Seorang anak remaja laki-laki berusia delapan belas tahun yang duduk di tahun akhir sekolah menengah atas bernama Widya itu tengah berjalan-jalan seorang diri di sebuah gedung yang pembangunannya dihentikan. Membuat nyaris seluruh bagiannya ditelan kegelapan juga tidak terurus. Namun, meski seperti itu. Tak ada sedikit pun juga perasaan takut atau terganggu oleh bayangan-bayangan seram atau hal mengerikan yang sering diceritakan oleh orang banyak soal gedung kosong terselip di perasaannya.
Ia sama sekali tak takut pada hantu, setan, iblis, maupun segala jenis anak cucu mereka.
Karena ia seorang manusia yang tau apa yang jauh lebih mengerikan dari itu semua.
Manusia.
"Aku," ucapnya sendiri sambil tetap berjalan dengan tatapan kosong seperti orang tak punya arah tujuan, "pertama kali ingin melakukan hal semacam ini sekitar tiga belas tahun silam. Sejak saat itu semua terlihat sangat gelap. Tidak ada sedikit pun cahaya. Tapi, semakin besar aku semakin menemukan alasan untuk tetap bertahan."
Tap tap tap. Ia terus berjalan. Menaiki tangga yang hanya dilapisi semen dan tanpa pegangan. Sampai akhirnya naik ke puncak lantai tertinggi. Ia amati jalanan sepi di bawah sana. Orang bilang awalnya ini bangunan ini akan dijadikan sebuah hotel bintang lima. Tapi, pembangunannya terpaksa dihentikan karena masalah investor atau yang semacam itu.
"Aahhh, aku benar-benar ingin mengakhiri semua cerita di dunia detik ini juga," ucap Widya seraya mengangkat naik poninya dengan tangan kanan dan bertolak pinggang dengan tangan kiri.
"Baiklah, selamat tinggal duni..."
"TIDAAAAAAAAAAAKKKKK!!!" teriak seorang anak remaja laki-laki berpakaian sama dengan Widya yang berlari kencang dari arah tangga hendak menangkap tubuhnya yang siap terjun ke halaman depan. Drap drap drap.
Niat Widya untuk mengakhiri hidup dalam keadaan damai sentausa auto hancur lebur karena teriakan mengejutkan itu. "Hah? Kau itu sia..." Membuatnya ingin kembali berdiri lagi, tapi sayang semua sudah terlambat...
GREPH! "Untung saja tertangkap," ucap anak itu penuh syukur seraya menghela nafas lega. BRUUKH. Segera ia dorong tubuh Widya ke bagian atap yang aman dan jauh dari pinggiran.
Bukannya bersyukur atau berterima kasih karena sudah "diselamatkan". Widya malah sangat emosi. Segera berdiri setelah itu menghampiri anak kurang kerjaan tersebut dan kalau bisa melemparnya ke bawah saja sekalian. Ada orang mau senang-senang di alam baka kok malah dihalangi seenaknya. "KAMU ITU SEBENARNYA SIAPA??!!!" tanyanya hendak melancarkan bogem mentah ke wajah anak itu.
Grep. Dengan sigap segera ditahan. Ia sama sekali tak terlihat marah atau emosi seperti anak remaja di depannya. Dengan wajah sangat tenang cenderung kasihan. Juga cemas yang sulit diutarakan.
"Le, Lepaskan tanganku, bodoh!" teriak Widya lagi sambil menarik tangan kanan. Namun, cengkraman jemari kokoh anak itu sangat kuat. Buatnya kesulitan memfokuskan kekuatan.
"Sebaiknya kita keluar dulu dari sini," ajak anak asing tidak jelas itu sambil menarik pergelangan tangan Widya. Menggandengnya dengan lembut. Menuntun jalan menuju pintu keluar di mana cahaya yang lebih terang serta aman menanti.
Sepanjang perjalanan membelah kegelapan, kelembapan, juga udara penuh hawa tidak enak tempat itu. Widya tak bisa lagi lontarkan apa pun untuk pertanyakan tindakan randomly anak itu yang sama sekali tak ia kenali. Kelihatannya mereka satu sekolah. Satu angkatan juga. Tapi, kenapa ia bisa tidak kenal, ya? Perasaan siswa satu angkatan di sekolahnya tidak begitu banyak. Apa dia anak baru? Atau... jangan-jangan orang yang menyamar saja?
Bukankah badannya terlalu tinggi untuk anak seumuran denganku? Tanya hanya terucap dalam hati. Sampai tenggorokan saja tidak bisa. Ia merasa semakin jadi laki-laki pengecut tidak berguna.
Sampailah mereka di luar gedung. Anak asing yang memiliki wajah lumayan dalam sudut pandang Widya sebagai laki-laki itu berkata, "Gedung ini sudah sangat tua dan bisa ambruk kapan saja. Seseorang yang masih muda dan punya masa depan panjang kayak kamu tidak boleh seenaknya masuk ke tempat berbahaya, 'kan?" tanya anak itu sambil menaruh dua telapak tangan di pinggang. Ia seperti ingin menyidak Widya yang ia rasa sudah tidak sayang nyawa.
"Kamu itu tidak punya otak apa?" tanya Widya meninggikan oktaf suara. Akhirnya ia bisa mengatakan sesuatu lagi setelah seperti terpaksa bisu selama perjalanan tadi. Sangat membosankan. Sangat menyebalkan!
Anak itu tersenyum sinis dengan tatapan merendahkan. Menjawab, "Sejak tadi juga yang terlihat tidak punya otak itu kamu, 'kan?"
Gggrrrmm. Widya sangat kesal to the bone. Berkata lagi, "KAU ITU TIDAK PUNYA MATA JUGA YA KELIHATANNYA! KAU TIDAK LIHAT APA KALAU AKU JELAS JELAS MAU LOMPAT DARI ATAS SANA? KAU PIKIR AKU PEDULI KALAU GEDUNG INI MAU RUBUH, HANCUR, ATAU AMBRUK, HAH???!!!" tanyanya semakin kesal. Sangat kesal. Benar-benar kesal sampai ke ulu hati tidak bisa ditahan lagi. Padahal... setelah sekian lama akhirnya ia memiliki ketetapan hati untuk menyeret akhir dari semua masalah hidup yang merongrong nasibnya. Kenapa harus diselamatkan, sih? Oleh orang yang sangat menyebalkan dan sok tau lagi. Lagian aku juga udah sengaja milih tempat yang sepi. Kenapa masih ada orangnya saja, sih? Lagipula bagaimana caranya dia menemukanku?
Jangan bilang dia ngikutin sejak dari sekolah.
Habis... situasi ini sangat aneh. Dari mana dia datang?
CTIK! Bukannya jawaban. Malah sentilan kencang Widya dapatkan bersarang di dahinya yang mulus tim no jerawat dahi jerahat dahi club. Saat ia ingin mengamuk lagi...
"Ssstt!" anak itu mendesis lirih sambil menaruh jari telunjuk di bibir. Berkata, "Matahari sudah mau tenggelam. Kalau kamu mau lompat sekarang kasihan kan kalau ada orang yang kebetulan lewat eh malah melihat mayat. Jangan suka merepotkan orang lain! Kalau mati nanti kamu tidak bisa mengurus jenazah dan peti sendiri, besti," nasihatnya sudah seperti orang paling bijaksana.
"AKU BUKAN BESTIMUUU!!!" teriak Widya lagi. Kesal, sangat kesal. Aduh, kalau memang sebentar lagi adzan Maghrib yang memanggil para umat Muslim untuk menunaikan ibadah wajib mereka itu akan berkumandang. Bisa tidak sekalian datangkan makhluk halus atau setan sekalian untuk melenyapkan manusia satu ini? HAH? Bisa tidak? Katanya di waktu seperti ini itu akan ada banyak dedemit berkeliaran, bukan?
Tolong, datangkan satu saja, harapnya.
"Hmm." Anak asing itu malah tertawa (walau berusaha disembunyikan dengan menutupi mulut).
"Apa yang kau tertawakan, sialan?" tanya Widya yang bertubuh lebih pendek dari anak asing itu sambil menaruh dua genggaman tangan di masing-masing pinggang.
"Wajahmu... wajahmu lucu sekali, deh. Asli," jawab anak entah siapa namanya itu sambil membalik badan dan berjalan menghampiri motor tangki besarnya yang terparkir di pinggir jalan.
HJLKJHOGIJKO!!! Widya semakin kesal. Kalau tadi sudah sangat kesal, sekarang lebih kesal lagi. Murka luar biasa. Ia hampiri anak tidak jelas itu dan dipegang pundaknya dari belakang. Plok. "HEH, kalau ada orang masih bicara jangan seenaknya ditinggal, ya!"
Dengan cepat anak asing itu membalik tubuh dan mengangkat pergelangan tangan Widya yang habis mendarat di salah satu pundaknya. Berkata, "Di sekitar sini tidak akan ada kendaraan umum saat malam. Yah, bukan berarti saat siang ada, sih. Bagaimana kau akan pulang?" tanyanya.
Dengan kedua mata mendelik Widya menjawab, "Niatku ke sini itu kan untuk mengakhiri hidup, bodoh. Aku tidak peduli pada bagaimana cara pulang ke rumah sialan itu."
Wah, sepertinya anak dengan tampang suram ini sedang ada masalah dengan keluarganya, ya, batin si anak asing. "Kalau begitu naiklah!" pintanya sambil menarik tubuh Widya mendekati kendaraannya.
"Uh, ka, kau seenaknya sendiri sekali, ya!" ucap Widya tak terima. Tapi, ia tak berusaha menahan atau diam di tempat. Ia ikuti ke arah mana anak asing itu membawanya. Entah siapa ia sebenarnya.
Puk. Pantat Widya berakhir mendarat di jok belakang motor anak asing itu. Puk. Anak asing itu juga mendaratkan bokongnya di bagian depan. Siap menyalakan mesin. Siap membawa anak di belakangnya menuju dunia yang penuh dengan kilau cahaya.