Chereads / Bunga Menikah / Chapter 5 - Bunga Keluar

Chapter 5 - Bunga Keluar

Dan wajah yang sama sekali enggak bersahabat, bunga berjalan di samping pria tampan ini.

Berjalan sambil menyilakan kedua tangan didepan dadanya. Sedangkan pangeran terlihat sangat tampan, bahkan sangat menyita perhatian setiap orang yang berpapasan dengannya.

Bunga merasa sangat risih, karena setiap orang akan tersenyum genit dan berbisik ngomongin kegantengan pangeran. dengan kesan dia menutup kepala pangeran pakai hoddienya." Mending sembunyiin deh, wajah kamu itu!"

Pangeran tersenyum miring, membiarkan hoddienya itu menutupi kepalanya. "Kenapa? Cemburu?"

"Astaga, amit-amit ya. Aku tuh risih dilihatin orang-orang."

Pangeran tertawa kecil, makin jadi pusat perhatian orang yang ada di dekat mereka. "mereka lihatin aku, bukan kamu. Aku biasa aja, kok kamu yang repot sih."

"isshh! " bunga makin kesal dibuatnya, berjalan meninggalkan pangeran yang masih saja tertawa.

pangeran udah biasa jadi pusat perhatian. siswa tertampan, banyak yang mengidolakan, sering tampil di publik karena punya grup band di sekolah. Tentu untuk nya bukan hal yang baru jadi pusat perhatian kayak gini.

"Aduuhh," keluh pangeran dengan tiba-tiba. Jongkok memegangi kaki yang sebenarnya nggak kenapa-napa. sengaja pengen ngajakin bunga duduk ditepi pantai.

Bunga yang udah berjalan agak jauh darinya, berlari kecil menghampiri. Ikutan jongkok menatap kaki pangeran. "kamu kenapa?"

"Kaki aku sakit." Duduk beralaskan pasir.

Bunga ikutan duduk didepan pangeran, masih memperhatikan kaki yang tak terluka itu. "Sakit kenapa?" "pilek. "Jawabnya ngasal.

Bunga menatap wajah tampan itu dengan kesal. Beberapa kali bunga, ikutan duduk disamping

pangeran.

Mereka berdua mirip sepasang kekasih yang lagi marahan. Duduk saling berjauhan, saling diam hanya sama-sama menatap kedepan.

Kearah laut yang bermain ombaknya. Terlihat sangat indah, apalagi buat Pangeran yang baru pertama kali memijakkan kaki di pantai Indrayanti. Melihat hamparan lautan luas, sesaat hati dan pikiran terasa begitu damai.

"Besok pagi ikutan ke Jakarta, ya," ajaknya dengan lembut.

Bunga tetap diam, dia masih ingin mengenal kedua orang tuanya di sini, di pantai Indrayanti yang menjadi tumpuan Ayah dan ibunya mencari nafkah. "Aku mau disini, aku nggak mau pergi."

"kenapa? Kamu bisa lanjutin sekolah disana. kita kan satu sekolahan. sekolah hanya lebih bagus daripada sekolahan di sini, cowoknya juga ganteng-ganteng lho." pangeran tersenyum, terus m menatap bunga yang tepat diam tidak menanggapi. "Ikut ya," bujuknya lagi.

Entah, rasa bersalah membuatnya menjadi pribadi yang berbeda. Merasa jika semua kehidupan bunga adalah tanggung jawab dia sepenuhnya.

Bunga menunduk, lalu menatap wajah tampan di sampingnya. "Kayaknya aku enggak mau lanjutin sekolah di Jakarta.

Pangeran mengerutkan kening." Why?"

Bunga diam. lalu menghembuskan nafas panjang. "nggak berguna."

"cewek peringkat satu seantero sekolah dengan sekolah itu gak guna?" Pangeran mencubit. "pikirin lagi semua. aku tahu kamu sedih, tapi ayah ibu kamu akan lebih sedih kalau lihat kamu nggak ada semangat kayak gini."

"Sekolahnya bagus Lo ceweknya cantik-cantik dan pintar pasti kamu betah sekolah di sana. pasti kalau kamu bahagia pasti ayah dan ibu bahagia, tapi kalau kamu sedih pasti

ayah dan ibu mu sedih.

"Apaan sih! sok nasehatin!"

"ih," kembali mencubit dan memilih diam.

Lama, mereka kembali saling diam. Hingga ponsel pangeran berdering, sebuah panggilan telfon masuk. Pangeran merogoh saku celananya, tertera nama papa di layar utama.

"Hallo, " sapa nya. "Kita di pinggir pantai," jeda sebentar. dengerin si papa ngomong. "Ya, kita balik. "lalu kembali masukin ponsel ke saku celana.

pangeran menatap gadis disampingnya, kebetulan bunga juga sedang menatapnya. "Balik kuy, papa mama nungguin di rumah kamu."

Bunga menjawab iya. Bunga lalu berdiri dan berlalu meninggalkan Pangeran. Membiarkan lelaki jelmaan Izroil itu ngikuti dibelakangnya.

Bhuukk

Tangan kalian terulur menepuk bunga yang ketempelan pasir. yang punya bokong menoleh dengan tatapan tajamnya, lalu dia marah.

"Kamu ngapain! Marah banget sih! Bunga marah.

Pangeran memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya. Nyelonong melewati Bunga yang terlihat sangat marah.

"Bokong tepos, jauh dari kata bahenol," ujarnya sambil terus jalan.

Mata Bunga tambah melotot. Sumpah! Dia beneran marah. Mengepalkan kedua tangan dan berjalan mengekor di belakangnya.

Kembali terdengar suara lirih dari mulut pangeran. Dia bersenandung selama perjalanan.

Bhuukk!

Seorang pria bersenggolan baut dengan pangeran, hampir saja dia oleng karena ditabrak bahunya dengan kasar.

"Wooii matanya dipakai dong!

Kambing!" bentak pangeran dengan menunjuk muka lelaki itu.

Lelaki berambut hitam, tinggi tubuhnya hampir sama dengan pangeran itu hanya mencubit. Sama sekali enggak peduli dengan bentakan pangeran.

"Bung," panggilnya. Lalu mendekati gadis manis itu. "Kamu beneran mau pindah ke Jakarta?"

Bunga mengangguk. Ya, awalnya memang dia tidak mau pergi. tapi tak tidak ada pilihan lain, bahkan Ayah berpesan agar berbakti pada si pangeran. Lagi pula, Bunga tidak mungkin bisa hidup sebatangkara di Jogja. Sama sekali dia tidak punya sanak saudara.

"Maafin kalo aku banyak salah ya,

Di," ucapnya tulus pada lelaki yang bernama Aldi.

Aldi mendengus, menatap Bunga nanar." Jadi, kita nggak akan pernah ketemu lagi?"

Aldi, teman masa kecil Bunga. mereka selalu sakit sekolahan sejak TK hingga SMA, memang, dia mempunyai perasaan khusus sama bunga, tapi cukup dalam diam saja. masih terlalu pengecut untuk mengungkapkan rasa cinta.

"Iya, Ga. Aku nggak ada pilihan lain. Aku nggak akan sanggup jika hidup sebatangkara disini." Jelas bunga.

Aldi menulis secarik kertas, lalu memberikan pada Bunga. "Tolong, hubungi aku saat kamu sudah mempunyai hape. aku nggak akan pernah ganti nomor sampai kamu menghubungiku.

Aku ...... akan menunggumu."

Bunga meremas jari jemarinya.

merasakan getaran di dada yang membuncah. "Di,..... " nggak mampu nerusin kata-kata.

Sangat nggak mungkin untuk jujur. tapi lebih nggak mungkin membiarkan Aldi menunggunya. sedangkan setatus bunga sudah seorang istri.

"selesai SMA, aku akan menyusulmu ke Jakarta. aku akan sambil kuliah di sana. Tunggu aku datang ya, Bung." Aldi tersenyum penuh harap.

Bunga hanya bisa diam terpaku,

enggak tahu harus jawab gimana. tiba-tiba tangan Aldi terulur, mengajak puncak kepala Bunga dengan lembut.

"Pliis, ingat kalau di Jogja ada yang selalu sibuk mikirin kamu." Bisiknya pelan.

"Di, .... "kata-kata itu terhenti. Bunga menunduk, menimbang hatinya. Sejujurnya dia pun mempunyai perasaan yang sama. Sayang itu sudah jelas aja, namun jika dikatakan cinta, Bunga masih ragu. "Jangan menyia-nyiakan masa mudamu, ya. Kamu nggak perlu nungguin aku. Andai Allah akan menjodohkan kita, pasti suatu saat kita akan dipertemukan. Jadi, plliis .... kita jalani saja semua seperti air mengalir melewati arus."

Sepertinya Aldi nggak mendengarkan itu. bahkan dia tetap bersikukuh ingin menyusul bunga ke Jakarta saat selesai SMA. "Itu terserah kamu, Bung. Aku hanya nggungkapin apa yang pengen aku ungkapin. Dan tentunya, aku bukan cowok yang ingkar janji dengan mudah."

kembali tangan Aldi menuliskan secarik kertas yang belum Bunga terima." Pliis, simpan ini. Hubungi aku kapanpun, dan jika kamu butuh bantuanku, langsung hubungi aku."

Bunga masih terpaku memandangi kertas itu.

"kita nggak ada yang tahu Bung. keluarga baru mu itu pengusaha apa? atau pejabat apa? mereka itu pakai pesugihan atau enggak? anak-anaknya jahat sama kamu atau enggak? Jadi hubungi aku jika kamu butuh bantuan."

"Anjing! kamu pikir bapak ku pengusaha Buto ijo?!" pangeran yang menyimak obrolan keduanya, tak terima jika keluarganya dikatain nggak benar.

lagi-lagi Aldi tak menanggapi itu, tetap diam menatap wajah bunga yang kelihatan sedih. Pelan, bunga merak menurut meraih kertas itu, menggenggamnya erat."

Insya Allah aku akan hubungi kamu." Suaranya tercekat, menahan tangis yang hampir keluar. "Aku pergi dulu ya, mama sama papa nya udah nungguin."

Dengan berat, Aldi mengangguk. mengulurkan tangan sebagai tanda perpisahan. Tangan Bunga bergetar, meraih uluran tangan itu.

Dengan erat Aldi menggenggam tangan bunga. "Jaga diri baik-baik, ya. Aku tidak bisa lagi jagain kamu. aku harap kamu selalu baik-baik aja.

Pangeran sadar menjadi obat nyamuk, Pangeran mulai melangkah menjauh." Ayam! Aku dijadiin obat nyamuk. Duluan!" nggak butuh jawaban. Dia melangkah menjauh. Dia melangkah menjauh.

mendengar langkah kaki menjauh, Bunga membalas pelukan

Aldi. Mengelus punggung itu. "Maafkan aku, Di. Maaf, aku tidak bisa bilang apapun.