"Sayang, kapan kita nikahnya. Kok lama banget sih? Aku sudah tidak sabar ingin segera punya momongan dari kamu!"
"Berhenti untuk selalu tanya hal itu, Adel. Nikah bukan hanya setahun atau dua tahun. Tapi ibadah terlama, aku tidak ingin nanti waktu kita menikah kamu malah ingin Kebebasan. Makanya aku masih beri waktu kamu untuk pikirkan hal itu."
"Tapi aku sudah siap, mau sampai kapan kita seperti ini terus."
"Sampai aku benar-benar siap!"
"Rangga! Tunggu!" Panggil Adel saat Rangga meninggal kan dirinya dan tidak peduli lagi.
"Aarhhhh, nikah nikah nikah terus yang dia katakan. Aku tidak siap, selama ini aku juga sudah berusaha mencintai Adel. Tapi aku tidak bisa, aku selalu mengingat Rara yang apa adanya. Adel memang cantik, tapi aku tidak bisa mencintai dia sepenuhnya. Ini soal hati, bukan fisik. Kenapa sih Papa tega banget jadikan aku bahan bayaran atas kesalahannya. Arhhhh!"
Hampir tiap hari, Rangga hidup tidak tenang. Selalu saja di ganggu oleh Adel, jika di rumah dia selalu di tekan oleh papanya.
"Mungkin lebih baik aku harus jalan di suatu tempat untuk menghilangkan kejenuhan ini."
Rangga segera mengambil handphone di atas mejanya. Tidak peduli saat itu masih jam kerja, namun karena dia pemilik. Jadi pergi sesukanya. Saat itu dia ingin ke suatu tempat yang buat dia tenang.
"Kamu mau ke mana, Rangga?" Tanya Adel saat melihat Rangga jalan dengan cepat. Namun Rangga tidak peduli dan terus berjalan.
"Kasihan banget ya! Sudah setahun dia rela jalani hubungan dengan bos kita yang cuek. Tidak tahu diri banget, sudah tahu tidak cinta. Harusnya tidak paksakan hati orang lain untuk mencintai dirinya."
"Iya, kasihan banget sih!"
Perbincangan karyawan yang sedang membicarakan Adel. Kasihan bukan karena kasihan benar-benar. Namun kasihan karena Adel yang selalu mengemis cinta Rangga.
"Heh, kalian tadi bicara apa? Kalian ngomongin aku ya? Jangan kira aku tidak dengar ya!"
"Maaf, Bu. Kami tidak bicara apa-apa kok."
"Bohong! Awas saja kalian. Aku pecat nanti kalian." Ancamnya.
"Jangan, Bu! Jangan pecat kami!" Ucap salah satu karyawan dengan memelas. Namun Adel tidak menggubris perkataannya. Justru dia nyaris menampar wajah karyawan tersebut. Namun hal itu di ketahui Rangga yang melihat Adel mulai semena-mena di kantor miliknya. Rangga datang dan menahan tangan Adel.
"Cukup Adel! Tidak bosan-bosannya kamu selalu berlaku sesuka kamu di sini. Aku muak!"
"Aku kan calon istri kamu, jadi aku berhak atas mereka."
"Apa pantas sikap seperti itu kamu tunjukkan pada mereka. Kalau kamu merasa jadi calon istri pemilik perusahaan ini, harusnya kamu bisa menjaga nama baik perusahaan. Bukannya malah seperti ini." Sergahnya.
"Baru juga jadi calon istri, bagaimana nanti kalau sudah menjadi istri. Mungkin kamu akan lakukan di luar nalar semua orang."
"Cukup Rangga!" Tiba-tiba Papa Bramanjaya datang dan menghentikan perdebatan itu.
"Oh papa, nih lihat kelakuan calon menantu Papa yang Papa sayangi."
"Sudah, biarkan dia lakukan apa yang dia suka!" Papa Bramanjaya malah membela Adel.
"Oh, begitu. Oke! Urus saja menantu Papa itu."
Rangga meninggal kan tempat itu karena sudah sangat muak dengan keadaan. Sepertinya Papa Bramanjaya sangat patuh dengan Adel hanya karena takut terbongkar rahasianya dan takut di penjara.
"Pokoknya aku tidak suka ya, kalau Rangga perlakuan aku seperti ini. Kamu harus ancam anak kamu itu agar tunduk sama aku. Atau kalau tidak, kasus akan aku buka dan kamu akan aku laporkan ke polisi." Ucap Adel mengancam Papa Bramanjaya yang saat itu hanya bisa diam saja. Dia takut kasus dirinya yang sudah mencelakakan ibunya Adel, dan takut akan di penjara.
"Akan aku usahakan sebisa aku. Kamu tenang saja!"
"Bagus!"
Papa Bramanjaya yang bijak, kini sudah mulai terpengaruh dan terjebak dengan wanita seperti Adel. Dia harus mengikuti apa yang di katakan Adel.
***
"Mungkin di sini akan membuat aku sedikit tenang!"
Rangga mulai berjalan perlahan menyusuri pinggiran pantai. Dengan membawa semua masalah yang ada dalam hidupnya. Beberapa langkah, dengan terpaan air yang menyusuri pinggiran dan membasahi kaki Rangga saat itu.
"Bro! Boleh ikut gabung!" Seorang pria datang mendekati Rangga yang saat ini tengah duduk di pasir. Ya! Dia adalah Yuda. Yang kebetulan membuat mereka bertemu di suatu tempat yang sama. Namun, Yuda lupa kalau dia itu adalah Rangga yang waktu itu mengejar Rara saat sebelum kecelakaan.
"Eh, boleh. Duduk!"
Rangga mempersilahkan Yuda yang baru datang untuk duduk bersama. Kini obrolan mereka sudah banyak, sampai yang awalnya tentang sekolah mereka dulu sampai ke pekerjaan.
"Wah, kebetulan banget nih. Bagaimana kalau aku tawarkan kerja sama antara perusahaan kita!" Ucap Yuda menawar kan kerja sama antara perusahaan mereka.
"Hem, ide bagus tuh. Lalu kapan akan kita lakukan?"
"Besok bagaimana? Kalau bisa secepatnya bukan?"
"Boleh, setuju aku kalau itu. Ya sudah, bagaimana kalau kita atur jadwal lagi untuk ketemu besok bahas soal ini." Tawar Rangga.
"Oke, simpan nomor aku ya. Nanti hubungi aku untuk jam berapanya kita ketemu."
"Oke!"
Pertemuan mereka yang iseng justru membangun kerja sama antara perusahaan yang akan mereka kelola nanti. Di sini lah, awal pertemuan tidak sengaja antara Rangga dan Rara.
***
"Ra, besok kan kamu mulai kerja di kantor aku. Aku ingin performance kamu yang oke ya! Soalnya aku ingin ajak kamu langsung ke kantor teman aku untuk meeting bahas kerja sama perusahaan kita."
"Hah, serius? Aku kan belum punya pengalaman?"
"Ya tidak apa-apa, sih. Nanti kan kamu sambil belajar. Pokoknya nanti kamu ikuti saja aku, kan hanya perlu catat apa yang kami bahas nanti."
"Oke, baiklah. Kalau hanya itu, aku pasti bisa." Ucapnya sedikit angkuh dan meninggikan kepalanya. Yuda hanya tertawa melihat perilaku Rara yang lucu.
"Semakin hari, aku lihat kamu, kamu semakin cantik ya! Apa sih resepnya?"
"Resepnya, operasi. Haha!"
"Bisa saja kamu. Ya sudah, aku mau pulang dulu ya. Jangan lupa besok! Oke!"
"Siap, Bos."
"Oke!"
Yuda yang sengaja datang ke rumah Rara kali itu berpamitan untuk pulang. Sedangkan Rara langsung sibuk mengurus kucingnya yang baru dia bawa pulang.
"Ra, Yuda ganteng juga ya. Kenapa tidak kamu ambil hatinya."
"Kalau aku ambil hatinya, nanti dia pakai hati siapa, Bu. Ada-ada saja deh!"
"Huh, dasar kamu ya. Begonya tidak hilang-hilang juga dari dulu." Ibu mendorong sayang kepala Rara. Rara hanya terkekeh.
"Hehe, habisnya. Ibu selalu saja bilang begitu. Dia kan sudah punya tunangan, mana mungkin aku rebut Yuda dari Anggun."
"Ya, namanya juga usaha. Siapa tahu usaha kamu tidak di khianati."
"Haha, sok bijak ibu nih!"