyaki dan mie.
"Kenapa kamu lakukan ini semua? Apa yang kamu inginkan?" tanya Widya melanjutkan.
Anak itu tersenyum. Menjawab, "Tidak tau, ya. Aku hanya nggak suka aja liat orang yang sedang membutuhkan pertolongan sendirian. Karena kalau aku ada dalam situasi itu... aku pasti pengen ditemani, dong. He he he."
"Apa kamu nggak punya cewek?" tanya Widya.
"Baru putus, sih," jawab anak itu santai. Melanjutkan makan. "Kamu sendiri?" tanyanyanya balik.
"Aku tidak boleh punya cewek oleh orang tuaku," jawab Widya jujur.
"BWA HA HA HA HA!!!"tawa anak itu puas mendengar jawaban Widya.
Ia jadi salah tingkah. Untung saja tidak banyak pengunjung di sana saat itu. "Aku menyesal tida jadi ganti mendorongmu saat di atap tadi."
Anak itu merespon, "Aha ha ha, jangan, dong. Kalau tidak boleh punya pacar cewek... pacarnya cowok boleh?" tanyanya. Asyik menutup mulut agar tawanya tak lagi meledak seperti tadi.
"Hanya karena kita sekolah di all boys school jangan anggap aku sudah menyimpang, ya!" balas Widya.
"Padahal namamu sendiri kayak cewek," ledek anak itu.
Eh? "Kenapa kamu tau namaku? Namamu sendiri siapa? Dari kelas berapa? Kenapa aku belum pernah lihat mukamu, ya?" tanya Widya gusar.
Anak itu mendirikan tubuh. Menjawab, "Kamu nggak perlu tau siapa namaku. Nanti kalau jodoh juga pasti akan bertemu lagi. Tanyakan saja saat itu."
"Jo, Jodoh??!!!"
*
Setelah itu dia mengantar aku ke daerah tempat tinggalku yang agak terpencil. Kebersamaan kami memang berakhir di sana. Tapi, masih sangat banyak pertanyaan menghantui perasaan sampai detik ini, batin Widya.
"Nih, Wid, nih, Har," ucap Bisma seraya menaruh minuman pesanan dua temannya di hadapan masing-masing.
"Jadi, apa yang mau kamu omongin?" tanya Harjita sampai menyeruput milkshake rasa stroberinya. Srrpuutt!
"Eh, kalian kenal tidak sih sama anak di sekolah ini... yang kira-kira tingginya segini," Widya mendirikan tubuh dan menaruh telapak tangannya sedikit di atas kepala, "Rambutnya warna cokelat. Wajahnya cukup enak dilihat. Tidak butek seperti kalian. Kulitnya kuning langsat. Proporsi badannya sangat ideal. Dan ke sekolah dengan motor tangki besar."
Harjita, "..."
Bisma, "..."
"Tau tidak?" tanyanya sambil mengangkat dua telapak tangan.
Dua temannya menunjuk ke arah belakang Widya. Secara bersamaan bertanya, "Maksudmu yang seperti dia?"
"Haluuu..." ucap sebuah suara seraya menghembuskan angin bau jigong di belakang leher Widya.
"WAAAAAKH!!!" pekik Widya kaget. "Ke, Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya salah tingkah.
Anak itu beranjak duduk di salah satu bangku di sana. Menjawab, "Ya soalnya aku sekolah di sini."
Sial, kenapa kemunculannya malah buat perasaanku jadi tidak karuan begini, batin Widya kesal. Berusaha memalingkan wajah dari anak itu.
Sementara Bisma dan Harjita...
"Hah? Dia yang seharian ini buat Widya galau?" tanya Bisma sedikit tak percaya.
"Aku tau sih kalau dia emang lumayan good looking, tapi aku nggak sebuluk itu juga keles," balas Harjita menyilangkan dua tangan di depan dada dengan raut cemberut.
"Ini lagi baperannya udah ngalahin cewek PMS," komentar Bisma. Ia melihat lagi ke arah Widya, "Wid, anak yang kamu tanyain tadi namanya Sas. Kelas dia di gedung kedua, jadi wajar aja kalau kalian nggak pernah ketemu," terangnya.
"Kamu mewajarkan hal yang aneh, ya?" tanya anak itu yang memang akrab dipanggil dengan nama Sas saja, "Kita sudah duduk di tahun terakhir, lho," senyumnya.
"Jadi, apa yang terjadi sama kalian kemarin sampai si Wid Wid ngegalau dari pagi?" tanya Harjita.
Sas tampak terkejut mendengar hal itu. "Waow? Dia galauin aku sejak pagi? Serius?" tanyanya. Tertawa lagi, "Ha ha ha!"
Menyebalkan sekali sih orang ini, batin Widya baper. Ia dirikan tubuh tanpa kata. hendak kembali ke kelas saja meninggalkan minumannya yang masih utuh di atas meja.
"Widya, tunggu!" pinta Sas beranjak mengikutinya. "Aku minta maaf ya kalau ucapanku ada yang menyinggung kamu," pohonnya.
Sementara itu... Widya... yang seumur hidup belum pernah dimintamaafi karena hal berbau candaan. Menghentikan langkah. Membalih tubuh. Hendak menatap lagi wajah orang baik yang telah menyelamatkan nyawanya kemarin.
Ia tidak tau apa yang harus dirasakan. Atau dipikirkan. Semua terlihat gelap. Tidak seindah tadi malam. Bahkan saat matahari sedang bersinar dengan terang.
"Pulang sekolah nanti… kira-kira kamu akan ada waktu atau tidak?" tanya Sas. Wajahnya sedikit tersipu malu.
"Ini baru istirahat pertama, woy. Apa tidak terlalu berlebihan untuk menanyakan rencana saat pulang?" tanya Widya balik.
Sas makin menundukkan wajah. "Eh, iya juga ya. "
"Mau apa, sih?" tanya Widya balik. Berusaha sembunyikan semburat malu.
Sas coba angkat kepala dan menjawab, "Aku hanya ingin memastikan kalau kamu..."