"Wah, iya. Berarti usaha kita kemarin berhasil. Yok kita kasih tahu Kak Rara!"
"Eh, jangan di kasih tahu. Nanti kasihan Kak Rangga, tidak kejutan lagi dong. Mending kita ledek saja. Pasti Kakak Rara sudah paham kalau mereka akan ketemuan."
"Eh, iya benar. Yuk!"
Mereka berdua berjalan menuju rumah Rara. Namun sebelum sampai, mereka terlebih dahulu melihat Rara yang mengenakan pakaian guru yang biasa dia pakai.
"Loh, Kak Rara sekolah?" Tanya Yona.
Namun, Rara enggan menjawab. Dia terus berjalan begitu saja untuk menghindari pertanyaan dari Rey dan Yona lagi. Dengan menutup mata, jalan sedikit di percepat, dan tubuh yang meliuk-liuk mengikuti arah kaki.
"Kak, mau ke mana tunggu! Ini aku dan Rey!" Sapa Yona lagi. Sayangnya karena tubuh mereka lebih kecil, tentunya lebih gesit daripada Rara.
"Kak, tunggu!" Rey pun menarik tangan Rara.
"Cie, yang ke sekolah hari Minggu? Haha!" Ledek Rey. Mau tidak mau Rara berhenti dan mengatakan kebodohannya itu.
"Iya, Kakak malu banget. Nungguin kalian di sekolah sampai satu jam, tapi tidak ada yang datang satu pun. Pas lihat kalendar, ternyata hari Minggu. Eh, kalian mau ke mana?"
"Hem, main-main saja. Kebetulan ketemu Kakak di sini. Cie, yang mau ketemuan nanti malam. Kayaknya rencana kita kemarin berhasil ya, Rey?"
"Iya dong!" Jawab Rey.
"Heh, kalian berdua memang nakal ya!" Rara menarik kuping Rey dan Yona lalu di bawa sampai ke rumah.
"Duh, kok kami di bawa ke sini sih. Nanti kena marah sama ibunya kakak bagaimana?"
"Aman, seperti biasa ibu lagi jualan. Oh iya, kalian kemarin kenapa sih sampai niat banget kerjain Kakak. Malunya sampai ke ubun-ubun tahu tidak."
"Tapi Kakak dapat untung juga kan? Buktinya langsung jalan-jalan kemarin. Haha!" Ledek Rey.
"Hem, iya sih. Eh, kalian tadi bilang apa? Nanti malam mau ketemuan? Memang Kakak mau ketemuan dengan siapa? Kok kalian bilang seperti itu."
"Hem, pura-pura tidak tahu dia! Tapi ngomong-ngomong ini masih enak di makan kan, Kak?" Jiwa usil Yona mulai muncul setiap main ke rumah Rara pasti mereka memakan makanan yang ada. Sampai lantai dan meja pun kotor di buatnya.
"Ya sudah, lupakan saja. Ayo kita pesta makanan."
Rara langsung mengeluarkan makanan atau jajanan kesukaan Rara. Mau setumpuk makanan pun jika mereka sudah berkumpul, pasti akan habis jua.
Sementara itu, diam-diam ibu mendatangi alamat yang di tulisnya kemarin. Setelah sampai, dia langsung masuk ke dalam kantor. Seperti biasa, satpam akan menanyakan maksud kedatangannya.
"Maaf, Bu! Cari siapa ya?"
"Yang namanya Rangga mana ya? Apa dia pemilik perusahaan ini?"
"Kenapa banyak yang mencari tuan Rangga ya akhir-akhir ini. Tapi yang cari orang rendah seperti ini." Ucap Satpam itu dengan sombong.
"Maaf, aku datang kemari bukan mau cari perkara. Jangan memancing emosiku!" Ucap ibu menantang. Lalu satpam itu pun menurut begitu saja dengan menjelaskan asal muasal perusahaan tersebut.
"Sebenarnya, perusahaan ini milik Bapak Bramanjaya. Rangga itu anaknya. Namun yang memegang aset ini adalah anaknya. Sudah jelas kan?"
"Oh, Terima kasih!"
Setelah mendapatkan informasi, ibu berjalan menuju keluar. Lalu dia melihat spanduk gambar Bramanjaya dengan Rangga anaknya.
"Aku sudah menduga, ternyata Rangga adalah anak Bramanjaya. Ini adalah perusahaan barunya. Aku harus lebih hati-hati lagi, karena jika semua ketahuan akan fatal akibatnya."
Entah rahasia apa yang ibu sembunyikan selama ini, sehingga dia bersi keras tentang Bramanjaya.
"Rara!" Pekik Ibu ketika mengetahui rumah sudah kotor dengan makanan. Kebiasaan Rara jika sudah makan banyak, dia akan lupa membersihkan sisanya.
"Ada apa sih, Bu. Kok teriak-teriak?"
"Nih, lihat. Kebiasaan kamu ya!"
"Eh, Hehe. Maaf!" Rara menggigit bibirnya ketika melihat perbuatannya yang selalu kotor. Dengan cepat pula Rara membersihkan sampah dan sisa makanan tersebut. Di sela membersihkan lantai, handphone Rara berbunyi menandakan bahwa ada pesan singkat masuk. Dengan cepat pula dia mengambil handphone di kamarnya.
"Eh, ada pesan. Hah!" Matanya terbelalak melihat kontak yang dia tulis Pangeranku.
"Pangeranku kirim WhatsApp? Kira-kira dia kirim pesan apa ya?"
Begitu di buka,"Hai, nanti malam aku akan lebih dulu sampai di cafe sebelah kantor. Kamu jangan lupa datang ya! Aku ada sesuatu untuk kamu."
"Serius dia ajak aku ketemuan lagi? Di cafe sebelah kantornya? Memang dia mau kasih aku apa ya?"
Rara sontak kaget membaca pesan dari Rangga yang meminta untuk ketemuan di sebuah cafe. Rara tambah semangat untuk mempersiapkan kencannya nanti malam.
"Duh, aku harus terlihat lebih cantik dari sebelumnya nih."
Rara membongkar isi lemari untuk mencari gaun yang dia milik. Namun semua sudah terlihat usang dan tidak layak untuk dibawa kencan.
"Yah, bajunya terlihat jelek semua. Aku harus beli yang baru. Tapi dari mana aku dapat uang? Pegangan tidak cukup. Kalau minta ibu, sudah pasti dia tidak akan mau kasih. Apa lagi untuk beli gaun. Duh, bagaimana ya?"
Namun, ketika membongkar isi lemari, Rara melihat celengan ayam kampung kesayangannya.
"Haduh, hanya ini harapan aku satu-satunya. Tapi sayang banget. Tidak apa-apa deh, demi pujaan hati. Apa sih yang tidak!"
Prak! Celengan ayam kini hancur berkeping-keping. Rara berhasil mengumpulkan uangnya selama ini dan akhirnya di pakai untuk membeli gaun. Hari itu dia sibuk mencari gaun di toko. Di bekali uang 400 ribu untuk membeli gaun.
Setelah mendapatkan gaunnya, Rara pergi ke salon untuk berdandan.
"Ya ampun, aku lupa mandi. Masa aku sudah dandan seperti ini malah belum mandi."
Rara pulang dengan bersungut-sungut, "Jangan sampai ibu tahu."
Sore itu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Sedangkan dia harus sampai pada jam 7 malam.
"Ra, kok sejak tadi kamu tidak keluar. Kamu sudah tidur?"
Lagi-lagi, Rara sengaja tidak menjawab. Agar di kira ibu dia sudah tidur.
"Hem, mungkin anak ini sudah tidur. Kebiasaan, lampu tidak di matikan. Jam segini sudah tidur!"
"Hah, iya. Lampu belum aku matikan!" Ucap Rara setelah mendengar kata dari ibu, dia langsung mematikan lampunya.
"Nah, sekarang kayaknya sudah aman. Aku keluar lewat jendela saja deh."
Rara nekat keluar dengan melompat dari jendela. Untung saja jendela tidak begitu dalam.
Buk! Suara Rara jatuh dan merintih kesakitan.
"Ra, suara apa itu?"
"Duh, ibu kok dengar saja sih ada suara jatuh?"
"Rara,"Sekali lagi panggil ibu.
Rara menyahut dengan suara kucingnya. "Meong!"
"Oh kucing!" Ucap Ibu.
Dengan berjalan terseok-seok, Rara tetap melanjutkan perjalanannya kali itu demi bertemu sang pangeran. Yaitu Rangga!
Begitu sampai di cafe, Rara sangat kagum dengan suasana Cafe yang tertata rapi. Sepertinya cafe itu sudah di boking. Sehingga penataan, hingga ada tulisan ucapan selamat ulang tahun.