Wajah merah padam itu semakin memuncak. Igho lari dengan cepat menaiki anak tangga.
Matanya sudah berkaca-kaca. Sebagai pria sejati, ia jarang sekali meneteskan air mata. Namun tak di sangka pukulan ayah Manaf sangat menggoncang kan kepribadiannya yang sangat dingin.
Demi membela Alin dan Ibunya, Manaf harus melayangkan satu tamparan bebas di pelipis pipinya.
"Aaargh! Dasar wanita sialan!" dengkus Igho melempar semua bantal yang ada di ranjang dengan sembarang.
Entah setan apa yang menghantui Igho sehingga ia tak pernah berpikir positif sedikitpun hanya ada rasa jengkel di hatinya saat ia melihat ibu tua renta dan wanita itu datang ke rumah.
Hatinya seakan di bakar api cemburu.
Lalu ia mengingat sesuatu yang pernah ia sisipkan di dalam laci mejanya.
Langkah Igho nampak gontai menuju laci itu.
Kriek!
Laci kecil di tarik oleh Igho hingga nampak lah sebuah sapu tangan berwarna merah muda bertuliskan nama Jesslyn Katto.
"Dasar penjilat! Wanita murahan!" jerit Igho sekencang-kencangnya hingga menggelegar memenuhi seisi kamarnya.
Tangannya meremas kencang sapu tangan itu. Igho tak bisa menyangka kalau orang yang ia cintai ternyata akan jadi adiknya.
Bagaimana dengan cinta yang baru tumbuh itu?
Dunia terasa sangat tak adil baginya. Igho merasa sedang berada di dalam permainan yang belum juga memainkannya ia sudah kalah duluan.
"Ach!"
Igho mencengkram rambutnya kuat setelah ia melempar sapu tangan itu dengan kencang mengarah ke tong sampah.
Tak ingin lagi Igho melihat sapu tangan itu. Itu hanya akan mengingatkan senyuman wanita yang polos ketika mengobatinya dulu.
Air mata Igho kian lepas. Sekarang ia tak bisa menahannya kembali ketika ia mengingat sebuah ingatan tentang Maminya yang belum lama ini meninggal.
'Kalau saja Mami tahu, mungkin dia akan marah besar.' pikir Igho.
Pria yang baru beranjak dewasa itu sudah bisa menerka, jika Jesslyn itu adalah adiknya, berarti ayah Manaf telah selingkuh semasa Maminya masih hidup.
Igho tak terima hingga ia menggelengkan terus kepalanya.
"Ayah jahat! Ayah jahat! Igho benci ayah! Benci! " jerit Igho kembali melempar barang yang ada di hadapannya sehingga kamar itu nampak seperti kapal pecah.
Igho duduk menyudutkan dirinya di pojok kamar.
Ia meremas rambutnya yang terasa sangat sakit akibat pikirannya yang kacau.
Sambil termenung, ia duduk di pinggir jendela yang membentang di dasar kamar, ia menyawang ke luar rumah dengan tatapan kosong.
Sedangkan di lantai dasar rumah itu, Jesslyn masih hormat menemani ibunya untuk mengobrol dengan ayah Manaf.
"Maafkan anak saya. Dia memang selalu bertingkah meledak-ledak seperti itu. Nanti juga pasti dia mengerti posisi kita," ucap Ayah Manaf nampak sangat bijak.
"Apa Igho belum tahu sebelumnya, kalau kita akan datang ke sini?" tanya Alyn penasaran.
"Saya sulit sekali bertemu dengan Igho. Jadi tidak ada waktu untuk mengobrol tentang hal ini. Nanti juga dia bakal menerima keadaanya," jawab Manaf Bulat.
"Owh, pantas saja Igho nampak seperti orang bermasalah di sekolah. Ia selalu mencuri perhatian setiap mahasiswa juga dosen yang ada."
"Maaf. Kenapa nona Alyn nampaknya tahu sekali semua hal tentang den'Igho?" sambar Pak Wanto berdiri tegak menjaga di bahu pintu.
Bukan berarti Pak Wanto ikut campur dalam masalah keluarga inti itu. Tapi hanya Pak Wanto yang sangat perhatian pada Igho saat ini, karena Pak Manaf selalu menyuruh Pak Wanto agar dia mengawasi anak lelakinya itu.
"Ia Pak Wanto. Aku tahu semua soal Igho karena aku ada di satu unversitas yang sama dengan Igho." urai Alyn sangat jelas.
"Owh, pantas saja nona sangat tahu jelas sama den Igho. Atau jangan-jangan nona Alyn lebih dari dekat dengan den Igho?" celetukan Wanto membuat Alyn memandang kosong meja di hadapannya.
Ia membeku kaku karena memang sebetulnya ia merasa sudah sangat dekat dengan Igho.
Bahkan, ia sedikit menaruh rasa manis untuk Igho yang kini seketika luntur saat ia tahu Igho akan jadi Kakak tirinya.
"Alyn, paman harap kamu juga bisa mengerti dan tidak marah terhadap kelakuan Igho yang sangat brutal. Anggap saja ini adalah kesalahan Paman yang tidak memberitahu Igho terlebih dahulu tentang masalah ini,"
Sejenak Alyn terdiam tegang mendengar kata-kata yang di ucapkan oleh Ayah Manaf itu.
"Sebenarnya, aku sangat marah!" ketus Alyn membuat Manaf dan Daniah terkejut hingga semua nampak tegang. "Tapi, aku faham bagaimana perasaannya kali ini. Semoga saja, setelah semuanya dingin. Aku bisa bicara empat mata dengan Igho," lanjut Alyn sangat bijak sana.
Manaf yang tadinya menegang sontak mencair dan merebahkan senyumannya lega.
"Aku senang akan punya putri seperti kamu." ujar Manaf tersenyum meraih pandangan pada Daniah. "Kamu memang ibu yang hebat Daniah. Kamu bisa mendidik anak kamu dengan lembut, hingga bisa sebaik ini, tidak seperti aku!" ucap Manaf menyesal.
"Ini belum terlambat. Ayo kita bersama-sama membantu Igho percaya kalau kita adalah keluarga yang baik untuknya!" ajak Daniah dengan suara yang sangat halus.
Manaf mengangguk terlihat bahagia mendengarnya.
Keharmonisan antara Alyn dan keluarga barunya nampak terpupuk baik, lain dengan Igho yang masih berkerumun kemarahan dala otaknya.
Siang itu, Bi'Tini bergegas menyiapkan makan siang untuk Igho dengan beberapa menu makanan di atas nampannya. Ia harus melakukan pengorbanan parah untuk menaiki anak tangga sambil memboyong sayur panas di atas nampannya.
Tok!
Tok!
Tok!
"Masuk!"
"Den! Makanannya!"
Igho terperanjat dari pojok ruangan sambil menyeka air matanya.
Ia membawa nampan itu dan meletakkannya di atas meja kamarnya.
"Bi' Apa Bibi sudah bertemu dengan ibu dan anak perempuan itu?"
"Maksud tuan?"
"Calon istrinya ayah!"
"Owh iya! Nona Daniah dan Nona Alyn ya namanya? Mereka baik, cantik lagi. Sepertinya, rumah ini akan ramai dengan kehadiran mereka," ucap Bi'Tini polos.
"Bibi!" sentak Igho membuat Bi'Tini sontak mengikat bibir licinnya.
"Ma-maaf, den!"
"Bukan itu yang aku tanyakan. Sedang apa mereka sekarang? Apa mereka masih ada di bawah? Apa mereka gak jadi pulang?"
"Emh- anu den. Mereka masih ngobrol di bawah," sekarang Bi'Tini menjawab dengan sangat hati-hati.
"Aaargggh!" kembali Igho tantrum dengan kemarahannya di hadapan Bi'Tini hingga kaki Bi Tini bergetar saat ia terperanjat kaget.
"Den? Apa masih ada yang bisa bibi bantu?"
"Igho hanya mau, kalau bibi jangan memuji-muji mereka di depan Igho!" sentak Igho membuat Bi'Tini tak berkutik sedikitpun. "Pergi turun kebawah! Cari tahu apa yang sedang mereka lakukan! Lepas itu, laporkan sama saya, Bi!" titah Igho tak bisa di tolak oleh Bi'Tini.
"Ba-baik Den!"
Mata merah Igho seperti macan yang siap menerka mangsanya.
Sepertinya kesalahan Manaf saat ini tidak ada ampun bagi Igho.
Ia sangat membenci kelakuan ayahnya bukan semata-mata ia menikah lagi.
Tapi, Igho sedih karena wanita yang di pilih adalah mamanya Alyn.
Wanita yang sempat ia sukai.