Bunga mengerjapkan mata pelan, terasa sangat perih saat terbuka. kembali merem dan memijat kepala, terasa sedikit berdenyut.
Ya Allah, berilah aku kekuatan dalam menjalani kehidupan ini? bisakah aku tetap hidup tanpa Ayah dan ibuk? Batinnya dalam hati.
Kembali setetes air menetes dari
ujung mata. Rasa perih dihari masih saja terasa. Menekan dada berkali-kali, berharap kepedihan itu segera memudar.
Beranjak dari atas ranjang, merapikan rambut yang berantakan. Lalu berjalan, membuka gorden. pemandangan pertama di depan mata adalah melihat lelaki tampan yang tidur di atas kursi lapuk samping pintu.
Lelaki tampan bernama pangeran, hidung mancung, kulit putih bersih, rambutnya sedikit panjang dengan warna rambut hitam.
Bunga menyungging, perasaan benci yang membuncah dalam dada membuat pangeran terlihat lebih mirip malaikat Izroil. pangeran yang datang dari dunia kegelapan yang berperan sebagai malaikat pencabut nyawa.
Bunga berlalu ke belakang, membersihkan diri sejenak di kamar mandi sempit dan sudah berlumut, tapi airnya tetap bersih dan jernih.
Selesai mandi, Bunga merebus air di atas gambar yang hanya satu tunggu itu. mengambil sebungkus mie instan kuah peninggalan ibu. Cukup lima menit, semangkok mie instan itu telah tersaji di atas meja.
Aroma sedap dari kuah mie itu menggelitik hidung pangeran. merasa terusik, ia mengerjapkan pelan pangeran melangkah, memeriksa suasana belakang rumah Bunga. berdiri terpaku tepat di tengah pembatas ruang tamu dan dapur.
Bunga tengah menangis dengan tangan yang sibuk mengaduknya dalam mangkuk. lalu mengusap kedua pipinya.
"Buk, biasanya satu mangkuknya ini kita makan buat bertiga, dikasih telur satu sama daun bayam. Aku selalu minta paling banyak. Telurnya juga minta yang paling utuh." Terdengar guguannya, mengusap ingus yang keluar. "ini banyak banget buk, tapi rasanya nggak enak. Lebih enak buat bertiga.
Hiks...hiks...hiks" menjatuhkan pendek yang sedari tadi ia mainkan di dalam mangkok. Lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Menangis tergugu tanpa sadar jika suaminya sedang berdiri menyimak.
mendengar ocehan Bunga dan
tangisan itu, hati pangeran kembali luluh. sifat dingin, keras kepala bahkan tak pernah memperdulikan orang lain mendadak hilang. Menghembuskan nafasnya kasar. Berjalan mendekati Bunga, lalu ikutan duduk di samping Bunga.
Ngambil sendok didepannya.
"sekarang makannya sama aku ya," ucapnya lembut.
Bunga yang masih larut dalam tangis itu sedikit terkejut. Bahkan menjingkat saking kagetnya. Mengusap mata yang mengaburkan penuh oleh air mata. Ia manakah pangeran yang sudah duduk di sampingnya, mulutnya manyun karena sibuk meniup di atas sendok. Lalu memasukkan ke dalam mulut.
Menatap bunga yang hanya dia memperhatikannya makan. "Ayo makan. Mumpung masih anget. Ntar nggak enak kalo udah dingin."
Tanpa menjawab, Bunga segera berdiri, berlalu meninggalkan lelaki makan malaikat Izroil itu. Pangeran menatap kepergian bunga dengan rasa bersalahnya. Ia tau Bunga saat ini sedang membencinya, tapi mau gimana lagi, bahkan ia sudah terikat janji dengan orang mati.
Bunga duduk termenung di teras depan. Matanya memang awas melihat jalan di depan rumah, tapi pikirannya masih pada kenangan masa lalu saat bersama kedua orang tua. Kembali matanya mengembun, lalu menunduk. Menangis lagi. Ah, entahlah, dia beneran nggak bisa berhenti menangis.
Ternyata pangeran menyusulnya, berdiri di bibir pintu. memperhatikan Bunga yang masih saja menangis. Bingung mau ngapain, biasanya kalau Norma lagi sedih, dikasih pelukan bahkan lebih tenang, atau diajakin ke mall gitu moodnya jadi balik bagus lagi.
Nah, kalau yang ini, nggak mungkin juga kan dia akan memeluk Bunga. Makan bareng aja tidak mau, apalagi peluk.
"Hai," panggilnya lemah. kembali Bunga menjingkat kaget, lalu menatap suaminya. "Eemm... kamu mau main game? Aku habis download permainan baru lho. Atau kamu main permainan yang lain, kita bisa download lagi." mengeluarkan iPhone bertipe yang harganya nggak bisa Bunga bayangin.
Melengos tak lagi menatap pangeran. "Aku nggak butuh itu."
Pangeran kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Mengacak rambutnya, bingung menghadapi wanita didepannya ini.
Cukup lama mereka berdua hanya saling diam.
"Maafin aku. Aku nggak sengaja lakuin itu. Maaf," ungkapnya penuh penyesalan. Bunga tetap tak menanggapi. "Aku bakalan janji jagain kamu seperti bapak kamu jagain kamu. Aku janji, aku bakalan sayangi kamu seperti ibuk sayangi kamu."
Bunga mengeratkan giginya.
Mendengar ungkapan tanggung jawab pangeran, hatinya malah terasa sangat sakit.
Mendongak, menatap pangeran yang masih berdiri di belakangnya.
"Aku nggak butuh apapun dari kamu! Aku cuma butuh kedua orangtuaku kembali. karena mereka adalah kebahagiaanku. Mereka yang aku butuhkan, bukan kamu!!"
terlihat kebencian dari sorot mata Bunga.
"Mereka udah meninggal. Tidak mungkin bisa aku bikin hidup lagi.
Bedalah sama lilin, yang kalau mati bisa di hidup ini lagi." Jawab pangeran santai.
"Cckk!" desis Bunga dengan sangat kesal. "Dasar, Izroil!"
"Apa?!" bukannya tak dengar, tapi dia tau bunga sedang mengatainya. "Kamu lagi puji aku?"
Bunga mendekik, menatap pangeran dengan tatapan aneh. Bukannya marah, tapi malah nyengir kesenangan. Beneran orang Sinting! Selain pangeran yang datang dari dunia gelap, dia juga gila! lalu bunga mengalihkan pandangan.
"Wong edyann!" umpat dengan kesal.
"Eh, apalagi itu?" tetap aja pangeran tersenyum, terlihat makin ganteng dan menggemaskan.
"Gendeng! pekok! Sinting! Nggak genep!" suara bunga makin meninggi, mengungkapkan semua kekesalannya." Harusnya kamu yang mati! bukan ayah dan ibuku! Apa gunanya kamu buat aku! jelas-jelas aku nggak butuhin kamu!
kenapa Allah malah hadirin manusia yang jahat seperti kamu! Aku benci sama kamu! kamu pembunuh!" Sesaat terasa sangat lega didadanya, karna berhasil mengungkapkan kata-kata yang ada dihatinya.
Pangeran Paham itu, sengaja membiarkan Bunga seperti itu. tetap diam, menatap anak itu ngoceh menjelekkannya. Bahkan tau jika Bunga sama sekali tidak menyukai kehadirannya dirumah ini.
"Hiks....hiks..."
Setelah memaki, kembali bulir-bulir bening itu membasahi pipi. Bunga menangis lagi dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya.
pangeran memberikan segelas air putih. "Nih, minum dulu. Kamu beberapa hari ini nangis terus. Harus diimbangi, banyakin minum.
kalau dikumpulin, udah pasti air mata kamu satu tangki, bisa dehidrasi kan. Kalau besok air matanya kering gimana?"
Tanpa menoleh, Bunga mengambil gelas itu. Meminumnya hingga habis. Bahkan, dari pagi dia tidak sempat untuk sekedar minum. Apalagi makan, waktunya hanya buat mikirin semua kenangan yang udah berlalu. memang akan lebih baik jika dia pindah dari Jogja.
Kembali menyerahkan gelas kosong ke Pangeran.
"Wooahh, sip mantap ternyata beneran kehausan ya. " Geleng-geleng kepala sambil menatap gelas kosong. Membawanya masuk. kedalam. kembali keluar dengan menenteng jaket. "Jalan-jalan ke pinggir pantai, yuk," ajaknya.
Bunga diam tidak berbicara. "Ogah!" Jawabannya lirih.
"Ya udah deh aku jalan sendiri aja." Duduk dilantai, memakai sepatunya." Semoga aja ntar nggak nyasar, nggak ketemu pencopet, nggak ketemu penculik dan hafal jalan balik kesini." Bicara sendiri.
Lalu berjalan keluar rumah sambil bersenandung lirih, sesekali melirik ke arah ke Bunga. Sangat berharap anak itu menyusul langkahnya.
Bunga menatap punggung lelaki tampan jelmaan Israel itu dengan cukup khawatir. Gimana kalau dia beneran nyasar? Gimana kalau para pencopet dan orang lain jadi deketin dia. Dari tampilannya, udah kelihatan jelas jika dia anak kota yang banyak uang. Bisa di sandera dan diculik kaya di film-film itu.
Bunga segera beranjak, mengunci pintu dan berlari mengejar pangeran.