Jantung semakin berdetak kencang dan tidak beraturan, napas tersengal-sengal. Untuk pertama kalinya Rara merasa kalau dirinya sedang tidak percaya diri dan mendadak panas dingin. Bagaimana tidak, dia akan bertemu dengan pria yang dia cintai. Yaitu cinta pertamanya. Meski kini sudah bersama dengan Adel, tidak membuat Rara cemburu. Karena dia tahu pasti, Rangga terpaksa bersama Adel.
"Atur napas, Ra. Rangga sebentar lagi di depan mata. Jangan sampai kamu salah tingkah." Ucap Rara pada dirinya sendiri. Lalu dia turun dari mobil untuk masuk ke sebuah cafe di mana mereka janjian.
"Ayo, Ra?" Ajak Yuda.
"Duh, kamu duluan saja deh. Mendadak kebelet nih aku. Nanti aku nyusul!"
"Memangnya kamu tahu nanti aku duduk di mana?"
"Ya di dalam ini kan?"
"Di dalam banyak ruangan, Ra. Ya sudah, aku antar kamu ke toilet dulu ya!"
"Ya sudah, ayo!"
Setelah beberapa menit Rara beralasan ke kamar mandi, lalu dia masih berlama-lama di sebuah kaca yang ada dalam kamar mandi. Dia merasa tidak percaya diri. Padahal, sejak tadi sudah dia persiapkan dengan sebaik mungkin untuk tidak gerogi.
"Ra, sudah belum. Kok lama sekali?"
"Iya, sebentar!"
Akhirnya Rara keluar setelah beberapa menit.
"Ayo!"
"Lama sekali sih!"
"Hehe, Maaf. Aku memang suka lama kalau sudah berada di kamar mandi."
"Ya sudah, ayo. Sudah di tunggu klien tuh."
"Oke."
Tidak jauh dari Rara berjalan yang berdampingan dengan Yuda kali itu, dia sudah melihat tampak jelas Rangga yang duduk di sebuah kursi tunggu bersama Adel. Dia tidak berubah, masih seperti dulu.
"Rangga, kamu ganteng banget sih! Andai papa kamu waktu itu terima aku apa adanya, mungkin saat ini kita akan menikah. Tapi kamu malah mau menikah dengan nenek lampir itu!" Gerutu Rara. Yuda hanya gelengkan kepala dengan terkekeh ketika melihat Rara berceloteh sendiri.
"Ra, ayo duduk!"
Yuda memberikan sikap romantis terhadap Rara ketika sudah sampai di meja. Kala itu Rangga terus menatap dirinya dari bawah hingga atas. Rara siang itu berpenampilan sangat menarik dan indah di pandang. Sehingga, Rangga pun terkagum melihat dirinya.
"Perkenalkan, dia sekretaris aku!"
"Oh, sekretaris? Tapi kok romantis ya?" Ucap Adel saat itu menyinggung.
"Sikap romantis tidak hanya dengan rekan hati bukan, namun juga dengan rekan kerja itu lebih baik. Agar memberikan kinerja yang baik."
"Oh, good. Sangat bagus!" Sedari tadi, Adel terus berceloteh. Sedangkan Rangga masih memperhatikan gerak gerik Rara yang salah tingkah.
"Waduh, jangan-jangan Rangga mengenali aku. Sejak tadi dia lihat aku!" Bisik Rara pada Yuda.
"Sudah, kamu santai saja. Dia pasti tidak kenal siapa kamu yang sebenarnya. Mungkin dia hanya tertarik sama kamu." Balas Yuda dengan senyuman. Rara hanya balas senyum yang sama agar mereka tidak curiga.
"Oh iya, kita pesan makan dulu ya. Setelah makan, baru kita bahas proyek yang akan kita jalani." Ucap Yuda mendahului rencana.
"Oke, silahkan!" Balas Rangga.
Setelah selesai memesan makanan dan minuman, mereka segera menyantap makanan tersebut hingga selesai sebagai bahan pembukaan. Setelah itu, mereka membahas proyek baru yang akan di kerjakan bersama. Sebentar-sebentar, Rara menulis atau menyalin sebuah percakapan mereka untuk di ambil yang penting. Lebih tepatnya, meringkas percakapan tersebut. Namun Rara lagi-lagi tidak konsen, dia selalu saja di perhatikan oleh Rangga.
"Maaf, sebenarnya ada apa ya? Sejak awal hingga akhir bapak selalu lihatin aku?" Pertanyaan itu sengaja Rara lontarkan agar membuat Adel marah dan menyadari perbuatan Rangga yang selalu perhatikan Rara sejak tadi.
Rangga terbelalak kaget, memang tanpa dia sadari sudah melihat Rara berkali-kali di sela pembicaraan tersebut.
"Apa? Kamu sudah perhatikan dia sejak tadi, Rangga?" Tanya Adel.
"Iya, Hem. Maksud aku, maaf. Nama kamu siapa?" Tanya Rangga.
"Namaku, Rara!" Jawab Rara singkat.
"Rara? Wajah kamu sangat mirip dengan seseorang. Dan nama kamu juga sama." Ucap Rangga membuat Adel geram mendengarnya.
"Rangga, sudah cukup!" Adel mulai menampakkan sikap marah dan galaknya.
"Adel, aku hanya berkata apa adanya. Kenapa kamu marah!"
"Ayo kita pulang sekarang! Buat malu saja!"
"Loh, siapa yang buat malu. Dari tadi aku diam tidak banyak bicara seperti kamu kok!"
"Arrhhh, sudahlah." Adel menarik tangan Rangga untuk keluar lebih duluan.
"Sorry, Bro! Kita duluan ya," Ucap Rangga sembari melambaikan tangan.
Setelah itu, Rara dan Yuda saling tertawa melihat hal itu.
"Haha! Kasihan Rangga ya? Dia harus dapatkan wanita galak seperti Adel."
"Haha, kita lihat saja nanti."
"Wah, hebat kamu. Diam-diam, mulai berani melawan nih sepertinya."
"Aku kok di lawan, mungkin tadi butuh energi saja biar berani ngomong. Haha!"
"Oh, jadi karena sudah makan kamu jadi berenergi untuk pancing emosi ya? Haha!"
"Haha, mungkin seperti itu."
"Hem, sebenarnya kasihan Rangga kalau aku lihat. Sepertinya dia sangat tertekan sepertinya. Iya kan?"
"Aku juga tidak tahu, mungkin saja. Soalnya aku belum terlalu banyak mengenal dia, namun waktu sudah memisah kan kami."
"Ya sudah, kamu yang sabar saja ya! Ini baru langkah awal kamu. Yang penting, yang ingin kamu balas Adel dan papanya Rangga bukan?"
"Iya, benar. Ya sudah, ayo kita pulang!"
Sampai mereka di parkiran, ternyata Rangga dan Adel belum pulang. Mereka masih berdebat hebat.
"Kamu masih pikirkan Rara di gendut dan jelek itu kan? Makanya setelah kamu mendengar nama wanita tadi langsung ekspresi kamu terlihat beda."
"Sudahlah, Adel. Sejak tadi kamu bahas itu terus. Ayo pulang, tidak enak di lihat orang di sini."
"Aku tidak ingin pulang,"
"Ya sudah, kalau begitu aku pulang sendiri."
"Kamu ya! Tidak peka banget sih jadi pria. Seharusnya kalau aku ngambek itu di hibur, malah di luruskan aku ngomong."
"Ya terus aku harus bagaimana? Aku minta kamu untuk diam dan tidak bicara lagi. Tapi kamu bahas terus. Aku diam salah, ngomong salah, jadi aku harus bagaimana lagi?"
"Tapi memang itu kan kenyataan, kamu masih belum lupa dengan Rara?"
"Itu lagi yang di bahas,"
"Tapi memang iya kan?"
"Kalau iya memangnya kenapa? Ha? Biar dia gendut, tapi dia punya hati yang sangat baik dan hati yang cantik. Bukan seperti kamu yang selalu marah, nuntut tidak jelas, dan berbuat sesuka kamu. Pria mana yang betah sama kamu? Kalau saja bukan permintaan Papa, tidak sudi aku bertunangan dengan kamu." Jelas Rangga seketika membuat Rara ternganga. Ternyata, Rangga menilai dirinya bukan dari fisik. Melainkan dari hati. Seketika itu pula, Rara terharu sedih. Rasa ingin memeluk, namun apa daya tangan tak sampai.
"Arrhhh. Entahlah!"
Adel masuk ke dalam mobil, lalu di susul Rangga. Mobil itu pun berlalu melesat dari pandangan Rara juga Yuda.