Chereads / Bunga Menikah / Chapter 3 - Bunga Menikah Dengan Orang Yang Menabrak Kedua Orang Tuanya

Chapter 3 - Bunga Menikah Dengan Orang Yang Menabrak Kedua Orang Tuanya

"pangeran

"Saya."

"saya nikah dan kawin kan anak saya yang bernama Bunga binti Nanda dengan mas kawin emas 50 gram dibayar tunai."

"saya terima nikah dan kawinnya Bunga binti Nanda dengan maskawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi? SAH?"

pertanyaan kepada beberapa orang yang berada di ruang ICU.

"SAH!!"

"Alhamdulillah..."

Pak ustad memimpin doa, semua yang ada di ruangan menengadahkan tangan. lalu mengusap kedua tangan di wajah saat selesai.

dengan takzim Bunga mencium punggung tangan pangeran. tanpa membalas apapun, pangeran cuma melengos. Melakukan semua dengan terpaksa, daripada harus mendekam di penjara, lebih baik menuruti permintaan papanya.

"Nak pangeran," panggilan dari pak Nanda yang terdengar sangat lirih.

Pangeran menoleh, mendekati pak Nanda tanpa berniat menjawab panggilan itu.

"bapak tahu kamu anaknya baik dan sangat berbakti. bapak pertanyaan, anak bapak satu-satunya padamu. Tolong jaga dia sayangi dia seperti bapak dan ibu menyayanginya. jangan membuatnya menangis, nak. karna dia adalah harta kami yang sangat berharga. jika kamu tidak menyukainya maka lepaskan dia dengan baik-baik, ingatkan jika dia melakukan kesalahan. Jangan mengasarinya. Bapak percaya sama kamu."

Tak hentinya air mata membasahi pipi Bunga. Menggenggam tangan bapak dengan sangat erat.

"Umur bapak nggak lama nak, jadi tolong, jaga Bunga. Ja....ga dia."

kata-katanya sudah kabur, tak lagi terdengar.

Bunga berhambur memeluk ayahnya. Isak tangisnya tumpah seketika. "Bunga mohon Yah, bertahanlah. Jangan pergi Yah, Bunga nggak siapa-siapa. siapa yang akan memuji Bunga saat bunga mendapat piala Yah?

Siapa yang akan nyiapin seragam sekolah Bunga? Bunga nggak mau sendirian pak. Bunga nggak bisa... hiks..hiks..hiks... jangan pergi, Bunga mohon... bertahanlah sampai Bunga bisa bahagiain Ayah."

Tangisan pilu Bunga mampu menggoyahkan ego dan hati yang membatu. Pangeran meraih tangan Anis. Lelaki yang sudah sah menjadi Ayah mertuanya. "Saya berjanji dengan segenap jiwa dan raga. Saya akan menjaga dan menyayangi Bunga seperti Bapak menyayanginya. Saya janji pak." setetes air membasahi pipi putih pangeran.

Pak Agus ikut menangis mendengar anaknya secara sungguh-sungguh untuk pertama kalinya. Bu Nindi ini sudah terisak sedari tadi. Pak Dukuh, Pak RT, tetangga terdekat dan pak ustad juga ikut larut dalam kesedihan.

"Alhamdulillah....." ucapan yang hamil dan terdengar dari mulut Pak Anis. "saya bisa pergi dengan tenang."

Mengelus kepala Bunga yang masih nempel didadanya. "jadilah istri yang baik nak. Layani suamimu dengan sepenuh hati. seperti ibu melayani Ayah. "Bunga mengangguk dalam pelukannya.

Hening!

Tak lagi ada suara apapun, Bunga diam, menghentikan Isak tangisnya. Semakin mepet ke dada Ayah. Suara detak jantung itu tak lagi terdengar. Lalu mengangkat wajah, mata sayunya sudah tertutup rapat, bibir Ayah juga tertutup, ada sedikit senyum di bibir itu.

"Yah, bangun Yah." Menggoncang bahu Ayah. Tak ada reaksi apapun. Tangis Bunga makin deras. Menatap macet semua orang yang ada di kamar itu, termasuk dokumen yang sedari tadi ada di ruangan. "Ayah saya kenapa

Dok?"

Dokter hanya diam, Pelan menggelengkan kepala.

"Ayah! Yah! Bunga mohon Yah, bangun. Demi Bunga! Bunga sayang Ayah. Hiks hiks.... Ayah...."

pemakaman dan semakin sudah diurus oleh Pak Dodi di kampung Bunga. perpindahan bunga Jakarta diurus sekalian.

"Maaf Pa, aku nggak mau pindah ke Jakarta. Aku masih pengen di sini. Aku mau nyelesaiin sekolahku di sini." Tolaknya dengan lembut.

pangeran terlihat cuek, duduk main game di ponselnya. Menyandarkan tubuh ke tembok rumah peninggalan kedua orang tua Bunga.

"Nak, papa tau ini sangat berat.

Nggak mudah menjalaninya, tapi kamu mendengar sendiri kan? kemarin Ayah kamu yang menginginkan kami untuk merawatmu. Kamu nggak perlu takut. kami akan memperlakukan kamu sama seperti anak kandung papa." Jelas pak Dodi panjang lebar.

Bu Nindi ikutan duduk di tepi ranjang empuk milik Bunga. "Bunga sayang, Mama pasti akan menyayangimu sepenuh hati. kalau kamu kangen pengen pulang ke Jogja, kita bisa kesini kapanpun kamu mau." Bujuknya.

Bunga menunduk, mengusap ingus dan air mata. Bukan soal kenyamanan, tapi sungguh dia tak lagi memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Dunianya runtuh seketika. Selama ini bunga hanya memikirkan prestasi, karena dia tahu, melalui itu kedua orang tuanya akan bahagia. Bahagia saat melihat bunga pulang membawa piala, sertifikat apapun itu. Jadi, untuk apa dia melanjutkan hidup lagi? Hatinya sudah membeku.

"Bunga masih sedih, ma. Maaf." Isak tangis itu kembali terdengar.

Bu Risma meraih tubuh mungil itu ke dalam pelukan. "Ada Mama, sayang. Mama tidak akan mampu menggantikan Ayah dan Ibumu,

tapi kami akan selalu menyayangi dan menjagamu. Seperti mereka juga."

Bunga masih terdiam, hanya tetap menangis dalam pelukan Mama mertua.

"Tenangkan dulu hati dan pikiran mu Bung, papa akan urus perpindahan sekolahmu besok."

Sungguh kali ini bunga nggak peduli sama sekolah. Semua terasa lagi penting.

Setelah merasa tenang, Bu Nindy merenggangkan pelukan. mulai sibuk mengusap pipi masing-masing. lalu menatap wajah manis Bunga yang berbeda sehingga terlihat sangat kusut.

"sayang, kamu istirahat ya. Mama balik ke hotel dulu. pangeran ada di sini nemenin kamu. Kalau butuh apapun, bilang aja sama dia." Nindi mengelus lengan Bunga.

"nanti jam lima, mama sama papa ke sini. Kita makan bareng diluar. Agar kamu juga nggak terlalu bersedih." Lanjut nindi.

"Iya, ma," jawaban yang sama.

Bunga memberikan tubuh dirancang Tuhan yang hanya pelapis kasur lantai tipis. memejamkan mata yang terasa perih karna lelah menangis.

Nindi membiarkan Bunga tidur, keluar dari kamar melalui putranya. "Ran, temani istrimu disini. kalau dia butuh sesuatu, Carikan. Atau hubungi papa."

"Iya, ma," jawaban yang sama lagi.

bahkan pangeran menjawab tanpa menoleh ke mamanya. Tetap fokus memainkan permainan di ponsel.

"Ya udah, nama-nama balik ke hotel nyusul papa. Kamu jangan tinggalin Bunga ya."

"Iissh, iya,iya Mama cantik. udah sana pergi. Gangguin aja deh."

"Hiissh!"

Mama berjalan keluar rumah, meninggalkan rumah tua itu.

seperginya Mama, pangeran tetap diam di tempat. Fokus main sama ponsel. Sekitar 1 jam, dia penasaran sama Bunga yang ada di kamar.

Mematikan ponselnya, berjalan pelan menyibak gorden yang menjadi penutup kamar Bunga. Terlihat guratan kesedihan dan lelah di wajah Bunga yang terlelap. Pangeran berdiri menyandarkan tubuhnya di bibir pintu. menatap wajah manis itu sambil menyilakan kedua tangan didepan dada.

"Ya Allah, besar banget dosaku.

Membunuh dua orang sekaligus. Gila kalau sampai aku nyakiti anaknya, apa lagi aku udah janji bakalan jagain dia. Lalu, bagaimana sama Norma? Aasshh pusing aku!' Mengacak rambut dengan sangat frustasi.

kembali lagi ke ruang tengah, duduk di kursi Lapuk itu. Menatap foto Norma di ponselnya. Norma, kakak kelas yang dia pacari selama

lima bulan ini. Bahkan mereka menjadi best couple di tahun.

'Gimana nasibnya kalau semua murid tahu dia telah menikahi gadis

desa? Nggak lebih cantik dari Norma, bahkan si Norma lebih dari segala-galanya. Satu!'

Mama berjalan keluar rumah, meninggalkan rumah tua itu.